Tepat pukul 2 siang, Fareza sudah berada di sasana.
Setelah melakukan pemanasan, dia beralih ke samsak yang ada di dekat ring. Ini akan menjadi pertarungan hidup dan mati baginya. Dan Fareza harus bisa memberi pelajaran yang berharga untuk Sita.
Muncul dengan gagahnya, Sita memasuki sasana mengenakan kaos polos dan celana olahraga pendek. Tak lupa sneaker warna hitam yang kontras dengan warna kulitnya. Dibelakang Sita, berjalan dengan tanpa semangat, Boy sang pemilik sasana.
Keduanya, Sita dan Fareza, adalah teman Boy. Sejak semester awal kuliah hingga detik ini mereka tidak pernah bertengkar seserius ini. Dugaan Boy, ini semua karena perempuan.
"Guys, mending nggak usah kelahi deh, ada banyak cara kan." merasa tak yakin, Boy mencoba melerai.
"Lo jadi wasit aja Boy. Kali ini gue harus kasih pelajaran ke bocah songong itu." tangan Fareza menunjuk Sita.
Disisi lain, Sita telah mengenakan pelindung tangan dan gigi, siap untuk melawan Fareza. Dipikiran Sita sekarang adalah mengalahkan Fareza dan meluruskan kesalahpahaman ini.
Boy berdiri diantara Sita dan Fareza. Menjadi wasit untuk pertarungan yang tidak biasa. Untuk pertama kalinya dalam sejarah pertemanannya, dia mengharapkan adanya Rere. Paling tidak, Rere bisa menghentikan Fareza kalau sudah melewati batas.
Pertarungan sengit tak dapat terelakkan. Fareza dengan beringas menghajar Sita tepat di wajah, membuat Sita kehilangan keseimbangan. Tak mau kalah, Sita berusaha membalas pukulan Fareza.
Keduanya berkelahi secara imbang, satu dipukul, satunya lagi memukul. Hampir tak ada celah untuk sekedar menarik napas. Beberapa kali Sita tersungkur di lantai ring, membuat Fareza berada di puncak kepuasan.
Dengan cepat Sita bangkit, mendorong Fareza hingga ke batas ring.
"Ini salah paham, lo tau itu kan?" emosi Sita tak dapat dibendung. Dengan brutalnya dia menghajar kakak pacarnya. Tanpa ampun.
Boy segera meniup peluitnya, melerai mereka. Dalam kondisi ini, Fareza terpojokkan dan tak dapat membalas pukulan Sita.
"Udah deh guys, berenti aja. Nggak guna tau kalian berantem. Kalian bukan anak kecil." kesekian kalinya Boy melerai.
Fareza bangkit lagi, mengumpulkan tenaga untuk membalas pukulan Sita. Mengetahui apa yang direncanakan oleh lawannya, Sita segera bangkit juga dan berusaha memberikan serangan balasan.
Bhuakk.
Keduanya jatuh tersungkur di lantai ring. Boy langsung mendekati kedua sahabatnya itu, mengecek apakah keduanya terluka parah atau tidak.
"Ini belum selesai." Fareza masih berusaha bangkit. Namun karena keseimbangannya tidak bagus, dia terpeleset.
Kepalanya terasa sakit akibat pukulan Sita. Dan juga perih.
Disisi lain, Sita juga merasakan hal yang sama. Telinganya berdenging, membuat kepalanya pusing. Hampir membuatnya hilang kesadaran.
Saking paniknya, Boy hanya bisa menelepon pacarnya, memintanya untuk datang dan memberikan pertolongan pertama untuk kedua temannya.
20 menit kemudian, pacar Boy yang berprofesi sebagai dokter muncul. Membawa sekantong obat untuk pertolongan pertama, pacar Boy menilik satu per satu wajah kedua teman Boy.
"Masalah cewe?" tanya pacar Boy, Irina, kepada Boy.
Mengangkat bahu, Boy memberi isyarat bahwa dirinya tidak mengetahui akar permasalahan kedua sahabatnya itu.
Irina lalu membersihkan luka Sita terlebih dahulu karena tampak lebih parah ketimbang luka Fareza. Dibantu Boy, Irina mengobati keduanya secara bergantian. Setelah mengobati mereka, Irina pergi meninggalkan ketiga lelaki itu. Merasa sedikit bersalah, Boy mengikuti pacarnya.
"Kenapa lo songong banget sekarang?"
"Bukan songong. Gue cuma sibuk." Sita mencoba membela diri. "Lagian gue udah bilang sama Ayah, kalo gue bakal dateng."
Dengan senyum meremehkan, Fareza membalas, "Apapun itu, gue nggak akan ngebiarin lo tidur di rumah gue."
"Rumah gue luas, banyak kamar yang bisa ditempati Farani saat dia sendirian di rumah."
"Jangan ngimpi."
Menahan rasa sakit, keduanya duduk bersebelahan tanpa bisa bergerak leluasa.
"Farani bawa mobil Raffi?" Sita mengubah topik pembicaraan.
Perlahan Fareza menganggukkan kepalanya. Bila menggerakkan kepalanya terlalu kuat, seketika kepalanya akan terasa pusing.
"Kenapa Farani terima mobil Raffi, tapi nolak mobil gue?"
"Mobil lo terlalu bagus. Adek gue nggak sematre itu." jelas itu adalah sebuah kemenangan bagi Fareza untuk membalas Sita. Tapi dia lupa, bahwa tertawa sekarang menjadi hal yang menyakitkan baginya untuk saat ini.
"Kalo kita nikah, mobil gue bakal jadi milik dia juga kan. Kenapa dia nggak mikir yang simpel kek gitu?"
"Hei, Farani nggak akan nikah sebelum gue nikah." Fareza menginterupsi kata-kata Sita. Jelas dia tidak mau melihat adiknya menikah lebih dulu.
"Apa salahnya kalo kita nikah duluan?" tetap dengan pendiriannya, Sita ngotot.
"Nggak, gue nggak ngijinin." Fareza berusaha lebih ngotot.
"Kenapa?"
"Gue nggak ngijinin adek gue nikah sama orang yang bertengkar karena masalah mobil. Ngaca dulu sebelum ngomong."
Terlihat wajah Sita bersemu merah. Sudah bisa dipastikan kalau Farani menceritakan pertengkaran mereka semalam.
*
Farani sedang mengerjakan tugas di selazar kampus bersama Tika dan Amel sore itu. Keseriusan mereka bertiga terpecah saat mendengar HP Farani berbunyi. Sebuah pesan masuk.
Pesan dari Fareza.
"Abang gue ngechat nih." Farani mengambil HPnya dan membuka.
Betapa kagetnya dia saat membuka pesan dari kakaknya. Fareza mengirimi foto dirinya dan Sita yang babak belur. Dan keduanya masih sempat memasang senyuman.
Buru-buru Farani menelepon kakaknya.
"Halo." suara Fareza terdengar santai.
"What have you done?" Farani mengucapkan setiap kata dengan penuh penekanan.
"Sini, jemput. Gue nggak bisa fokus nyetir nih." dengan nada manja, Fareza berkata.
"Ambil mobil dulu di rumah. Kuncinya ada di laci kamar." terdengar suara Sita menyahut percakapan mereka.
"Dimana kalian sekarang?" Farani mulai tak sabar.
"Kita ada sasana Boy. Kesini ya, bawain jus alpukat depan kampus."
Antara emosi dan khawatir, itulah yang dirasakan oleh Farani saat ini. Bisa-bisanya mereka pamer udah berantem kek gitu, batin Farani kesal.
"Kenapa, Fa?" tanya Tika yang melihat Farani berubah menjadi jengkel.
Farani hanya bisa memperlihatkan foto dua orang lelaki yang bonyok sedang tersenyum. Melihat foto itu, Tika dan Amel mengenali salah satunya sebagai pacar Farani.
"Ini laki lo ngapain?" Tika dengan ragu bertanya.
"Mereka berantem." jawab Farani singkat.
"Siapa yang sama pacar lo ini?" kini giliran Amel yang bertanya.
"Kakak gue." Farani menghela napas berat.
Tika dan Amel saling bertukar pandang. Mereka tidak memahami informasi yang mereka dapatkan dengan mudah. Jadi singkatnya, pacar Farani berkelahi dengan kakak Farani. Kok bisa?
"Abang lo nggak tau kalo lo punya pacar?" Tika makin penasaran.
"Tau." Farani menjawab sambil mengirim pesan kepada Fareza. "Mereka temenan."
"Whoa daebak! Farani ternyata seberani itu macarin temen kakaknya." entah ucapan Amel itu memuji atau menghina Farani.
Melihat kondisi belajar kelompok yang sudah tidak kondusif, ketiga sahabat itu sepakat mengakhirnya. Dengan cekatan Farani membereskan semua barang bawaannya. Dan dalam waktu 10 menit, Farani sudah berada di dalam mobil Raffi.
Bersamaan dengan jam pulang kantor, jalanan menjadi macet. Sasaran Boy tidak begitu jauh dari kampus, hanya sekitar 15 menit, tapi karena macet Farani sampai di sasana hampir 30 menit.
Didalam sasana, Farani melihat Fareza dan Sita sedang ngobrol dengan asyiknya. Bahkan tanpa beban. Ditambah Boy yang membuat suasana menjadi lebih ramai.
"Halo Adikku tersayang." Fareza menyambut kedatangan Farani dengan sumringah.
Berbeda dengan Fareza, Sita hanya diam saja. Tampaknya dia masih sedikit kesat dengan Farani perihal mobil. Akan tetapi, melihat Farani yang memasang wajah garang membuat Sita ingin menggodanya.