Rasulullah menggeleng. "Kebenaran," ucapnya.
"Kebenaran?" ulang ayahku tak faham.
Ternyata kebenaran yang dimaksud adalah mahar.
Saat itu Rasulullah san ayah berada di dua sisi sungai kata yang berbeda. Wajah mereka saling terpaku. Mereka seolah-olah mengharapkan hadirnya sebuah kata yang dapat dipegang di kedua sisi.
Dua lelaki... Satu sungai. Dua sahabat. Dua teman. Dalam kebaikan dan kesusahan. Dalam kerasnya besi dan lembutnya kain. Dalam panasnya api dan sejuknya air. Di dunia dan di langit. Seluruh takdirnya diuji dengan empat unsur.... Berkata benar, dua orang jujur satu sama lain dan perkataannya.
Kebenaran....
Dalam dan luar menjadi satu.
Mereka adalah ucapan yang tak pernah berkata bohong.
Kebenaran.....
Kebenaran itu seperti berkah yang terpancar dari niat tulus seindah gunung-gunung, tanpa menanti balasan apa pun. Kebenaran ialah ketulusan di dalam sayap-sayap burung yang kelelahan terbang, keledai-keleda yang menyimpan susu, seluruh sayap dan hewan berkaki empat, sampai kepada para pengembara dan orang-orang lemah.
Kebenaran merupakan balasan yang bersih.
Kebenaran... Sebuah pernikahan. Mahar. Kebenaran kata-kata.
Perbincangan mereka adalah sebuah apel yang dibelah dua secara adil. Ayahku tersenyum. Maharku adalah sebuah rumah seharga lima puluh dirham. Jumlah itu akan diberikan kepada putri sahabatnya, dan sekali lagi diberikan kepada sahabatnya untuk pernikahan putrinya dengan sahabatnya.
Rasulullah tersenyum. Setiap senyum Rasulullah bagiku adalah hari pernikahanku.
Hari-hari hijrah kami terjadi di bulan syawal, bulan kedelapan. Waktu itu duha, waktu setelah fajar pagi namun sebelum masuk siang. Aku bersama teman-teman perempuan mengucapkan salam setelah menyelesaikan semua pekerjaan. Ketika kami sedang berbicara penuh dengan suka cita, ibu beserta satu rombongan wanita Anshar datang menghampiriku dengan wajah ceria.
"Semoga penuh kebaikan dan berkah! Semoga kebahagiaan selalu bersamamu!" seru wanita-wanita itu secara hampir bersamaan sampai membuatku terkejut. Semua orang mengelilingiku dengan ucapan dan doa-doa kebaikan, sambil mengenakan bunga-bunga yang mereka pegang ke kepalaku. Sebaiknya, aku dan teman-teman perempuanku diminta mengoleskan cairan beraroma wangi ke tangan mereka kemudian mereka semua berdoa untuk kami.
Kegembiraan wanita ialah seperti hujan yang tiba-tiba turun di tengah-tengah musim panas.
Ketika ibu berkata, "Waktu Humaira untuk menjadi pengantin telah tiba," aku Seakan-akan menyatu dengan keharuman bunga lavender, daun bunga mawar, dan wewangian berbagai aroma bunga. Terasa aku berada di bawah hujan bunga....
Ibuku, teman-teman wanitanya, dan gadis Anshar mengiringi setiap langkahku menuju ruang rias dengan nyanyi-nyanyian kegembiraan. Rambutku di keramas kemudian di sisir. Aku memakai pakaian yang sudah disiapkan sebelumnya oleh ibu. Mereka semua memegang kedua tanganku dan berkata kepadaku, "Ayao...."
Sebuah ruang yang ada disamping Masjid tempat ayahku dulu juga membantu pembangunannya kini dijadikan ruangan bagi kami, sebagai rumah kami, rumah kerinduan.
Saking rendah, kepalaku seperti hampir menyentuh atap rumah bila aku berdiri. Kami saling mengatur tempat sehingga ketika salah satu dari kami akan melakukan shalat, kening kami bisa menyentuh tempat sujud. Rumah kasih sayang itu adalah "tempat yang dilapangkan." Rumah ini mungkin cuma sebuah titik kecil di permukaan bumi, tapi itu menjadi titik kesetiaan, cinta, kasih sayang yang tak ada akhirnya.
Ketika aku berhenti di depan pintu, para sahabat perempuanku mendorong bahuku pelan-pelan agar masuk. Rasulullah yang menyadari rasa Maluku ketika berhenti di depan pintu segera mempersilakan aku masuk ke dalam rumah.
Dia kemudian membalikkan badan. Setelah itu kedua tangannya mengulurkn sebuah batu yang telah dia persiapkan sebelumnya. Aku menerimanya, dan persis pada saat itu batu tersebut memancarkan sinar yang menyilaukan kedua mataku. Rasulullah menjamuku dengan segelas susu. Aku masih berdiri diam menahan nafas di depan pintu, sampai teman-temanku berbisik ke telingaku. "Jangan tolak yang Rasulullah jamu kepadamu, ayo terima, ayo terima..."