webnovel

Now or Never

Kalau berjuang sekedar chat siang malem doang, operator juga bisa.

-Jomblo yang ingin diperjuangkan-

©

Seperti biasanya, Gean belum sarapan jika datang ke kantor. Tria menyiapkan beberapa kudapan untuk Gean, ia tak perlu menyiapkan kopi karena Gean datang dengan Sbux di tangannya.

"Gimana akhir pekan kamu?" tanya Gean saat Tria datang dengan sepiring cookies, ia meletakkannya di atas meja dekat sofa.

"Nice, saya pergi kencan sama Hilman."

"Pantes telpon saya nggak dijawab," keluh Gean.

Memang, Tria sengaja memasang mode silent pada ponselnya. Agar Gean tak mengganggu.

"Gimana acara pernikahan saudaranya Aruna?"

"Rame kayak resepsi biasanya,"

"Iya saya tahu rame, maksudnya saya itu perasaan Pak Gean atau ada hal yang menarik? Pak Gean sama Asha ketemu Aruna?" tanya Tria lagi, ia menemani Gean duduk di sofa. Sebelum akhirnya Gean memberikan Tria Hot Vanilla Latte.

"Kok namanya Rindu?" namanya masih belum ganti sepertinya di akta kelahiran, dari mana Gean tahu minuman kesukaan Tria?

"Soalnya selama akhir pekan saya rindu sama kamu," ucap Gean dengan datarnya. Tidak sadar sudah membuat hati Tria meletup-letup seperti kembang api.

"Kenapa nggak bilang?" tanya Tria tak kalah tenang dari ekspresi Gean.

"Rindu itu obatnya cuma satu, bertemu."

Tria terhenyak, Gean mengambil satu cookies lagi untuk ia kunyah. "Kamu nggak jawab telpon saya, itu artinya kamu mungkin nggak mau ketemu saya. Saya cuman bisa tahan sampai hari senin."

Mulut Tria baru saja akan terbuka untuk mengucap tanya, tapi Gean memotong ucapannya.

"Asha? atau Aruna?" Gean tersenyum lewat matanya, ia menyudahi acara menyantap cookies miliknya. Menyesap americano miliknya perlahan, rasa pahit dari kopi membuat Gean mengernyit pelan. "Kamu pasti bilang saya plin-plan, atau nggak teguh pendirian?"

"Iya, satu hari bilang nggak mau suka saya. Terus hari berikutnya Pak Gean bilang suka sama saya, menurut Pak Gean siapa yang nggak akan bingung?"

Gean memamerkan seulas senyum di wajahnya, membuat buku-buku jemari Tria menggenggam erat Cup Vanilla Latte miliknya. Ada gelenyar takut dan gemetar merayap ke hatinya, Gean suka atau tidak suka pada dirinya?

"Kalau saya plin-plan, saya mungkin sudah menjalin hubungan dengan beberapa perempuan sejak berpisah dengan Aruna. Tapi saya tidak melakukan itu, karena saya ingin ketika nanti saya menjalin kembali hubungan serius itu adalah yang terakhir untuk saya."

"Hubungannya dengan saya di mana? Memangnya saya kelihatan seperti orang yang nggak bisa dipercaya ya?" raut kecewa di wajah Tria terlihat sekali.

"Mungkin saya berada di tahap dimana menyangkal terasa lebih aman dibanding menerima kenyataan," kata Gean, percakapan serius ini sungguh membuat perut Tria keram di pagi hari. "Kamu bilang sayang sama saya, entah masih ada atau tidak perasaan itu untuk saya. Saya nggak peduli, karena mulai saat ini saya nggak akan menahan perasaan saya terhadap kamu."

"Maksudnya?"

"Saya nggak suka kamu dekat dengan pria lain. Saya nggak rela."

Tria tertawa pelan untuk menutupi kegugupannya, Gean mengatakan perasaannya pada Tria. Menyangkal sehebat apapun Tria tak bisa, ia tahu persis masih ada Gean di hatinya.

"Kenapa?"

"Karena saya yakin kamu orang yang tepat buat saya, kamu takut?" Gean menaikkan sebelah alisnya, matanya menatap lurus setiap detail wajah Tria.

"Hanya belum yakin."

"Jatuh cintalah pada orang yang tidak pernah menuntutmu, tapi kamu mau melakukan apapun untuknya," kata Gean. Tangannya mengusap rambut Tria yang kini menjadi sedikit berantakan, senyuman Gean kali ini terasa lebih hangat. "Dan orang itu kamu."

"Tidak usah dijawab, saya nggak meminta kamu untuk jadi pacar saya atau istri saya sekarang. Saya cuman mau mengatakan apa yang saya rasakan, seperti Bintang yang terlalu takut dengan Bulan karena menelan sinarnya. Saya pun begitu, khawatir kalau rasa sayang saya tertelan habis oleh rasa takut untuk mengatakan."

"Just being you, seperti Tria biasanya."

Memang bisa? Setelah rentetan kata yang diucapkan Gean mana bisa Tria berdiam diri dengan bernapas tenang seperti biasanya.

*

"Yayaa... " Mila menyikut Tria yang menatap tak semangat pada makan siangnya kali ini, "Kenapa sih lo? Kayak ayam mau dipotong, lesu."

"Sotonya asin," jawab Tria pada soto yang tak bersalah, padahal dalam benaknya Tria masih ada banyak pikiran melintas. Dari otak kanan sampai otak kiri tak ada habisnya spekulasi bermunculan.

"Masa sih?" Mila begitu penasaran sampai ia menyicipi soto ayam milik Tria. "Nggak ah, lo kesambet penghuni gang senggol ya?"

"Mana ada... " Tria memutar bola matanya. Memang indekost Tria lewat gang senggol, tapi aman kok nggak ada yang namanya penghuni tidak terlihat seperti yang diucapkan Mila.

"Ya abis lo diem aja," sengit Mila. Ia masih penasaran dengan tingkah laku temannya yang tak bersemangat. "Bukannya lo lagi deket sama sepupu Gean ya? Harusnya lo seneng dong, problematika wanita menjelang 30 tahunan lo terpecahkan."

Tria berdecak, ini lagi satu masalahnya. Mila tidak tahu Tria bingung bukan main, entah harus berterimakasih pada Hilman atau menangis. Tria tidak mau menjadi perempuan jahat pada lelaki baik seperti Hilman.

"Masalahnya adalah..., " Tria menggigit pelan bibirnya. Mengatakan pada Mila bahwa ia menyukai Gean akan terasa sangat canggung, pasti Mila akan mengomel lalu memperolok Tria yang menyukai Gean. "Gue sukanya sama orang lain, bukan Hilman."

"Memangnya Hilman kurang apa?"

"Bukan Hilman yang kurang apa, gue yang nggak tau diri." jawab Tria. Karena ada lelaki yang sangat baik seperti Hilman mau mengajaknya menjalin hubungan serius, namun apadaya Tria lebih dulu jatuh hati pada Gean. Yang sekarang, menjadi lebih manusiawi sebagai atasan. Dan tentu saja Gean mulai bertingkah seolah ia adalah Pria yang layak Tria pertimbangkan. Ponsel Tria berbunyi pertanda pesan masuk.

Mr Hurry Up : I'm not actually a good guy, but i am actually in love with you. 🐯

............................

Drop your hello to my IG : Sashalia28

Hii buat kalian pembaca baru. Buat pembaca lama terimakasih masih setia sampai part ini 💜

Chapitre suivant