webnovel

The Game Will Start Soon!

Daniel yang masih enggan berpisah dengan kekasih nya itu, masih dengan setia duduk di ruang tamu rumah Jenni.

Sepertinya Daniel kini benar benar jatuh terperanjat atas pesona Jenni. Jika saja Daniel tak mengingat bahwa kekasih nya itu masih berstatus mahasiswa, tak menutup kemungkinan Daniel akan melamar Jenni, hanya saja Daniel masih tahu diri yang tak mungkin begitu saja melamar Jenni, yang baru saja menjadi kekasihnya.

"Mengapa kau menatap ku seperti itu? Aku tahu aku memang sudah cantik dari dulu," tanya Jenni, yang diikuti dengan ucapannya yang seakan ia terlampau percaya diri akan dirinya itu.

Spontan Daniel yang mendengar ucapan Jenni langsung tertawa di buat nya. Sungguh kekasih nya itu sangat menggemaskan untuknya.

"Sepertinya aku setuju jika kekasih ku cantik, tetapi aku tak tahu jika kau ternyata cukup percaya diri juga," ujar Daniel jujur tanpa menghentikan kekehannya begitu saja.

Jenni yang mendengar ucapan Daniel hanya tersenyum meresponnya. Ia sendiri juga tak sadar mengapa ia percaya diri seperti itu.

"Sepertinya aku merasa nyaman dengan bang Daniel untuk itu aku bisa percaya diri seperti itu," ujar Jenni jujur mengungkapkan alasan yang masuk akal menurut dirinya.

Tangan Daniel refleks terulur dan mengusap rambut Jenni lembut. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa Daniel bisa tertarik pada Jenni, yaitu ia selalu mengungkapkan apa ada nya dirinya tanpa menambahkan atau mengurangi nya.

Waktu terus berjalan, tak terasa hari semakin gelap Daniel berada di rumah kekasih nya itu, untuk itu dengan keterpaksaan Daniel undur diri dari hadapan Jenni.

Sudut kedua ujung bibir Jenni terus menerus terangkat saat Daniel telah pergi dari rumah nya itu.

"Ekhem, sepertinya anak mom ada yang sedang berbunga bunga setelah di datangi pria tampan seperti nak Daniel," sindir Rose mendekati Jenni yang masih setia duduk di sofa.

Kedua pipi Jenni bersemu merah dibuatnya. Jujur memang ia sangat senang kekasihnya itu menghampiri dirinya, dan hampir saja ia benar benar melupakan apa yang tengah terjadi siang tadi saat bertemu dengan ayah dari Daniel.

'Sebaiknya aku tak boleh menyerah begitu saja pada bang Daniel, aku akan membuktikan padanya bahwa aku bisa seperti yang ia minta,' benak Jenni, dengan sedikit ujung bibir nya terangkat.

Paling tidak kini Jenni dapat menetapkan hatinya, dan memilih mana jalan yang harus ia ambil.

Setelah nya Jenni langsung menghamburkan tubuh nya pada Rose memeluk nya erat.

Rose tentu saja membalas pelukan Jenni erat.

"Tidurlah, sepertinya kau sudah lelah," ujar Rose pada Jenni menyuruhnya untuk tidur di kamarnya.

Sebuah anggukan pelan Jenni berikan pada Rose.

Jenni beranjak dari tempatnya, dan melangkahkan kakinya menuju kamar tidurnya. Ia fikir lebih baik ia menidurkan beberapa hal yang memutar di kepalanya terus menerus itu.

Ia baru sadar bahwa hal yang sedang ia jalani adalah hidupnya, dan segala hal yang mengenai kehidupannya, lebih baik di pertanggung jawabkan dengan sebaik baiknya oleh dirinya sendiri bukan orang lain.

Dengan memberanikan diri, Jenni mengetikkan sebuah pesan singkat pada seseorang yang ia yakini menjadi sumber kegundahannya beberapa jam terakhir.

Beruntung Daniel sebagai kekasih nya telah menyempatkan datang untuknya, bukan saja hanya untuknya, melainkan kehadiran Daniel sebelumnya menjadi pengambilan keputusan yang sekarang akan Jenni ambil.

[Maaf saya tak dapat melakukan mengikuti kemauan anda sebelumnya, saya mengambil tantangan anda, tolong di perhatikan dengan baik. -Jenni]

Setelah mengirimkan pesan tersebut, Jenni tampak jauh lebih lega, bahkan hatinya yang gundah, kini terasa lebih ringan. Ia sadar setelah ini permainan akan hatinya dan juga waktu menjadi satu kesatuan yang nanti nya akan menentukannya. Namun Jenni gadis yang cerdas, tak mungkin ia akan menyianyiakan apalagi membuang waktu nya dengan hal tak berguna.

'Aku pasti bisa,' benak Jenni meyakinkan diri.

***

Seorang pria paruh baya yang baru saja hendak memejamkan maniknya dengan nyaman, dikagetkan oleh sebuah pesan yang baru saja masuk kedalam handphonenya itu.

Manik pria paruh baya itu tampak membulat sempurna. Ia tak menyangka bahwa keinginan gadis itu cukup besar adanya, padahal dibalik itu semua gadis itu tak memiliki hal patut dibanggakan sejauh ini, kecuali dengan kuliah nya yang mendapatkan beasiswa.

"Baiklah gadis kecil, besok permainan akan dimulai, aku akan memantaumu dari jauh sebelum waktu yang di tentukan itu berakhir," ujar pria paruh baya itu sambil menjentikkan jarinya di paha nya yang sudah dalam posisi terduduk di ranjang itu.

Sebuah sunggingan senyuman kecil dapat di lihat pada wajah pria paruh baya itu sebelum ia kembali merebahkan tubuhnya, untuk mengistirahat tubuhnya yang semakin lama menua dengan sendirinya.

"Dasar bocah ambisius,"

...

Leave comment and vote

Chapitre suivant