Kim Jisoo dulunya selalu punya perspektif bahwa kehidupan yang menyenangkan itu memiliki banyak uang, punya pekerjaan yang bagus, dan berasal dari keluarga yang mapan. Ia sampai berangan-angan untuk menjadi orang lain. Namun pandangannya itu akhirnya berubah karena sebuah pengalaman unik.
Based on song This is me by DemiLovato
Amazing poster by CASTORPOLLUX@PosterZone
-
Author POV
"Seandainya kau bisa menjadi orang lain, kau ingin menjadi siapa?"
Pertanyaan itu kini masih saja menguasai kepala Jisoo. Sejak membaca sepenggal kalimat itu dari sebuah buku di perpustakaan umum, Jisoo menjadi terpaku akan pertanyaan itu. Seakan–akan seperti sebuah pertanyaan yang membutuhkan jawaban, Jisoo terus memikirkannya. Ia bahkan tengah menghitung–hitung berapa banyak orang yang bernasib 1000 kali lebih baik daripada dirinya. Seandainya bisa, ia tentu mau menjadi salah satu orang itu. Tapi tetap saja, itu mustahil. Bahkan buktinya, ia masih berdiri di balik meja kasir dan tetap menjadi seorang penjaga kasir di sebuah kedai kue kecil. Dengan cara memikirkan jawabannya tentu tidak akan mengubah apa pun.
"Jisoo-ah," panggilan yang terdengar ragu–ragu itu sontak membuyarkan khayalan Jisoo. Ia lalu menatap asal suara dengan wajah kebingungan. Ia kini setengah terperanjat akan sosok yang dilihatnya, tepat di hadapannya.
"J-Jennie?" ujarnya seakan tak percaya.
"Apa yang kau lakukan di sini?" sambung Jisoo sembari berusaha tampak terlihat tenang di hadapan gadis yang kini juga tengah menatapnya.
"Aku? Aku sedang membeli kue untuk perayaan ulang tahun pernikahan ayah dan ibuku. Kau sendiri?" tanya Jennie balik. Namun belum sempat Jisoo menjawab, Jennie segera menyabung perkataannya.
"Ah, jangan bilang kau sekarang menjadi seorang kasir di kedai kue kecil ini? Ck, lucu sekali," ucap Jennie sinis lalu menarik kedua sudut bibirnya dengan ekspresi penuh kemenangan.
"Harusnya orang–orang bisa melihatmu sekarang. Seorang Kim Jisoo yang dulunya di puja–puja karena kepintarannya kini berakhir dengan mesin kasir sederhana. Menurutmu, jika anak–anak di sekolah kita dulu tahu kau sekarang berakhir seperti ini, bagaimana komentar mereka? Tidakkah kau berpikir mereka akan menyesal setengah mati telah menjadikanmu gadis idaman mereka dulu?"
"Aku tidak memikirkan masa–masa sekolah dulu. Aku tidak suka mengungkitnya," tanggap Jisoo sembari mulai menekan tombol–tombol di mesin kasirnya untuk menginput pembelian kue milik gadis di hadapannya.
"Kenapa? Karena kau tahu bahwa nasibmu sekarang seperti ini? Bukankah kau dulu bercita–cita sebagai seorang guru? Kenapa kau justru berakhir di sini? Cih, kau benar–benar menyedihkan," ujar Jennie berusaha mengungkapkan semua kebenciannya pada gadis penjaga kasir di hadapannya yang notabene adalah musuh bebuyutannya dulu ketika masih duduk di bangku sekolah menengah. Namun Jisoo tampak berusaha tenang. Ia malu bahkan untuk sekedar memberontak. Ia memilih untuk tetap menjalankan tugasnya.
"Aku tidak peduli apa pun yang kau katakan. Dan sekarang, sebaiknya kau bayar kue pesananmu ini dan segera pergi dari sini. Bagaimana?"
"Berapa?" tanya Jennie sinis.
"17.000 won."
Jennie tampak mengeluarkan beberapa lembar uang kertas pecahan besar dari dompetnya dan segera menyerahkannya pada penjaga kasir di hadapannya, "Ini."
Jisoo pun tak ingin membuang–buang waktu. Ia meraih lembaran berharga itu dan menyimpannya dengan rapi di dalam mesin kasir. Jennie lantas segera mengambil box berisi kue miliknya dan bergegas pergi dengan wajah puas.
"Sisanya untukmu saja,"kata Jennie dengan langkah besar menuju pintu keluar.
Jisoo lantas terkekeh kesal lalu menggigit kuat bibir bawahnya. Rasanya, inilah pertama kalinya ia benar–benar merasa di rendahkan oleh gadis congak yang baru saja pergi meninggalkan bangunan kecil itu. Ia merasa seperti hanya di anggap sebagai kotoran anjing yang tidak berguna oleh gadis itu.
Jisoo menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Isakan kecil nan menyakitkan mulai keluar dari mulut Jisoo. Pundaknya bergetar kuat menandakan begitu besarnya rasa sakit yang kini dialami gadis bersurai hitam itu. Ia hanya tak habis pikir, angin apa yang bisa membawa gadis jahat itu kemari. Padahal ia hanya ingin melanjutkan hidupnya dengan baik. Namun ketakutannya justru terjadi. Ia malu. Sangat malu karena tidak seberuntung Jennie.
Jisoo kembali terduduk di kursi kasirnya. Ia mengambil nafas dalam lalu menghembuskannya perlahan–lahan melalui mulutnya. Ia berusaha tegar. Bahkan setelah musuh masa sekolahnya datang dan menghina kehidupannya saat ini. Ia kini hanya dapat menghela nafas panjang.
"Masalah apa lagi sekarang?" tanya seorang pria jakung berkemeja putih dengan lengan baju yang di lipat ke atas yang tampak dari balik punggung Jisoo yang bersedih.
Jisoo berbalik mencari sumber suara. Sedetik setelahnya, Jisoo pun berhasil mendapati pria dengan raut wajah datar itu tengah menatapnya.
"Kau sudah datang rupanya," kata Jisoo lalu beranjak dari tempat duduknya sembari mengusap pelan wajahnya dengan kedua tangannya.
"Siapa gadis tadi? Sehebat itukah dia sampai bisa membuatmu terduduk lemas seperti ini? Ah, Kim Jisoo," ujar pria tadi sembari menaikkan sebelah alisnya; meminta jawaban.
Jisoo hanya dapat tersenyum kecut menatap ekspresi menyebalkan itu. Ia lalu berjalan keluar dari meja kasirnya dan segera melepaskan name tag yang sejak pagi bertengger di kemeja putih miliknya itu.
"Aku tahu kau paham makna kata diam, bukan? Jadi hentikan, eoh!" sergah Jisoo singkat sembari menuju ruang ganti; tempat di mana ia menyimpan tas dan jaketnya.
Jiwon– pria yang kini mematung di depan mesin kasir itu lantas tersenyum penuh arti. Ia tahu rasa tertekan Jisoo. Dan ia tahu, Jisoo mampu mengatasi semua masalahnya. Ia cukup kenal bagaimana seorang Kim Jisoo.
Tak berselang lama, Jisoo kembali muncul ke meja kasir yang saat itu sudah di ambil alih oleh pria tampan bermarga Kim itu. Ia berjalan sembari menjinjing tas ranselnya yang ringan dan mulai menguncir rambutnya secara asal.
"Jiwon-ah, kurasa besok aku tidak bisa mengambil shift pagi. Aku akan mengantar nenekku ke rumah sakit besok pagi. Jadi, tolong gantikan aku. Aku akan kemari pukul dua siang besok. Bagaimana?" kata gadis itu santai.
"Karena asma lagi?" Tanya Jiwon.
Jisoo lalu mengangguk dengan tatapan sayu. Ia tersenyum dan mulai beranjak pergi, meninggalkan Jiwon yang tengah membeku di tempatnya.
.
.
.
Jisoo berjalan menyusuri trotoar sore itu. Seperti hari–hari biasanya, ia akan berjalan kaki dari tempatnya bekerja sampai ke rumahnya. Jika kalian tanya apa ia lelah? Tentu melelahkan jika harus berjalan kaki sejauh satu kilometer pulang pergi dari rumah ke kedai kue tempat ia mengais rezeki. Tapi mau bagaimana lagi? Rasanya terlalu di sayangkan jika uang makannya hari ini harus di gunakan untuk membayar ongkos transportasinya. Yah, ia harus menerima segala keadaan.
Di tengah–tengah langkahnya, Jisoo kembali melewati perpustakaan umum itu. Ditatapnya sebentar lalu berhenti. Ia berbalik fokus pada bangunan besar dengan banner 'Perpustakaan Umum Kota Seoul' itu. Ia menghentikan langkahnya dan secara sontak, pertanyaan yang sempat mengelilingi isi kepalanya itu kembali muncul.
'Seandainya kau bisa menjadi orang lain, kau ingin menjadi siapa?'
Jisoo menatap mantap pada pintu masuk. Kakinya secara perlahan berayun memasuki perpustakaan.
Jisoo menatap sekeliling. Ia berusaha mengingat tempat di mana ia menemukan buku dengan pertanyaan yang menghipnotis itu. Dan tak perlu waktu lama, kakinya pun mulai berjalan ke arah rak buku yang berada di sudut kanan perpustakaan itu.
Mata Jisoo mulai menjelajahi setiap buku yang berada di hadapannya. Ia masih ingat betul sampul buku itu, dan membuatnya hanya membutuhkan waktu lima menit untuk mendapatkan buku itu.
Jisoo meraih buku setengah tebal itu dan mulai membuka beberapa halaman. Dilihatnya pertanyaan itu lagi. Pertanyaan yang saat itu juga membuat senyum Jisoo mengembang puas. Ia lalu membaca kata per kata yang tercetak di atas kertas itu.
'Jika kau percaya, mungkin kau akan beruntung…'
Jisoo menautkan kedua alisnya kebingungan. Kalimat barusan membuatnya sukses bertanya–tanya akan maknanya.
'Kau bisa menjadi siapa pun yang kau inginkan. Keajaiban bisa datang di mana saja. Tapi kau hanya perlu percaya.'
Jisoo menarik nafasnya. Ia berusaha mencerna setiap kata yang di bacanya. Dan rasanya ia mulai mengerti. Tapi pertanyaannya, apakah ia akan benar–benar percaya?
Jisoo membalik halaman selanjutnya.
'So, who do you want to be?'
Jisoo terdiam. Ia meraih pulpen yang bertengger di balik saku kemejanya dengan perasaan sedikit ragu. Dan secara perlahan, ia pun mulai menulis.
'seandainya bisa, aku ingin menjadi Jennie. Kim Jennie.' Tulisnya.
Tampak senyum pasrah pun membingkai wajah cantik miliknya. Ia tidak berharap apa–apa, tapi ia percaya…
Suatu hari ia pasti bisa menjadi seperti Jennie. Kaya raya dan cantik rupawan.
Jisoo lalu menutup buku itu dan menyimpannya kembali pada tempat di mana ia menemukannya.
Setelah itu ia pun bergegas pulang dan beristirahat. Menjelang esok harinya, Jisoo terbangun dari tidurnya. Hanya saja, rasanya agak sedikit berbeda bagi Jisoo. Ranjang yang selama hampir 10 tahun menemani tidurnya terasa sangat hangat dan empuk. Kamarnya pun terlihat samar–samar. Dan berselang tak lama, Jisoo akhirnya menyadari bahwa ia kini tidak sedang berada di kamarnya. Apa mungkin ia diculik?
.
.
.
Jisoo masih memegangi pipinya sembari menatap cermin. Sumpah demi apapun, ia masih tidak percaya akan tempat yang meneduhinya saat ini. Kamar yang saat ini ia tempati tampak berbeda 180 derajat dengan kamar tidur yang biasanya ia tempati. Bahkan ia tidak ingat kapan ia memiliki piama dengan kain selembut sutera seperti ini. Rasanya asing sekali. Jisoo pun hanya dapat duduk mematung di atas sebuah kursi yang di hadapannya terpajang sebuah cermin besar yang dari tampaknya saja bisa di tebak memiliki harga yang mahal.
"Apa yang terjadi. Apa mungkin aku terjebak dalam kasus perdagangan manusia? Ya Tuhan. Apa yang harus kulakukan?" celoteh Jisoo masih dengan kegiatan yang sama.
Dilihatnya sekeliling ruangan itu dengan kedua bola mata yang masih di milikinya. Ia menjelajah dengan pandangan setengah ketakutan. Bahkan bibir dan kedua tangannya masih senantiasa bergetar tak karuan.
Tok tok tok…
Suara itu sontak saja menggema di putaran gendang telinga Jisoo. Ia menatap ke arah pintu yang diyakininya sebagai sumber suara. Jisoo beranjak dari tempat duduknya dan berjalan mundur menjauhi pintu.
Hampir empat detik setelahnya, pintu itu pun terbuka dan berhasil menampakkan sesosok wanita dengan gaun yang lebih mirip seragam maid. Tampak dengan jelas, sosok wanita tadi tengah membawa nampan dengan segelas susu dan tiga potong sandwich di atasnya.
Jisoo terpaku dalam posisinya. Ia hanya dapat mematung ketika wanita yang hampir paruh baya itu mendekati meja yang posisinya berada tepat di sebelah ranjang berukuran queen size yang ada di ruangan itu.
Wanita itu membungkuk 45 derajat sembari tersenyum hangat, "Selamat pagi, Nona," ujarnya lalu segera berdiri tegak dan mulai bergegas keluar dari ruangan itu.
Namun belum sempat mendekati pintu, Jisoo segera memanggil wanita itu kembali.
"Tunggu!" serunya lalu mulai mendekat.
Wanita tadi berbalik dan berhasil mendapati Jisoo dengan jarak yang sudah tidak terlalu jauh dengannya.
"Ada apa, Nona? Apa Anda ingin sesuatu?" tanya wanita itu.
Jisoo lantas menggeleng pelan sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia menatap sedikit kebingungan.
"A-aku.. bagaimana menjelaskannya yah…" gumam gadis itu namun masih bisa terdengar jelas di telinga wanita tadi.
"Aku… di mana?" tanya Jisoo yang sontak membuat sepasang manik yang tengah menatapnya itu setengah terbelalak. Bahkan wanita tadi tampak terkekeh pelan setelah mendengar pertanyaan itu.
"Anda? Tentu Anda sedang berada di kamar Anda, Nona." jawab wanita itu sembari tersenyum.
Jisoo tersentak. Ia menatap wanita di hadapannya dengan tatapan tak percaya. Sungguh, pikiran seorang Kim Jisoo kini tengah diguncang.
"A-aku? Ck, bagaimana mungkin.. Ini kamarku?' tanya Jisoo kembali memastikan.
Wanita tersebut lalu mengangguk pelan; mengiyakan pertanyaan Jisoo, "Apa ada sesuatu yang salah, Nona? Anda baik – baik saja, 'kan?"
"Aku tidak yakin. Kurasa semalam aku masih melihat semuanya baik–baik saja."
"Lalu, apa yang bisa saya bantu untuk Anda?" tanya wanita itu terbawa kepanikan.
Jisoo menghela nafas lalu memilih duduk di pinggiran ranjang. Ia menatap wanita itu sebentar lalu memalingkan wajah.
"Entahlah. Aku sendiri juga bingung."
Wanita bersurai sesiku itu pun hanya dapat mematung. Ia bingung harus melakukan apa untuk gadis cantik di hadapannya.
"Kalau begitu saya permisi dulu, Nona," ujarnya lalu bergegas pergi dengan langkah cepat.
Jisoo hanya dapat menatap punggung yang perlahan menghilang dari balik pintu itu. Ia kini kebingungan. Ia bahkan masih berada dalam tubuhnya. Ia masih sadar betul siapa dirinya yang sebenarnya. Ia bukanlah pengidap amnesia yang bisa secara tiba–tiba, dengan alasan ilmiah kehilangan beberapa kepingan ingatannya.
Tapi ada satu kemungkinan akan alasan mengapa ia di sini.
'Kau bisa menjadi siapa pun yang kau inginkan. Keajaiban bisa datang di mana saja. Tapi kau hanya perlu percaya.'
Ia tiba–tiba teringat akan kalimat itu. Kalimat yang perlahan–lahan meyakinkannya bahwa alasan ia berada di tempat itu mungkin karena buku di perpustakaan itu. Buku yang secara tidak langsung membuatnya yakin bahwa ia bisa menjadi orang lain yang di inginkannya.
"Mungkinkah itu karena…"
.
.
.
Benar–benar berada di luar pikirannya saat ini, Jisoo kini ternyata menjalani hidup sebagai Kim Jennie–orang yang selama bertahun–tahun menaruh dendam padanya. Tubuh, wajah serta ingatannya masih sama seperti dulu. Hanya saja, orang–orang di sekitarnya mengenalinya sebagai Kim Jennie– anak bungsu dari pemilik sebuah perusahaan furnitur terbesar kedua di Korea Selatan. Dan entah bagaimana caranya hingga ia bisa sampai di rumah bak istana itu. Hari dimana ia mendapati dirinya dikenali sebagai Kim Jennie merupakan salah satu hari dari sekian deretan hari–hari sulit lainnya yang ia jalani sampai kini. Siapa yang menyangka jika manusia dengan uang berlimpah seperti Kim Jennie juga mempunyai kesulitannya sendiri. Bukan karena uang mungkin. Lapar dan diusir dari rumah petakan sewaan pun tentu tidak mungkin. Tapi masalahnya kini agak, berbeda.
Sama seperti beberapa hari yang lalu, Jisoo kini kembali menatap layar laptop di hadapannya dengan penuh ketelitian. Ia menghela nafas tatkala mendapati jalan buntu dari dalam kepalanya. Ia sudah setengah frustrasi dirasanya.
Jisoo terus saja mengoceh tak jelas sembari terus berusaha membuat gambar meja kayu pada layar laptopnya. Urat matanya sudah setengah tegang menatap sinar menyilaukan dari layar persegi panjang itu, namun Jisoo masih memaksakan kedua manik kecokelatannya untuk tetap mematung.
Yah, semenjak ia berada diposisi Jennie, ia harus mengerjakan semua tugas Jennie. Pekerjaan Jennie sama sekali berbeda dengan pekerjaannya sebagai penjaga kasir. Jennie bekerja di perusahaan keluarganya sebagai furniture designer. Dan begitu sial, Jisoo tidak bisa menggambar. Alhasil, gambaran yang dibuatnya selama kurang lebih lima hari itu hanya tampak seperti garis lurus tak berharga. Jisoo sangat buruk dalam menggambar.
"Permisi, Nona," sela suara barusan menghentikan kegiatan monoton Jisoo. Gadis itu menatap pada sumber suara dan tersenyum singkat pada wanita hampir paruh baya itu.
"Ada apa?"
"Tuan Kim meminta tolong kepada Anda untuk mengantarkan kue pesanannya pada paman Anda, Nona. Tuan memesannya di kedai Cream'zOf, Nona."
Jisoo membuka mulutnya sedikit hingga tampak membentuk huruf O di sana. Ia lalu mengangguk pelan sembari mulai beranjak dari kursinya.
"Katakan pada ayahku, aku akan berangkat 10 menit lagi," ucap Jisoo lalu menutup laptopnya dan segera mengambil langkah besar kearah tas hitam miliknya.
Sang pelayan lalu mengangguk mengerti dan segera membungkuk hormat. Tak lama, wanita tadi pun pergi dan menyisakan Jisoo dengan senyumnya yang tampak mengembang hebat.
.
.
.
Mobil sedan hitam mengkilap itu berhenti melaju dan tampak menepi di samping trotoar sepi kendaraan. Jisoo– si penumpang mobil tersebut tinggal sejenak untuk mengamati sebuah bangunan berlantai dua yang secara keseluruhan begitu familiar baginya. Itu adalah kedai kue yang selama hampir lima tahun menopang biaya hidupnya dan juga neneknya. Namun semenjak orang–orang dengan sadar mengenalinya sebagai Kim Jennie, kedai kue itu tak lagi pernah dikunjunginya.
Jisoo membuka pintu mobil dengan sangat perlahan. Entah karena gugup atau apa ia kini tampak tidak siap. Namun langkahnya tetap berderap pasti memasuki kedai itu. Dilihatnya sosok itu lagi. Jennie yang kini lengkap dengan kemeja putih dan name tag bertuliskan 'Kim Ji Soo' berdiri di balik meja kasir sembari membalas tatapannya dengan ekspresi sedikit terkejut. Beginikah rasanya berada di posisi Jennie? Jisoo benar–benar merasa menikmati perannya.
Ia lantas tak ingin membuang–uang banyak waktunya. Ia dengan segera berjalan kearah meja order. Ia tersenyum singkat pada pria yang dengan tegak sudah menunggunya dari balik meja order sembari mulai membungkuk cepat.
"Selamat datang di kedai kue Cream'zOf. Apa Anda sudah memesan sebelumnya?" ujar pria tadi sembari menatap Jisoo fokus.
Jisoo mengangguk lalu mengeluarkan secarik kertas kecil dari tasnya yang notabene adalah nota pembelian yang disimpannya. Ia lalu memperlihatkannya pada pria yang sempat menjadi rekan kerjanya itu.
"Pegawai di kantorku telah memesan dan membayarnya kemarin."
Pria yang ia ketahui bernama Kim Jiwon itupun langsung bergegas mengambil sekotak kue dengan pita putih yang merangkainya dengan indah. Ia menyodorkannya pada Jisoo dengan senyum. Pria itu lalu mengarahkan telapak tangannya kearah meja kasir dengan niat menunjukkan tempat dimana ia harus membayar kue itu. Jisoo tersenyum dalam hati. Rasanya ia tidak perlu diberitahu di mana meja kasir. Karena tentu, Jisoo hafal betul tempat itu. Bahkan ia masih hafal bagaimana caranya menggunakan kasir itu.
Jisoo lalu melangkah seolah mengikuti arahan Jiwon. Ia memegangi kotak berbahan kardus tipis itu dengan kedua tangannya. Ia lalu menangkap wajah itu. Ekspresi penuh keterkejutan yang tampak dari wajah seorang Kim Jennie yang sesungguhnya.
"Jisoo?" ujar Jisoo sembari menatap Jennie yang memandangnya setengah sinis.
"Lama tidak bertemu," sambung Jisoo lagi.
Jennie hanya mengangguk pelan, mengiyakan pernyataan gadis di hadapannya. Jisoo pun segera menyodorkan kotak kue miliknya dengan niat membayar.
"Setelah dua tahun tidak bertemu, ternyata kau berakhir di mesin kasir ini. Lucu sekali, Kim Jisoo."
Jennie berusaha tersenyum, namun tetap fokus dengan pekerjaannya.
"Tampaknya gelar juara umum saat sekolah dulu tidak membantu apa–apa untukmu. Menyedihkan sekali," kata Jisoo sembari melayangkan senyum kebanggaannya, membuatnya tampak benar–benar menikmati posisinya saat itu.
Tak lama Jennie pun selesai dengan tugasnya di depan mesin kasir. Ia lalu menatap Jisoo datar.
"Ini mungkin sudah takdirku. Aku tahu aku tidak punya banyak hal sepertimu," perlahan Jennie menyodorkan box kue tadi pada sang pemilik. Matanya seolah menggambarkan kalimat bangga pada dirinya sendiri.
"Tapi yang jelas, aku bahagia."
Jisoo terbelalak menatap Jennie yang kini tersenyum santai. Apa maksud gadis gila ini? Pikirnya.
"Bahagia? Bahagia kau bilang? Memangnya kau sudah merasakan bagaimana rasanya diusir dari rumah sewaan? Apa kau sudah tahu rasanya harus bekerja dari pagi hingga larut malam disaat orang lain tengah bersantai dengan hartanya yang berhambur? Ataukah kau tahu bagaimana rasanya direndahkan oleh orang lain? Apa kau tahu rasanya, eoh?" kata Jisoo dengan amarah yang mulai mencapai ubun–ubun.
Jennie lantas mengangguk sembari tersenyum simpul, "Tentu, Kim Jennie."
Jisoo menautkan kedua alisnya keheranan sekaligus merasa marah. Kenapa sosok Jennie ini benar–benar tampak santai menanggapi hujatannya. Ia bahkan merasa hampir putus asa untuk dapat melihat Jennie tersiksa dengan keadaan yang pernah dialaminya itu. Ia hanya bisa menghela nafas kasar yang seolah mencekiknya saat ini. Sungguh, ia tidak tahu jalan pikiran Jennie saat ini.
"19.000 won," ucap Jennie menyadarkan Jisoo dari dunia khayalnya. Ia bergerak kaku dan canggung saat mengambil beberapa lembar uang dari dompetnya dan diserahkannya pada gadis penjaga kasir di hadapannya.
Jisoo lalu menjinjing kembali kotak berisi kue itu dengan tangan kanannya lalu mulai melangkah pergi.
"Jennie-ah. Tunggu!" cegat Jennie asli yang kontan membuat Jisoo berhenti mengayunkan kedua kakinya bergantian.
Jisoo berbalik, menatap asal suara.
"Maaf, tapi… kau lupa mengambil kembalianmu."
Jisoo menarik napas sejenak lalu menatap Jennie penuh arti.
"Untukmu saja," ujar Jisoo yang langsung membuat senyum Jennie mengembang.
"Terima kasih. Sungguh."
Jisoo lalu berbalik berusaha tak peduli dan beranjak pergi dari kedai kecil itu.
.
.
.
"Keluar!"
Jisoo tersentak tatkala mendengar pria berjas yang dianggap paman oleh Jennie itu meneriakinya ketika ia baru saja menyodorkan kotak kue yang baru dibelinya itu.
"Tapi, Paman,"
"Kenapa? Setelah puas bermain–main dengan gambar desainmu, sekarang kau ingin menyogokku agar kau tetap mendapat jabatanmu itu? Begitu menurutmu, Jennie Kim? Kau ini mempermalukan nama baik perusahaan keluarga. Kau hanya sibuk dengan duniamu. Kau tidak pernah bisa serius dengan pekerjaanmu," jelas pria itu tanpa menatap Jisoo sedikit pun.
"Maafkan aku, Paman. Pikiranku sedang kacau belakangan ini."
"Sudahlah, Jennie. Paman hanya memperingatimu. Jika kau masih seperti ini untuk kedepannya, jangan harap kau masih kuanggap keponakanku."
Jisoo menghela nafas. Ia habis dimaki oleh pria bertubuh tinggi itu. Sepertinya, ia hanyalah seorang pengemis jabatan di mata pria yang notabene adalah kakak dari ayah Jennie itu. Sungguh, ini memalukan untuknya.
"Saya akan berusaha lebih baik lagi," bujuk Jisoo berusaha memperbaiki suasana saat itu. Namun hal itu tampaknya hanya membuat pria dengan kisaran usia 50 tahunan itu semakin dibuat geram oleh keponakannya itu.
"Aku tidak butuh usahamu. Aku menuntut hasil, Jennie Kim!" kata pria itu dengan nada yang semakin memuncak dan membuat seorang Kim Jisoo hanya dapat menundukkan kepalanya karena malu.
"Saya permisi," ucapnya lalu berjalan cepat kearah pintu keluar.
.
.
.
Jisoo POV
Aku bingung. Bukankah yang kuinginkan selama ini hanya menjadi kaya? Tapi kenapa sekarang rasanya, aku lebih suka hidupku yang dulu. Sebagai Kim Jisoo, si penjaga kasir. Jika harus digambarkan dengan kata–kata, sekarang adalah saat–saat yang paling menyiksa untukku. Aku dianggap sebagai orang yang tak lagi berguna, bahkan paman Jennie mengusirku.
Aku tidak mengerti keinginanku sendiri. Terkadang aku merasa bahwa uang adalah nafasku. Tapi semuanya tidak berarti lagi sekarang. Untuk apa hidup dengan harta berlimpah sementara orang menganggapku sebagai Jennie? Ini lebih memalukan daripada mengakui bahwa aku hanyalah seorang penjaga kasir.
Sekarang aku paham apa maksud dari kata bahagia yang diucapkan Jennie tadi siang. Ia tahu betul bagaimana memaknai suatu kehidupan. Entah kini aku yang bodoh atau dia yang terlalu pintar. Tapi intinya, aku menyesali segalanya.
Seandainya, aku bisa menjadi diriku yang sebenarnya. Aku tidak akan menyembunyikan jati diriku lagi. Aku menyesal telah menukar kasih sayang nenek dengan kehidupan mewah yang entah dari mana asal usulnya. Aku hanya butuh kehidupanku yang dulu.
.
.
.
Author POV
"Jisoo-ah, jam istirahat sudah habis. Ayo bangun."
Suara yang samar–samar terdengar itu perlahan–lahan membuat Jisoo tersadar dari alam mimpinya. Ia membuka kedua matanya tatkala kesadarannya mulai terkumpul.
Jisoo mendongak menatap lurus. Dirasakannya tiupan angin sejuk dari kipas angin kecil yang berada tak jauh di sebelahnya. Ia menatap sekeliling. Rasanya ini bukanlah tempat yang asing bagi Jisoo, bahkan bisa dikatakan teramat familiar. Jisoo terdiam sejenak untuk berpikir. Dan berselang sekitar beberapa detik kemudian, gadis itu akhirnya sadar bahwa ia kini tengah berada di balik meja kasir miliknya. Ini kedai kecil tempat ia mengais rezeki selama lima tahun terakhir.
Jisoo membulatkan kedua matanya terkejut. Mulutnya pun secara tak sadar kini terbuka agak lebar saking tak percayanya.
"Apa yang kau lakukan?"
Suara itu sontak mengejutkan Jisoo dan membuatnya hanya dapat menatap tak percaya. Jisoo terdiam lalu berusaha menelan salivanya dengan cepat.
"Jiwon-ah,"gumam Jisoo lalu mengusap matanya cepat.
"Ah, ini sungguhan. Terima kasih, Tuhan. Keinginanku terwujud lagi," ujarnya lagi lalu melompat–lompat kecil sembari tersenyum lebar.
Jiwon; pria tampan yang kini menatap Jisoo hanya bisa terdiam. Ia bahkan tidak tahu keinginan apa yang baru saja terwujud di sana.
"Kau ini bicara apa. Dasar gadis aneh."
Jisoo lalu berjalan mendekati rekan kerjanya satu–satunya itu. Ia lalu memegangi kedua pipi Jiwon dengan kedua telapak tangannya.
"Jiwon-ah, kau tidak tahu apa yang baru saja kualami. Aku tahu, awalnya aku menikmati posisi itu…tapi aku merasa bekerja di sini, dengan kau tentunya akan lebih menyenangkan."
Jiwon mengerutkan dahinya. Ia kini benar–benar kebingungan dengan sikap gadis di hadapannya yang saat ini tidak tampak seperti biasanya. Jiwon seperti menemukan Jisoo dengan harapan hidup yang tinggi saat ini.
"Lalu, apa?"
Jisoo melepaskan tangannya dari wajah Jiwon yang kebingungan. Ia lalu mengelilingi kedai kecil itu dan mengakhiri langkahnya di tempat duduk; belakang meja kasir miliknya. Rasanya benar–benar hidup kembali baginya.
Jisoo tersenyum simpul. Ia menghela nafas puas karena semua yang dilihatnya. Baginya, inilah hidup. Hidup bukan hanya tentang uang ataupun mobil mahal yang bisa mengantarmu ke mana saja. Tapi hidup tentang bagaimana kau bisa menjadi dirimu sendiri. Dan itulah yang kini tengah dipikirkan Jisoo. Jisoo merasa beruntung bisa mendapatkan kesempatan kedua untuk tetap menjadi dirinya sendiri.
"Jiwon-ah, mulai sekarang aku akan berjanji pada diriku. Aku akan menjadi diriku sendiri. Aku tidak ingin lagi menyembunyikan kenyataan bahwa aku adalah seorang penjaga kasir. Pikirku juga, memangnya kenapa jika aku hanya seorang penjaga kasir. Toh, ini pekerjaan yang tidak membuat kita harus dicaci maki oleh keluarga sendiri hanya gara–gara tidak becus mengerjakannya. Benar, 'kan?" tanya Jisoo sambil menatap Jiwon dengan wajah semringah.
Jiwon membalas senyuman itu. Ia mengangguk lalu berjalan mendekati Jisoo dengan perlahan.
"Sepertinya, seorang Kim Jisoo baru saja mendapatkan pengalaman berharga yang memutar jalan pikirannya. Kenapa kau tiba–tiba merasa harus menjadi dirimu sendiri?"
Jisoo terkekeh pelan, "Karena aku tahu, menjadi orang lain tidaklah menyenangkan."
The End