webnovel

Chapter 10 (part 4)

Chapter 10 [Part 4]

Di ruang tengah, Julio sedang melihat acara Tv, namun sebenarnya ia tidak fokus dengan Tv nya, ia sedang memikirkan bagaimana selanjutnya. Apa yang harus ia lakukan selanjutnya? Keluarga inti mulai bermain keras, ia juga harus mencari pekerjaan untuk menghidupi dirinya dan adiknya. Tapi, tidak ada yang bisa ia lakukan. Julio takut, saat kondisinya sedang seperti ini, keluarga inti datang kembali. Ia sangat takut bila hal itu terjadi.

"Ah akhirnya selesai juga."

Julio yang mendengar suara seseorang, ia pun langsung menoleh ke sumber suara tersebut. Mata mereka bertemu, Julio pun berkata "Selvia? Sedang apa kamu disana?"

Selvia tiba-tiba gugup. "Aku…. Itu… dari toilet."

"Oh begitu."

Selvia perlahan mendekat, ia pun bertanya "Yang lain kemana? Kok sepi?"

"Ohh, mereka baru saja pulang." ucap Julio lalu memalingkan pandangannya ke arah TV.

Selvia terus melihat kearah wajah Julio, wajah yang datar namun menunjukan ke gelisahannya. Selvia pun berkata "Boleh aku duduk?"

Julio mengangguk dan berkata "Ya, silahkan."

Selvia pun duduk di sebelah Julio. Julio masih terus melihat ke arah TV nya, Selvia tau kalau Julio tidak melihat kearah TV mya, namun kearah lain. Pandangannya teralih karena pikirannya, pikirannya yang kacau dan rasa takut yang menghantui Julio. Membuat Julio seolah menatap TV.

Selvia pun bertanya "Julio… Sepertinya kamu sedang ada masalah ya."

Julio tidak bergeming sedikit pun, tatapannya kosong. Selvia pun langsung menepuk pundak Julio tanpa pikir panjang.

"Aaaaa! Sakit! Kamu ini kenapa sih? Memangnya kamu tidak liat kalau bahu ku di perban?" teriak Julio yang kesakitan.

"Habisnya kamu melamun begitu, aku jadi takut kamu kerasukan." ucap Selvia tanpa merasa bersalah.

Julio menghela nafas lalu berkata "Itu jelas tidak mungkin kan." lalu menengok kembali ke arah Tv

Selvia sedikit lebih mendekat pada Julio, ia pun bertanya lagi "Sebenarnya kamu ini kenapa? Kamu lagi kesulitan ya? Itu jelas terlihat di wajah mu loh."

Julio menoleh sedikit, ia bisa melihat wajah Selvia yang begitu khawatir. Julio, lagi-lagi merasa tidak asing dengan kondisinya sekarang. Ia merasa pernah mengalami ini sebelumnya, dengan orang yang ada di sebelahnya sekarang.

Kepalanya mulai terasa pusing, ia mencoba menggelengkan kepalanya agar pusingnya hilang. Selvia semakin khawatir, ia perlahan menjauh dari Julio.

"Kakak? Kamu kenapa?" tanya Chelsea yang baru turun dari kamarnya.

Julio menoleh ke belakangnya, ia bisa melihat Adiknya dan teman-temannya yang sedang membawa buku. Rasa sakitnya pun perlahan mulai menghilang, ia menyandarkan tubuhnya dan memejamkan matanya. Rasa pusingnya menyebabkan rasa kantuk, ia berdiri dan berkata. "Maaf ya, aku tiba-tiba mengantuk. Aku pergi ke kamar dulu."

Semuanya menatap Julio yang berjalan menuju kamarnya. Setelah itu, Chelsea menatap Selvia, tatapannya dingin, ia pun berkata "Kita harus bicara."

Selvia mengerti, ia pun mengikuti Chelsea di belakang. Ia berjalan menuju dapur, saat ingin masuk, dengan datarnya Chelsea berkata "Kalian berdua tunggulah di situ, kalian boleh menonton tv atau makan cemilan yang di atas meja… Tapi, jangan mendekati dapur selama kami belum keluar, kalau kalian masih ingin selamat."

Mendengar perkataan Chelsea. Luna dan Latifa merinding, mereka tau bila sifat Chelsea sudah terbalik seperti itu, maka ia sedang marah besar.

Luna pun berkata "Lebih baik kita patuhi saja perkataanya."

"Tapi, apa tidak apa-apa? Meninggalkan Kakak itu dengan Chelsea yang sedang marah?" tanya Latifa yang sangat khawatir.

Luna menggelengkan kepalanya "Biarkan saja, Chelsea tidak mungkin melakukan sesuatu yang berbahaya tanpa alasan, meskipun keliatan emosinya yang tiba-tiba keluar tadi. Tapi, aku yakin Chelsea tidak akan berbuat bodoh, karena itu lah dia yang dipilih menjadi ketua Osis." ucap Luna sambil berjalan menuju sofa.

Tidak ada suara apapun dari arah dapur. Di ada suara membentak, ataupun teriakan. Semuanya hening, kecuali suara TV. Luna hanya menatap bukunya, seolah ia tidak peduli apa yang sedang terjadi di dapur. Berbeda dengan Latifa, ia merasa sangat khawatir, apalagi di tambah suasana hening. Latifa pernah merasakan amarahnya Chelsea ketika mereka belum saling mengenal dan juga beberapa hari yang lalu ketika ia tidak sengaja menyebarkan berita bohong Chelsea. Mengerikan, itulah yang tergambar oleh pikiran Latifa ketika memikirkan amarah Chelsea.

"Kamu kenapa? Keliatannya tidak tenang begitu?" tanya Luna.

"Bagaimana aku bisa tenang!? Dia itu tadi marah besar loh."

Luna menutup bukunya dan berkata "Tenang saja… Chelsea tidak mungkin seperti yang kamu pikirkan sekarang…"

Latifa pun membalas dengan suara kecil "Habisnya… aku takut melihat ketika Chelsea marah… itu… mengerikan."

Luna tertawa kecil lalu berkata "Kamu ini… padahal bilang takut, tapi terus membuat Chelsea marah. Contohnya tadi."

Latifa pun berdiri dan lansung berkata dengan lantang "Aku melakukan itu karena punya alasan! Alasanku adalah membuat berita beberapa hari lalu menjadi kenyataan. Setelah itu, akan aku buat Chelsea terdiam dengan perkataanku!"

Luna tersenyum "Wah wah, sepertinya kamu punya dendam pribadi dengan Chelsea."

Latifa duduk kembali, ia pun berkata "Tidak juga, aku tidak memiliki dendam kepadanya, lagipula aku berhutang budi padanya."

"Lalu, alasanmu apa?"

"Aku… hanya merasa senang, ketika menjahilinya. Hihihi." ucap Latifa sambil tersenyum.

"Ohh... Jadi, apa membuat berita bohong dan menyebarkannya ke sekolah itu salah satu kejahilan mu?"

Suara yang tidak asing itu membuat bulu kuduk Latifa merinding. Suaranya yang datar, hawa dingin yang tiba-tiba menusuk, tidak perlu di tanyakan lagi siapa orang itu. Latifa yang gemetaran perlahan menoleh ke belakang, ia melihat tubuhnya, perlahan pandangannya naik, tiba-tiba tubuhnya membeku ketika melihat tatapan Chelsea. Ia tidak bisa berkata apapun, ia mencoba menoleh ke arah Luna, tapi Luna sedang membaca bukunya dan sudah menjaga jarak dengan Latifa.

Tidak ada yang bisa menolongnya, Latifa pun berkata "A-A-Aku… I-Itu…."

Tatapan Chelsea semakin dingin, ia pun menyembunyikan wajahnya di balik sofa dan terus berkata "Aku minta maaf! Aku minta maaf! Aku tidak sungguh-sungguh mengatakannya! Aku mohon ampuni Aku!"

Latifa sadar sesuatu, hanya ada seseorang yang bisa menolongnya saat ini. Dan itu adalah….

"Kak Ju–."

Tanpa di sadari, Chelsea sudah berpindah ke depan Latifa dan menutup mulutnya. Ia pun menatap Latifa dengan sangat dekat, Chelsea pun berkata dengan perlahan "Jangan coba-coba memanggil Kakaku… Dia sedang istirahat, kamu mengerti."

Latifa mengangguk, tubuhnya langsung lemas, ia pun bersandar pada sofa. Lalu, Luna pun menariknya sedikit, Latifa terjatuh tepat di pangkuan Luna.

"Seram… Ampun…" lirih Latifa.

Luna pun mengelusnya "Sudah, sudah. Akhirnya kamu sendiri kan yang kena."

Di belakang mereka, Selvia berdiam diri sambil terus menunduk. Ia perlahan berkata "Aku... Pulang dulu." lalu berjalan keluar.

Chelsea tidak berkata apapun, ia juga merasa tidak enak bila melihat Selvia pulang. "(Maaf, kak Selvia… Aku hanya tidak mau terjadi sesuatu yang buruk.)"

Merasa situasi yang sedang tidak enak, Luna pamit pulang juga. Luna berkata "Aku sepertinya harus pulang."

Chelsea meminta maaf dan berkata "Pasti tadi membuat kalian tidak enak ya, maaf ya."

Luna menggelengkan kepalanya, ia pun harus menggendong Latifa yang mentalnya menurun karena di tatap oleh Chelsea. Akhirnya, ia pun berjalan keluar, Latifa perlahan menoleh kebelakang, ia bisa melihat Chelsea yang melambaikan tangannya dengan senyuman… namun, beberapa saat kemudian senyumannya hilang dan tatapannya menjadi dingin kembali.

Latifa langsung merasa ketakutan, ia pun memegang erat-erat punggung Luna dan menyembunyikan wajahnya. "Ampun…." ucap Latifa dengan suara kecil.

Ketika pintu tertutup, suasana rumah sepi kembali. Seolah tidak ada yang berubah. Chelsea berjalan perlahan ke kamar Kakaknya, di depan pintu, Chelsea berdiam diri, tangannya sedikit gemetar. Ia pun membuka pintunya, ia bisa melihat Kakaknya yang sedang tidur. Ia mendekat, ia menatap wajah Kakaknya. Air matanya menggenang, perlahan jatuh, ia duduk di samping Julio. Ia mengelus pipinya perlahan, ia pun berkata "Kakak… Maaf… *hiks* Aku belum bisa menjadi Adik yang baik untuk mu *Hiks* Maaf."

"Kamu sudah jadi Adik yang baik kok."

Mendengar suara itu, ia membuka matanya. Ia melihat senyuman di wajah Kakaknya, tangannya pun di raih, Julio mengelusnya. Lalu Julio berkata "Kamu sudah jadi Adik yang baik, sejak kamu lahir. Jangan berkata seperti itu lagi, itu buat Kakak sakit loh."

Perlahan, tangannya menyentuh wajah Chelsea, ia mengusap air mata yang jatuh di pipinya. Merasakan tangannya, Chelsea semakin tidak bisa menahannya. Air matanya mengalir. Chelsea memegang tangan Julio dengan erat.

"Jangan menangis terus ah, kamu itu ketua Osis SMP 1, kamu itu harusnya lebih kuat daripada yang lain, mau itu secara fisik atau mental. Kalau kamu terus menangis terus, nanti di cabut loh." ucap Julio sambil tersenyum.

Chelsea menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berkata "Itu tidak mungkin kan *Hiks* … Lagipula, lebih baik aku kehilangan jabatan daripada kehilanganmu!"

Mendengar perkataanya, Julio mengelus kepalanya "Hey, aku kan tidak kemana-mana."

Chelsea terkejut dengan apa yang ia katakan, kata-katanya keluar sendiri dari mulutnya. Ia hanya terus menunduk dan berharap Kakaknya tidak memikirkan apa yang ia katakan tadi. Ia melirik Kakaknya, Julio hanya tersenyum sambil terus mengelus kepalanya. Julio pun berkata "Seharusnya, kamu berkata seperti itu kepada pasanganmu nanti, bukan pada Kakakmu."

Wajahnya pun memerah, ia merasa sangat malu saat Kakaknya berkata seperti itu. Chelsea pun berkata dengan keras "Berisik! Kata-kata itu juga keluar dari mulutku begitu saja! Aku juga tau apa yang harus aku kataka kepada pasangan ku nanti!….. Hmmmmph!"

Pipi Chelsea pun di cubit. "Iya, iya. Kamu itu berisik sekali." ucap Julio.

Chelsea mengembungkan pipinya "Kakak yang berisik…. Uuuuuh! Nyebelin!"

*Ctak*

Dahi Chelsea di sentil, ia langsung memegangi jidatnya. Ia pun menatap Kakaknya yang masih tersenyum, lalu Kakaknya berkata "Akhirnya kamu kembali, Chelsea. Kakak lebih senang melihat kamu marah dari pada melihat mu terus sedih."

Wajahnya sedikit memerah, ia pun menarik selimut Julio dan berbaring di sempingnya. Julio pun bertanya "Sedang apa kamu disini? Ini kamarku loh."

"Berisik! Suka-suka aku lah!" jawab Chelsea yang terdengar masih marah.

"Tapi kamu sudah kelas 3 SMP loh, memangnya tidak malu masih mau tidur dengan Kakakmu?"

"Berisik! Aku tidak peduli! Berbalik sana!"

"Mana bisa! Kan tangan kiri ku patah!"

"Kalau begitu diam!"

Julio langsung terdiam, ia tau kalau ia tidak akan menang bila terus beradu mulut dengan Adiknya yang sedang marah. Ia pun membiarkannya, Chelsea pun berbicara lagi "Kakak… Maaf, aku tidak bisa membantu apa-apa. Aku… takut bila sesuatu terjadi lagi. Aku benar-benar takut."

Julio menatap wajah Adiknya, ia benar-benar merasa takut. Julio mengelus kepalanya dan berkata "Tenang saja, itu tidak akan terjadi lagi.… Kamu tidak perlu memikirkannya, itu adalah urusanku. Kamu belajarlah yang giat."

"Tapi! Bagaimana bila itu terjadi lagi… dan Kakak tidak selamat… Aku takut! Sangat… Sangat takut, aku tidak mau di tinggal sendiri! Aku tidak mau kehilangan keluarga ku lagi… Aku takut Kak!"

Air matanya mengalir kembali. Ia memeluk lengan Julio dengan sangat erat. Julio terdiam, ia memalingkan pandangannya, ia juga tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan lagi. Apa sudah saatnya ia menyerah?

Tidak! Julio menatap Adiknya lagi. Lalu, ia pun berkata "Kamu jangan khawatir! Kita pasti bisa lalui ini! Kakak akan selalu bersamamu! Kakak tidak akan pergi kemana pun! Percayalah padaku!"

Mata Chelsea membulat, ia tersenyum dan memeluk lengan Kakaknya lagi. Lalu ia pun berkata "Janji."

Julio menjawabnya dengan cepat "Iya, Aku janji!"

Chelsea memejamkan matanya, ia pun berbicara lagi "Maaf… Kalau aku terlalu manja padamu."

Julio mengelus kepalanya lagi dan menjawab "Tidak apa-apa, asal jangan terlalu sering saja." Lalu tertawa pelan.

Chelsea mulai tertidur. Julio terus melihat adiknya "(Dia tidak berubah sama sekali… Kira-kira apa yang akan ibu katakan kalau tau Chelsea seperti ini ya…)"

Ia pun menatap langit-langit, ia teringat apa yang Chelsea katakan. Melihat Chelsea ketakutan, membuatnya tau apa yang harus ia lakukan.

"(Aku… Tidak akan menyerah semudah itu… Ini semua demi nya.)"

***

Selvia berdiri di depan pintu rumahnya, ia terus menatap pintu rumahnya, ia merasa ragu untuk membuka pintunya. Sampai akhirnya, pintu itu di buka dari dalam, Seorang perempuan, ia lebih tinggi sedikit dengan Selvia, memiliki rambut yang sama, warna mata yang sama, benar-benar mirip dengan Selvia. Perempuan itu hanya tersenyum kepada Selvia, Selvia mendekat, perempuan itu pun langsung memeluknya.

"Maaf… Aku… Aku minta maaf, aku malah membahayakannya." ucap Selvia

Perempuan itu pun membalasnya "Tidak apa-apa, kamu terlalu memaksakan diri… Kalau kamu mau berhenti, ya berhentilah…"

Selvia menggelengkan kepalanya "Aku tidak bisa… Kalau aku berhenti, bagaimana Kakak–."

"Selvia, Kamu tidak usah pedulikan Kakak, yang sudah terjadi biarlah terjadi… lagipula sudah tidak mungkin kalau dia–."

"Tidak! Aku… Akan berusaha lagi…"

"Tapi kamu sudah dengar katanya kan? Lalu kamu mau bagaimana?"

Selvia terdiam sebentar, ia pun membelakangi perempuan itu dan berkata "Untuk sementara, mungkin Aku hanya akan menjauhinya… bila sudah membaik, Aku akan memulainya lagi... Dan akan ku pastikan, kali ini akan berhasil."

To be continue

===============

Chapitre suivant