~Adakah di sana, di sudut ruang gelap, segelintir rasa yang kau biarkan usang tertimbun debu kebencian?~
Di sepertiga malam, saat pintu langit terbuka, memberi jalan pada malaikat yang hendak mencari Hamba-Nya yang berserah pada Sang Pencipta, lantunan Al-Mulk merdu terdengar mengisi kekosongan tiap-tiap ruang dalam bangunan berlantai dua di kawasan perumahan elite.
Nada nada al bayyati begitu menyayat hati. Ada kesedihan, penyesalan, dan ketidakberdayaan yang ingin disampaikan. Kentara sekali sang Qori' tengah mengalami pergolakan batin yang kuat.
Di lain ruang, tubuh mungil berbalut selimut tebal menggeliat.
Sepertinya, lantunan ayat suci itu mengusik tidur nyenyaknya.
Dengan malas, gadis itu beranjak dari bed nyaman tempatnya melepaskan segala penat. Punggung tangan digunakan untuk mengucek kedua mata. Berharap setelah itu, penglihatannya akan kembali normal.
"Siapa sih, yang gangguin orang tidur?" Gerutunya seraya memperbaiki posisi berdiri.
Di langkan pertama, Leia terhenti. Menyadari ada sesuatu yang janggal, dan berhasil menyita seluruh perhatiannya.
"Aaaakkkhh!"
Teriakan menggema memenuhi penjuru ruang.
Detik berikutnya, gadis itu terduduk di samping ranjang sambil terisak. Tangannya digunakan untuk menutup wajah yang bersembunyi di antara kedua lutut.
Lantunan itu terhenti. Berganti derap langkah yang mengetuk lantai dengan cepat. Semakin cepat, semakin dekat.
"Ada apa, Lei?"
Seorang laki laki langsung membuka pintu dan menubruk Leia yang tergugu di lantai.
Tidak ada jawaban, hanya isakan yang membelah kesunyian.
"Lei,"
"Jangan sentuh!" Kini wajah cantik Leia terangkat, menatap pria di hadapannya dengan sorot kebencian.
Tidak peduli dengan Aryan yang khawatir setengah mati mendengar teriakannya barusan. Tak peduli juga dengan kantung mata yang melingkari indera penglihatan Aryan.
Aryan menurut, sedikit memberi jarak pada Leia. Jika memang itu yang bisa membuat Leia nyaman.
"Ada apa, Lei?"
"Kamu bicara seolah-olah kamu nggak tau apa-apa. Munafik!"
Tajam sekali Leia memaki Aryan. Membuat pria itu lagi-lagi harus menarik napas, demi mengontrol emosi.
"Lei, jelaskan ada apa? Aku benar-benar nggak ngerti apa yang kamu maksud?"
"Heeh, jelaskan?" Leia tersenyum sinis. Menatap Aryan dengan tatapan jijik. "Kamu mau aku menjelaskan apa yang terjadi semalam? Bahwa kamu sudah berbuat kurang ajar padaku? Iya!"
"Berbuat? berbuat sesuatu apa?" Aryan mengatakan itu dengan perasaan bimbang. Takut takut jika Leia menyadari apa yang dilakukan terhadapnya semalam.
"Berhenti pura-pura nggak tau kamu, Yan!" Leia sudah melupakan air matanya. Berganti dengan amarah yang membuncah. Bisa bisanya dia masih saja mengelak sedangkan bukti jelas jelas ada.
"Iya, tapi aku beneran nggak ngerti apa yang kamu bicarain, Lei."
Pria itu mengingkari dirinya. Padahal dalam hati penuh rasa was-was. Apajadi bila Leia mengetahui perbuatannya yang sengaja menjebaknya dengan obat perangsang?
"Kamu udah merenggut kesucianku!Kamu sudah merampas keperawananku! Kamu jahat! Biadab!"
Pekik Leia sudah tidak bisa menahannya lagi. Tangannya menarik-narik baju tidur berbahan satin yang kini melekat di badan.
Ruangan kembali hening, tidak ada yang bicara. Yang terdengar hanya embusan napas gusar Leia yang seakan telah puas mengatakannya. Agar Aryan berhenti memainkan drama 'tidak tahu' nya.
Sayangnya, di detik berikutnya bukan permintaan maaf yang di dengar Leia. Melainkan tawa tertahan yang kian ditahan kian kencang saja suaranya. Kelegaan hati yang membuat Aryan tertawa. Cuma salah paham ternyata.
Leia terdiam, menatap Aryan bingung.
Apakah mengambil keperawanan seorang gadis itu adalah sesuatu yang lucu?
Aryan benar benar pria sinting!
Pekik Leia kembali emosi.
"Kamu berpikir, aku sudah menidurimu, Lei?" Ditengah tawanya, Aryan coba bersuara. Merasa lega karena dugaan tentang sebab kemarahan Leia, itu salah.
"Iya, kan!"
Gadis itu masih mengotot.
Aryan kembali tertawa.
Kali ini lebih keras dari sebelumnya.
Alis Leia bertaut.
Di balik sosoknya yang penurut, Aryan ternyata pria yang sangat menyebalkan.
"Lei,..." Aryan berusaha mengerem tawanya dan kembali berbicara.
"Kalo aku sudah membuatmu berada di bawahku," Leia mengikuti jari Aryan yang bergerak-gerak menunjuk dirinya, Leia, dan ke bawah.
Dan begitu menyadari apa yang Aryan tunjuk, Leia segera menggeleng. Mengalihkan perhatian dari apa yang ada dalam bayangannya. Bahwa sesuatu itu, pernah berada di atas tubuhnya.
Hihh,...
Leia bergidik ngeri.
Aryan mendekatkan jarak diantara mereka.
"Aku pastikan kamu nggak akan bisa jalan saat ini. Jangankan berjalan, berdiripun aku yakin kamu nggak akan sanggup, Lei."
Aroma napasnya tercium jelas di indera pembau Leia, dan justru membuat Leia semakin berpikiran gila.
Matanya melongo, kalimat 'tak bisa jalan' terus terngiang di kepala.
Separah itukah efek dari bercinta?
Jahilnya, Aryan justru kembali menertawakan Leia yang begitu polosnya menelan mentah mentah semua kalimat yang dia ucapkan.
"Oh, ya... Kalau alasan kamu menuduhku telah melakukan sesuatu padamu itu karena baju yang kamu kenakan, baju tidur itu si Mbok yang gantiin. Asal kamu tahu," jelasnya sambil terkikik geli.
Puas mengerjai gadisnya, Aryan beranjak dari kamar utama. Hendak melepas sarung, koko, peci, dan merapikan kembali Al-Qur'an yang ia tinggalkan begitu saja karena buru-buru tadi.
Sambil melenggang pergi, Aryan berseru, "Aku masih menunggumu siap untuk itu, Lei. Kamu tahu, kan? Sesuatu yang seharusnya dilakukan pasangan suami istri di malam pertamanya."
Berbarengan dengan Aryan yang melenggang keluar kamar, jeritan Leia kembali terdengar. Kali ini disertai umpatan dan makian yang tentu saja, ditujukan untuk si pria kurang ajar Aryan.
"Awas aja kalo kamu berani macem-macem! Dasar cowok mesum!"
**
Sehabis shubuh, sengaja gadis bermata sipit itu turun dari kamar untuk mencari makan. Dua hari mengurung diri di kamar cukup membuat penampilannya urakan. Dan selama dua hari pula, Leia hanya makan dari camilan, buah buahan, atau apa saja yang dia dapat di lemari pendingin yang diambil tiap tengah malam.
Sangat menyebalkan bertingkah seperti pencuri di rumahnya sendiri. Tapi, apa boleh buat?
Gadis keturunan Tionghoa itu belum siap jika harus kembali bertemu muka dengan si Brengsek Aryan. Salahnya juga, yang dengan pedenya bilang bahwa dirinya telah dinodai pria itu. Setelah tahu dugaannya salah, malu sendiri, kan dia?
'Ah, Aryan sialan!'
Leia kembali menggerutu.
Sampai di dapur, Leia dibuat kaget dengan apa yang ia lihat di meja makan. Gadis itu yakin betul, seluruh pekerja di rumah sudah ia pulangkan ke kampung halaman masing masing di hari papanya meninggal.
Lalu, siapa yang telah menyediakan sarapan sepagi ini?
Masa bodohlah dengan siapa yang memasak semua masakan itu. Dengan lahap, dicicipinya satu persatu hidangan yang tersedia.
Nasi goreng spesial dengan telur dan taburan kacang polong memang menu favoritnya. Tidak heran jika kurang dari sepuluh menit, makanan itu telah tandas dari empunya piring.
Ada ayam kecap. Kesukaannya juga. Lebih tepatnya, kesukaan sang papa.
Nasi putih dengan asap yang masih mengebul di atasnya, dengan ayam kecap, dilengkapi dengan lalapan segar yang dipetik langsung di halaman belakang.
"Hhmmm,..."
Mengingat itu, membuat selera makan Leia memudar. Sekarang, seluruh hidangan yang di hadapannya kini hanya dia sendiri yang menikmatinya.
"Kamu sudah bangun, Lei?"
Suara itu...
Mati matian Leia menahan diri untuk tidak terpancing dan berbalik badan.
Sendok dan garpu menjadi pelampiasan kekikukkannya kali ini.
"Gimana? Enak masakannya? Itu aku loh, yang masak."
Dan kalimat barusan membuat seluruh makanan yang sudah tertelan mendesak untuk dikeluarkan lagi. Atau lebih tepatnya, otak Leia yang meminta seluruh organ pencernaannya memuntahkan lagi makanan yang sudah ia makan.
"Uhukk... Uhukk..."
Bukannya muntah, Leia justru tersedak.
Sepertinya, lambungnya berhianat. Nasi goreng itu terlalu enak untuk dimuntahkan dan menjadi sampah.
"Hati-hati, Lei."
Sigap, Aryan menyodorkan padanya segelas air putih.
Tanpa memandang, Leia menerimanya.
Diteguknya hingga tandas tak bersisa.
"Lain kali hati-hati, Lei. Jangan terburu-buru makannya."
"Siapa juga yang makan masakanmu?! Jangan Ge-er!!" Pungkas Leia tak ingin merendahkan harga diri.
Tidak semudah itu ia percaya. Aryan segera melongok ke arah piring di hadapan gadisnya. Bersih memang di sana. Namun senyum kembali terulas begitu sudut matanya menangkap sesuatu yang bertengger di sudut bibir Leia.
"Beneran, belum nyobain?" Ledek Aryan.
"Iyalah! Makanan kampung gini kalo dimakan yang ada malah bikin sakit perut!!" Gengsinya terlalu tinggi.
"Serius? Hati-hati, loh ucapan adalah do'a. Bisa sakit perut beneran nanti."
Merasa terpojok, Leia berdiri dan menggebrak meja. Menimbulkan gemerincing sendok, garpu, dan piring beradu.
"Ikh, apaan sih!! Masakanmu itu emang nggak enak, tau nggak!! Jangan sok!!"
Lalu Leia pergi. Meninggalkan Aryan dengan senyum yang kembali merekah.
Ada sisi lain yang Aryan lihat dari seorang Leia.
Sisi yang sebelumnya tak tersentuh oleh seorang supir sepertinya.
Sesuatu yang bisa mencipta bahagia, hanya dengan memandang wajahnya.
##