webnovel

When The Heart Speaks

Lana Riversong, memutuskan pergi meninggalkan kampung halamannya, Santa Monica, demi melupakan masa lalunya dan memulai hidup yang baru di New York. Tiga tahun berlalu, Lana yang seorang mantan cheerleader NFL ini harus rela menjalani hidup barunya sebagai seorang waitress di salah satu restauran ternama di kawasan Madison Ave. Suatu hari, rekan kerja sekaligus sahabatnya yang bernama Amber mengajaknya untuk menonton konser band-band besar dunia di festival musik musim panas tahunan terbesar di New York. Mulanya Lana enggan untuk ikut, sampai akhirnya sahabatnya tersebut memohon-mohon kepadanya dan menyuapnya dengan menggratiskan tiket yang sudah dibeli olehnya. Akhirnya Lana pun setuju untuk ikut. Lana tidak pernah menduga bahwa datang ke festival musik itu akan menjadi semacam mimpi indah sekaligus mimpi buruk baginya. Karena di sana, takdir kembali mempertemukannya dengan seseorang yang menjadi penyebab utama kehancuran hidupnya di masa lalu. Di sinilah semuanya bermula. Lana dan Mike—yang sekarang sudah menjadi bintang rock terkenal—bertemu dan berbicara kembali setelah tiga tahun lamanya. Mike akhirnya meminta Lana untuk bertemu lagi dengan dirinya setelah dari festival musik itu. Dua hari kemudian, mereka berjalan-jalan di kota New York seraya membicarakan masa lalu. Menguak apa yang tidak pernah diketahui keduanya selama ini. Mike yang mengungkap alasan sebenarnya mengapa dirinya memutuskan Lana, dan Lana yang menjelaskan mengapa dirinya berhenti dari karir pemandu sorak profesionalnya. Semua itu mengejutkan keduanya. tapi masalah kian rumit setelah seseorang yang tidak terduga muncul, belum lagi bocornya pemberitaan mengenai mereka berdua yang terendus media. Menjadikan Lana dan Mike harus kembali menghadapi rintangan untuk bersatu. Akankah mereka bisa benar-benar bersatu kembali pada akhirnya? Atau, apakah Lana lebih memilih merelakan masa lalu dan menyambut masa depannya?

Irma Rose · Ciudad
Sin suficientes valoraciones
39 Chs

Chapter 21

Michael Kenjiro Soga, lelaki pendiam dan berparas tampan, berdarah blasteran Amerika - Jepang ini sangat menyukai buku dan musik. Perangainya lembut, dan memiliki bentuk mulut yang memang diciptakan untuk senyumannya yang menawan. Aku selalu memandangi mulutnya itu, rasanya ingin selalu mengecupnya.

Mike dibesarkan hanya oleh seorang ayah yang bernama Tetsuya Soga. Ibunya yang berasal dari Virginia itu pergi meninggalkan Mike dan ayahnya tanpa sepatah kata pun ketika usia Mike masih 5 tahun. Mike tidak memiliki seorang adik maupun kakak. Dia hanya anak tunggal.

Aku masih ingat, ketika kami baru berpacaran selama beberapa minggu, pada waktu itu kami sedang 'belajar' di dalam kamar tidurku. Belajar, itu artinya yang kami lakukan hanyalah berbaring di tempat tidurku, bercumbu, berkeluh kesah tentang teman-teman pemandu sorakku, Mike membicarakan tentang band-nya atau memainkan gitarnya, dan bercumbu lagi. Aku bertanya kepadanya, apa dia merindukan ibunya. Mike menjawab dengan tanpa keragu-raguan, "Tidak!" katanya. Alasan yang dia kemukakan padaku waktu itu karena dia tidak pernah benar-benar mengenal ibunya. Wajahnya terlihat datar ketika dia berbicara.

Setelah kami sudah berpacaran beberapa bulan, Mike berkata lagi kepadaku kalau dia bersyukur karena sudah mendapatkan ibu pengganti. Waktu itu aku mengira ayahnya telah menemukan seorang wanita dan sedang menjalani suatu hubungan. Tapi ternyata Mike bilang bahwa ibu penggantinya adalah ibuku. Aku terenyuh ketika mendengarnya. Mike dan ibuku memang sangat dekat. Keakraban mereka itu melebihi kedekatan antara Mom dengan Zoe.

Pernah suatu hari Mom berujar, "Kalau saja ayahmu masih hidup dan dia bisa kenal Mike, pasti dia akan senang juga." Lalu Mom melanjutkan, "kau tahu ayahmu itu sangat menginginkan anak laki-laki. Waktu Zoe berusia 3 tahun aku dan ayahmu berencana untuk memiliki satu anak lagi. Tapi... yah, ayahmu pergi begitu cepat."

Mom menganggap Mike sudah seperti anaknya sendiri. Bukan hanya sekedar pacarku yang bisa membuatku semangat belajar dan mengerjakan tugas sekolah saja.

Dulu, Mike bersama ayahnya tinggal di atas toko kelontong milik keluarga ayahnya, yang telah sepenuhnya menjadi milik ayah Mike. Toko kelontongnya terletak di perumahan padat penduduk di Santa Monica bagian utara. Ayahnya hanya mempunyai 2 orang pegawai saja, oleh karenanya kadang-kadang Mike ikut bantu-bantu di toko. Ketika aku berkunjung ke tempat tinggalnya, beberapa kali kudapati Mike sedang berada di belakang mesin kasir sambil membaca buku atau mengerjakan tugas sekolah. Dia tidak sama dengan lelaki kebanyakan. Biasanya lelaki lain yang seumuran dengannya akan malas atau gengsi jika disuruh untuk membantu orangtua mereka. Tapi Mike tidak begitu. Malah dia terlihat senang kala sedang bekerja di tokonya. Dia pun selalu membayar kalau habis mengambil sesuatu dari toko kelontongnya. Dia memang lelaki yang bertanggung jawab.

Ayahnya selalu memanggilnya Kenji Kun (nama panggilannya ini dijadikan salah satu judul lagu di album Enigma). Hubungan Mike dengan ayahnya cukup dekat, hanya saja aku merasa kalau ayah Mike terbilang konservatif. Aku selalu canggung jika berbincang-bincang dengannya. Mungkin karena aku memang bukan tipe orang yang gampang akrab dengan orang lain, apalagi dengan orang yang sudah berumur. Mike juga tidak pernah berani mencumbuku bila aku ada di rumahnya. Namun begitu, ayah Mike adalah pribadi yang sangat baik dan bijaksana. Dia selalu menawariku teh setiap kali aku berkunjung. Teh racikan ayah Mike sangatlah enak.

Sedari usia 7 tahun Mike sudah belajar bermain musik. Alat musik pertama yang dia mainkan adalah piano. Mike bilang, alasan ayahnya memasukkannya ke kursus piano adalah karena pada usia itu dirinya tidak pernah bisa diam. Ayahnya kewalahan dengan Mike yang super aktif. Tapi dengan bermain piano, dia bisa duduk diam selama berjam-jam sambil menekan tuts-tuts piano sampai akhirnya Mike bisa memainkan beberapa lagu.

Selain bermain musik, Mike pun hobi membaca buku. Dia mengaku suka sekali membaca buku tentang filsafat dan non fiksi. Terutama hal-hal yang berbau ilmu pengetahuan.

"Kau tahu, dulu aku suka sekali membaca Encyclopedia Britannica. Aku membacanya dari A sampai Z. Anak usia 9 tahun yang lain mana ada yang membaca buku Encyclopedia segila diriku? Pada saat itu aku mulai menyadari kalau diriku memang anak yang aneh," katanya sambil tergelak.

Dia juga mengaku ketika usianya 10 tahun, dia sering membuat ayahnya jengkel bila diberi hadiah mainan. Karena saat itu keingintahuannya melebihi apa pun.

"Aku selalu penasaran akan sesuatu hal; seperti mengapa mainan kereta itu bergerak, atau mengapa remote bisa mengendalikan sebuah mobil. Makanya, aku sering membongkar mainan-mainan tersebut sampai rasa penasaranku terjawab. Dan hal itu kadang membuat ayahku tidak senang. Setelah itu ayahku berhenti menghadiahiku mainan lagi," katanya pada suatu hari.

Aku ingat dia bercerita tentang hal ini ketika kami sedang bersantai di pantai Venice sepulang sekolah. Pada waktu itu kami duduk di atas pasir dan kepala Mike berada di atas pangkuanku. Mike bercerita mengenai masa kecilnya, sementara aku mendengarkannya seraya memainkan rambut hitamnya dengan jari-jemariku.

Selain mahir bermain piano, Mike pun mahir memainkan gitar. Dia mulai belajar bermain gitar saat dia duduk di bangku SMP. Awalnya dia hanya iseng meminjam gitar milik temannya. Tapi ternyata dia jatuh cinta dengan alat musik tersebut. Maka, suatu hari Mike rela membobol tabungannya untuk membeli gitar akustik Les Paul Junior pertamanya. Dari gitar itulah Mike menulis banyak lagu. Salah satunya lagu-lagu di album Morbid.

Di samping kemahirannya bermain alat musik, Mike mahir dalam bernyanyi. Suara baritone-nya terdengar jantan ketika sedang bernyanyi. Mike mampu mencapai nada tinggi dengan sempurna, apalagi kalau dia sudah melakukan scream sing, aku selalu merinding dibuatnya. Dia juga jago sekali nge-rap. Itu sebabnya, Mike memasukkan rap di beberapa lagu di dalam semua album Infinity Dusk.

Jauh sebelum Infinity Dusk, ketika dirinya duduk di bangku akhir Sekolah Menengah Pertama, Mike pernah bergabung dalam sebuah band. Dia bilang, waktu itu teman-teman sepermainannya terbilang banyak yang usianya lebih tua darinya. Kebanyakan dari mereka sudah SMA dan beberapa sudah mahasiswa. Karena kemahirannya bermain gitar, Mike ditawari oleh teman-temannya tersebut untuk bergabung dengan band mereka.

"Nama bandnya Drunken Monkeys, waktu itu aku memainkan rhythm dan menjadi yang paling muda di antara keempat temanku. Beberapa kali kami tampil di pesta-pesta rumah. Tapi saking buruknya permainan kami, sehingga tidak ada yang memperdulikan. Bayaran kami pada waktu itu hanya bir atau minuman beralkohol lainnya," katanya, sambil menggeleng-gelengkan kepala mengenang masa-masa itu.

Bandnya kemudian bubar saat Mike masuk SMA. Di sekolah kami inilah Mike memperdalam ilmu seni musiknya. Dia bertemu Seth, David, Johan dan satu teman yang lain yang bernama Mark.

Mike bilang dia sudah memperhatikanku dari semenjak tahun pertama masuk SMA. Jujur saja, selama satu tahun itu aku malah tidak tahu keberadaannya di sekolah, sampai dirinya sering muncul di lapangan sedang menotonku saat kelas cheerleading berlangsung.

Dia berkata, "Pada waktu itu kau mengenakan atasan v-neck ketat berwarna pink tua dan rok mini berwarna hitam. Rambut panjangmu yang bergelombang dibiarkan tergerai dan kau hanya berjalan, tidak memperdulikan keadaan sekitar. Jika kau sadar saat itu semua mata orang-orang sedang tertuju kepadamu, memandangmu tanpa berkedip. Termasuk aku."

Aku hanya menepuk dadanya ketika Mike menceritakannya kepadaku dan merasa sangat tersanjung karena dia sudah memperhatikanku dari semenjak hari pertama.

Suatu siang, ketika Mike sedang berada di kelas sejarah musik di sekolah kami, terlintas di kepalanya ide untuk membentuk sebuah band dengan genre musik yang berbeda dari yang lain. Dia langsung membicarakan ide ini kepada keempat temannya tersebut. Mereka akhirnya setuju untuk membentuk sebuah band. "Pada waktu itu orang yang paling antusias akan hal ini adalah Seth," kata Mike. Selama aku mengenal Seth, dia memang seorang kutu buku tulen melebihi Mike, dan berkepribadian ambisius serta selalu meledak-ledak jika membicarakan soal musik atau sesuatu yang dia sukai. Dia juga menjadi second in command (tangan kanan) Mike dalam bermusik dan mengambil suatu keputusan.

Dulu band mereka bukan bernama Infinity Dusk, tapi bernama Infamous. Mereka menggantinya karena… entahlah katanya Infamous kurang nendang. Mulanya diberi nama Infinity Dust, tapi Mike merubah Dust menjadi Dusk, yang kemudian disetujui oleh keempat temannya itu. Maka terbentuklah Infinity Dusk dengan formasi; Mike pada vocal/rap, piano dan rhythm, Seth pada gitar, David pada drum, Johan pada Keyboard/DJ, dan Mark pada Bass. Tetapi Mark keluar ketika Infinity Dusk mulai membuat demo album. Jadi formasi yang tetap hanya mereka berempat, dengan pemain bass additional yang berganti-ganti.

Mike selalu menginginkan sebuah band dengan genre musik yang unik dan tidak kebanyakan. Dia ingin menggabungkan genre Hip Hop dan Metal. Musik Infinity Dusk banyak terinspirasi dari band-band legendaris seperti; Wu Tang Clan, Fugazi, Misfits, Styles Of Beyond, Deftones, Nine Inch Nails, Metallica, Run-DMC, Soundgardens, Alice In Chains, Public Enemy, Rage Against The Machine dan semacamnya. Dari kesemua band yang mempengaruhi musik Infinity Dusk adalah band-band favorit Mike.

Aku tahu seberapa besar perjuangan mereka untuk mendapatkan kontrak dengan perusahaan rekaman. Band mereka pun sempat ditolak oleh beberapa perusahaan yang menyebabkan mereka sangat terpukul dan hampir bubar. Tapi, mereka tidak menyerah begitu saja. Mereka mulai gencar mengisi acara di kampus-kampus, beberapa bar, music venues, dan ikut beberapa kompetisi band.

Saat itu kami sudah mulai memasuki tahun terakhir di SMA dan band mereka sudah menjadi band lokal yang sangat dikenal di Santa Monica. Setiap kali Mike dan band-nya manggung, aku selalu menemaninya. Berada di pinggir panggung, Ikut berjingkrak-jingkrak bersama penonton, untuk menyemangati Mike agar penampilannya lebih maksimal, atau ikut membantu berjualan merchandise band-nya. Meskipun pada saat itu aku sudah mulai disibukkan oleh persiapanku untuk mengikuti audisi NFL cheerleader, tapi aku selalu menyempatkan waktuku sehabis pulang sekolah atau latihan untuk mendampingi Mike, bagaimanapun caranya.

Para fans pun perlahan-lahan mulai bermunculan. Banyak sekali akun-akun yang dibuat oleh para fans Infinity Dusk di media sosial. Kebanyakan dari mereka tak lain dan tak bukan adalah wanita. Bahkan para fans itu membuat akun khusus yang isinya segala macam mengenai Mike. Aku cemburu sekali saat mengetahuinya, tapi yah.... hal itu sudah menjadi bagian yang harus kuterima kala aku masih menjadi kekasihnya dulu. Kadang-kadang aku suka sebal melihat para wanita itu menjerit-jerit seraya menyerukan namanya. Sungguh berlebihan.

Gerbang menuju kesuksesan yang sesungguhnya untuk Infinity Dusk dimulai saat kami semua lulus dari SMA. Mereka akhirnya mendapatkan kontrak dengan perusahaan rekaman indie label, yang menyebabkan Infinity Dusk mulai dikenal di luar California. Aku juga pernah beberapa kali mengikuti Mike bersama band-nya manggung di luar California setiap kali aku memiliki waktu luang dari pekerjaan dan latihan pemandu sorak. Aku pernah ikut mereka ketika mereka manggung di Seattle, Portland dan Las Vegas.

Hari demi hari para penggemar Infinity Dusk semakin membludak. Radio-radio sudah mulai menyiarkan beberapa lagu mereka. Mereka pun mulai diliput beberapa media, seperti koran, majalah dan media-media online.

Puncaknya adalah ketika Infinity Dusk dilirik oleh perusahaan rekaman besar Major label dan menandatangani kontrak. Mereka pun akhirnya resmi satu perusahaan rekaman bersama band-band sekelas Red Hot Chili Paper, Green day, Muse, Van Halen dan band-band legendaris lainnya.

Sampai pada saat ini, dia ada di sini bersamaku lagi. Sudah menjadi seorang rock star dunia yang pada malam hari ini berkata bahwa dirinya akan berhenti dari semua yang sudah pernah dilalui dan diperjuangkannya.

Di satu sisi aku menyayangkan keputusannya tersebut. Namun di sisi lain, entah mengapa aku merasa lega. Mungkin karena Mike akan kembali menjadi Mike yang dulu, yang pernah kumiliki? Aku tidak tahu. Atau mungkin perasaan legaku ini dikarenakan ternyata tanpa kusangka-sangka pada akhirnya Mike membuat lagu... bukan! Membuat album tentangku?

Ini seperti sebuah keajaiban bagiku. Karena Michael Soga yang kukenal tidak akan pernah menulis lagu tentang cinta.

Aku ingat, pada suatu hari sepulangnya kami dari sekolah, ketika matahari mulai tenggelam, aku dan Mike menyaksikan itu semua sambil duduk berdampingan di atas pasir hangat di pantai favorit kami berdua. Pada waktu itu kami sudah di tingkat akhir SMA. Dan Infinity Dusk sedang sibuk-sibuknya manggung di beberapa tempat di Santa Monica.

Aku bertanya kepadanya, "Mengapa kau selalu menulis lirik lagu hanya tentang kemarahan, kebencian dan semacam itu saja?"

Mike menoleh kepadaku. "Karena aku cukup handal membuat lirik tentang hal seperti itu," jelasnya.

Kuhirup dalam-dalam udara asin pantai di sore itu, lalu membenamkan jari-jemari kakiku ke dalam pasir.

"Apakah kau selalu merasa marah?" tanyaku.

Kemudian Mike melingkarkan satu lengannya di pinggangku, lalu mengecup keningku. "Tidak, sayang."

Jantungku selalu berhenti berdetak setiap kali dirinya memanggilku dengan sebutan sayang.

"Lantas mengapa?" desakku, seraya menyembunyikan wajahku pada lekuk lehernya.

Mike terkekeh, lalu meraih daguku agar aku melihat kepadanya.

Dia berkata, "karena aku tidak bisa menulis lirik tentang cinta. Aku bukan lelaki romantis, Lana."

Agak tidak terima dengan jawabanya, aku pun kembali duduk tegak. Lengan Mike masih melingkar di pinggangku.

"Apakah kau tidak mencintaiku?" gerutuku.

Dia buru-buru menyanggahnya. "Hey, mengapa bilang seperti itu? Kau tahu kalau aku mencintaimu, mungkin malah lebih."

"Jadi mengapa kau tidak pernah menulis lirik lagu tentangku? Tentang kita?" sergahku keras kepala. Aku memelototinya.

Mike mendesah kencang. "Aku tidak tahu. karena ketika aku sedang merasa bahagia atau sedang jatuh cinta aku tidak bisa mendapatkan inspirasi untuk menulis lirik lagu mengenai hal itu."

Lalu dia melanjutkan, "mungkin, jika kau berselingkuh dariku atau kita putus. Dengan begitu aku akan menderita dan aku bisa menuliskan lirik lagu untukmu."

Aku menatapnya sejenak, kemudian berkata, "aku tidak mau kita putus."

Senyuman mengembang di bibirnya. "Aku juga tidak menginginkan itu, baby," ujarnya.

Kemudian Mike memelukku erat, dan berkata kepadaku betapa dirinya mencintaiku.

"I love you, Mike," balasku, lalu kukecup bibirnya.