webnovel

Semakin Dekat

Yoga pun tertawa mendengar ucapan Meta. Barang mewah? Dia sudah tak sebutuh itu dengan barang-barang mewah pemberian Meta. Tapi, dia ingin yang lain.

"Tapi, saya tidak perlu diantar oleh pegawainya Bapak. Sebab, saya akan merasa aneh jika ada pegawai sini yang melihat, Pak."

"Aku jauh lebih khawatir tentang keselamatanmu dari pada apa yang menjadi kekhawatiranmu itu."

"Tapi, saya jago bela diri. Bapak tidak usah cemas."

"Kalau kamu dikepung banyak orang, bagaimana? Kalau kamu hilang atau kenapa-napa, di mana lagi aku harus mencari perempuan sepertimu."

"Maksud Bapak?" tanya Meta yang bingung dengan ucapan ambigu Yoga.

"Sudah, sana turun. Nanti Hadri akan mengantarkanmu."

"Tapi—"

"Terima atau akan kubuat kamu tidak bisa keluar dari ruangan ini sampai besok pagi."

"Oke, siap!"

Yoga kembali tersenyum melihat Meta yang langsung berlari keluar dari ruangannya. Kemudian, dia mengambil ponsel yang sedari tadi ada di mejanya.

"Hardi, nanti Nyonya Yoga antarkan ke rumah temannya," kata Yoga.

"Nyonya Yoga siapa, Pak?" tanya Hardi kebingungan. Dia benar-benar tak tahu, sejak kapan bosnya itu telah memiliki seorang nyonya.

"Meta,"

"Oh, iya, Pak."

"Dan ingat, jangan jatuh hati kepada Nyonya Yoga. Paham?"

"Siap, Pak!"

Hardi menoleh, saat di pintu masuk perusahaan ada seorang perempuan yang keluar. Seorang itu yang ia ketahui kemarin bernama Meta, sekertaris dari bosnya. Jika dilihat dari penampilan Meta, Hardi tampak paham kenapa sampai bosnya jatuh cinta kepada perempuan ini. Jenis perempuan cantik yang digilai banyak laki-laki.

"Mbak Meta?" tanya Hardi memastikan.

"Meta, panggil Meta aja," jawab Meta. Hardi pun tersenyum.

"Aku disuruh Pak Yoga mengantarmu ke rumah temanmu," jelas Hardi basa-basi.

Meta pun mengangguk, setelah ia memastikan jika suasana sepi. Buru-buru dia masuk ke dalam mobil. Sementara Hardi mengikuti langkah Meta, masuk ke dalam mobil kemudian melesat pergi.

Sepanjang perjalanan yang dilakukan Hardi adalah, curi pandang ke arah Meta. Perempuan itu tampak bertopang dagu seolah ada hal berat yang ia pikirkan.

"Sudah sampai, Met," kata Hardi. Dia agaknya sungkan, jika memanggil pacar dari bosnya itu langsung namanya.

"Makasih, ya, Har," Meta langsung keluar.

Sementara Hardi, tampak tertegun dengan sosok perempuan lain yang ia tebak adalah sahabat dari Meta. Perempuan itu tampak menangis, memeluk tubuh Meta dengan begitu erat. Entah apa yang membuat perempuan itu menangis, tapi Hardi yakin jika apa yang telah menimpanya sekarang benar-benar sangat berat.

"Lo nggak sendiri, Kin. Elo ada gue," kata Meta. Memeluk Kinan yang kini sudah tersedu di dalam pelukannya.

"Gue... gue nggak tahu, Met. Gue... gue harus apa...," kata Kinan. Suaranya putus-putus, bahkan terdengar begitu parau. "Keluarga Glen, keluarganya... kenapa sampai tahu masalah ciuman di kantor waktu itu, Met. Jadi... jadi mereka nggak terima dan maksa Glen buat mutusin gue. Gue... gue... rasanya gue mau mati,"

"Tenang dulu, Kin, tenang. Kita bahas ini di dalem, ya. Gue bakal selalu ada buat elo. Percayalah," kata Meta lagi.

Tapi acara pelukan penuh harus itu sejenak terhenti, saat seseorang tampak menyodorkan sebuah sapu tangan kepada Kinan. Hardi, sudah berdiri di belakang Meta. Memandang Kinan dengan tatapan anehnya.

"Nggak baik perempuan nangis seperti ini," katanya. Sambil masih menyodorkan sapu tangannya yang belum diambil oleh Kinan.

Kinan memandang Meta bingung, tentang sosok Hardi yang tiba-tiba ada di sini. Dia kenal Hardi, dia adalah salah satu pegawai kepercayaan bosnya. Tapi kenapa cowok itu tiba-tiba ada di sini?

"Aku tadi dianterin ke sini. Disuruh Yoga," jelas Meta pada akhirnya.

"Thanks," kata Kinan. Meraih sapu tangan itu kemudian mengajak Meta untuk masuk ke dalam kontrakan.

Hardi yang sejenak masih berdiri di sana pu langsung beranjak pergi. Sebab tugasnya di kantor masihlah sangat banyak.

"Jadi, apa yang bakal lo lakuin, Kin? Lo udah ngeyakinin Glen untuk ini?" tanya Meta setelah keduanya sudah berada di kamar Kinan.

"Percuma, Met, percuma. Apa pun yang gue katakan, di mata Glen mentah. Bahkan sampai gue ngebujuk dia buat tanya langsung ama Fabian pun nggak ada hasilnya. Baginya, gue udah ngehiatain dia, Met. Gue... gue bukan cewek baik-baik,"

Meta pun ikut menangis melihat Kinan yang tampak terpukul. Siapa yang tak akan menjadi segila Kinan sekarang. Kinan, dan Glen sudah pacaran dari mereka SMA. Lalu, hubungan yang sudah berjalan belasan tahun, harus kandas begitu saja hanya karena ulah yang disebabkan oleh Fabian.

"Padahal bulan depan, rencananya kami bakal tunangan, Met. Kenapa sampai kayak gini hidup gue, kenapa, Met, kenapa!" kata Kinan frustasi.

"Gue bakal buat perhitungan ama Fabian. Gue bakal buat dia nyesel karena udah buat gini ama elo, Kin. Gue akan buat dia membayar setiap air mata yang menetes di pipi elo."

Lagi, Kinan memeluk erat tubuh Meta. Tidak ada sahabat yang paling mengerti dirinya selain Meta. Dan dengan Metalah hatinya bisa kembali tenang.

"Malam ini elo harus nginep sini ama gue. Sampai patah hati gue sembuh," rengek Kinan kepada Meta.

"Iya, Sayang. Bunda akan jagain anak Bunda yang sedang galau ini,"

"Serius?" tanya Kinan semangat. Meta tersenyum, kemudian mengangguk pasti.

Setelah adegan itu, keduanya larut dengan berbagai macam cerita yang dikisahkan oleh Kinan. Mulai dari awal dia bertemu dengan Glen, bagaimana manis kisah cinta mereka, rintangan yang telah mereka lalui, sampai saat Glen mengajak Kinan putus. Dan cerita itu diulang-ulang sampai berulang kali. Meta hanya bisa tersenyum, mendengar semua cerita Kinan dengan penuh perhatian. Setidaknya, hanya ini yang bisa ia lakukan. Saat sahabatnya sedang butuh teman curhat, dia harus menjadi pendengar yang setia untuk sahabatnya.

"Lho, Met, elo di sini?" tanya Mbak Tanti. Ikut bergabung dengan obrolan Meta, dan Kinan.

"Iya, nih, Mbak. Kinan patah hati, gimana gue bisa nggak kesini, coba," jawabnya. "Ohya, udah pulang kerja, ya?" tanya Meta yang tampaknya baru sadar, jika dia telah berada di sini cukup lama.

"Ini udah jam tujuh malem, Meta. Emangnya elo pikir jam berapa?" gerutu Mbak Tanti. Melempar handuk yang ada di tangannya ke wajah Meta. "Mandi sana, jorok lo."

"Eh, Kin, elo juga mandi, gi. Nanti gue traktir makan malem deh kalian," kata Meta semangat. "Kin, elo boleh pesen apa aja, deh. Kalau perlu semua makanan yang elo suka. Asal nggak makanan yang mahal-mahal, ya. Gue nggak punya cukup duit, nih."

"Ih, Meta! Simpenannya Pak Bos juga, ngeluh nggak ada duit. Basi lo!" teriak Kinan.

Meta pun langsung masuk ke kamarnya, mengambil handuk kemudian dia mandi. Setelah selesai, dia kembali ke kamar Kinan, yang rupanya sahabatnya itu pun sudah mandi. Duduk berdua dengan Mbak Tanti.

"Kalian masih di sini, nggak lagi ghibahin gue, kan?" selidik Meta. Yang berhasil mendapat lemparan bantal dari Kinan, dan Mbak Tanti.

"Ogak gue ngomongin elo. Mending ngomongin elo pas ada elo di sini," kata Kinan sambil menjulurkan lidah.

Siguiente capítulo