webnovel

VOLDER

Volume I: Eleanor Heather menyukai hidupnya yang biasa-biasa saja. Ia menikmati pekerjaannya sebagai akuntan sambil menyelesaikan cicilan pinjaman uang kuliah dan hidup berbagi apartemen bersama sahabatnya, Lana. Hingga suatu malam, pertemuannya dengan seorang pria aneh yang tiba-tiba menyerang dan menggigit lehernya membuatnya trauma untuk keluar sendirian lagi. Tapi itu hanya titik awal perubahan hidupnya. Saat Ia bertemu Nicholas Shaw, pengacara sekaligus pemilik Law Firm yang kebetulan sedang diaudit olehnya, hidupnya berubah drastis. Banyak hal gelap dan mengerikan tentang Nicholas yang Ia sembunyikan dari dunia. Walaupun begitu Eleanor tidak bisa berhenti memikirkannya, dan Nicholas Shaw tidak ingin melepaskannya begitu saja. Volume II: Untuk yang kedua kalinya dalam hidupnya... wanita itu berhasil kabur darinya. Gregory Shaw tidak pernah berpikir Lana akan meninggalkannya lagi. Dan kali ini Ia akan memburu wanita itu, bahkan hingga ke ujung dunia sekalipun. Bahkan jika hidup atau mati taruhannya.

ceciliaccm · Fantasía
Sin suficientes valoraciones
415 Chs

Chapter 39

Saat Nick mengatakan pulang, aku mengira Ia akan membawaku pulang ke rumahnya yang Ia tinggali bersama Greg. Tapi mobilnya belok menuju gedung yang sangat kukenal, aku tidak bertanya hingga kami berhenti di parkiran basement. Mungkin Nick berencana membawa beberapa pekerjaannya pulang, aku bisa membayangkan sudah berapa lama Ia tidak bekerja. "Aku akan menunggu disini saja." Kataku saat Ia membukakan pintuku.

"Kau akan menunggu semalaman disini, Eleanor." Nick menarik sudut mulutnya ke atas. Ia terlihat berantakan sekaligus tampan dalam waktu yang bersamaan. Rahangnya yang ditumbuhi bakal janggut dan rambut berantakannya terlihat kontras dengan penampilannya yang biasanya rapi. Walaupun kedua matanya masih terlihat serius seperti biasanya.

Aku ingin menciumnya.

"Eleanor?" Ia menaikkan kedua alis matanya, menungguku keluar. Saat keluar aku sedikit bertanya-tanya berapa wanita sepertiku yang sudah jatuh ke dalam pesonanya. Tidak, kurasa Nick tidak pernah menggoda wanita dengan sengaja. Greg lebih mungkin, dua saudara itu seperti kutub yang bertolak belakang. Nick membawaku menuju lift basement yang lebih kecil lalu menggeluarkan sebuah kartu berwarna hitam. Aku baru menyadari ternyata ini adalah lift privat, dan hanya ada dua lantai yang bisa dituju; 19 dan 20.

20? Seingatku lift di gedung Shaw&Partner hanya sampai 19. Nick menekan tombol 20 lalu berdiri di sebelahku. "Aku tidak tahu ada lantai 20." Kataku setelah beberapa saat.

"Karena lantai 20 bukan kantor. Lantai itu adalah penthouse."

Aku berkedip memandangnya, "Penthouse?" Ia memiliki penthouse di gedung kantornya? Seberapa kaya mereka?

Nick hanya mengangkat bahunya sedikit, "Kami jarang menggunakannya, hanya saat lembur."

Ia membangun sebuah penthouse di lantai teratas gedung kantornya hanya untuk lembur? Sepatu Lana, makan siang itu, dan uang kuliahku... Pantas saja Ia melakukan semua itu untukku, mungkin baginya uang sebesar itu hanya seperti recehan. Sebelum aku sempat mengatakan apa yang kupikirkan, pintu lift di depan kami berdenting terbuka. Nick menggenggam tanganku lagi sambil berjalan keluar. Aku tidak bisa menutup mulutku yang menganga saat melihat penthousenya. Tempat ini sangat besar. Hampir seperti apartemen-apartemen display yang kaulihat di majalah mewah, dilengkapi dengan taman kecil di luar.

Kami melewati dapur yang menyatu dengan ruang tengah menuju pintu lain. Nick membuka pintu itu tanpa melepas genggaman tangannya, aku tahu itu adalah kamarnya bahkan sebelum Ia membukanya.

Aku ingin bertanya banyak hal, tapi hal pertama yang muncul di kepalaku adalah pakaianku, "Nick aku tidak membawa pakaian sama sekali. Bukannya lebih baik jika kita kembali ke rumahmu?" Sebagian barang-barangku masih ada disana.

Nick melepaskan genggaman tangannya lalu berbalik, kedua matanya sedikit menggelap saat menatapku. Ia terlihat seperti predator yang sedang mengamati mangsanya. "Untuk apa? Kau tidak akan membutuhkannya, Eleanor."

***

Saat aku terbangun pagi harinya, Nick sudah berdiri di ujung tempat tidur mengenakan pakaian kerjanya. Rahangnya sudah bersih lagi, tidak ada sedikitpun jejak lelah di wajahnya. Kedua tangannya sedang sibuk memasang dasinya yang berwarna abu-abu tua. Ia terlihat seperti seseorang yang siap menaklukan dunia.

Dan Ia terlihat bahagia.

"Hey." Sapaku dengan suara bangun tidurku.

"Hey." Balasnya sambil tersenyum, "Aku harus menghadiri beberapa meeting. Kau tidak keberatan?"

Nick sudah meninggalkan pekerjaannya dua minggu terakhir, jadi Ia pasti harus kembali secepatnya. Aku mengangguk padanya. "Tentu saja, selamat bekerja."

Nick mendekati tempat tidur lalu menciumku sekilas, "Aku akan kembali saat makan siang. Jika kau membutuhkan sesuatu hubungi kantorku, okay?" Salah satu tangannya beralih untuk mengelus pipiku dengan lembut.

Tentu saja, kantornya berada tepat di bawah penthouse ini.

"Aku sudah menyimpan beberapa botol darah baru di lemari dapur." Tambahnya sebelum menciumku untuk yang kedua kalinya, kali ini lebih lama.

Aku menunggu hingga langkah kaki Nick terdengar menjauh sebelum turun dari tempat tidur, kutarik selimutnya untuk menutupi tubuh telanjangku lalu berjalan ke lemari pakaiannya dan mengambil salah satu kemeja berwarna biru muda. Nick menepati ucapannya, aku memang tidak membutuhkan pakaianku sama sekali kemarin.

Sesudah mencuci wajahku tujuan pertamaku adalah lemari dapur. Setelah semalam meminum darah Nick, aku merasa lapar lagi. Kuusap perutku sambil berjalan menuju dapur, mungkin karena ini. Mungkin aku terlalu bersemangat tapi saat aku mengusap perutku aku hampir bisa merasakan gundukan kecil. Tapi tentu saja tidak mungkin. Baru beberapa hari tidak mungkin terlihat, kan?

Sebuah senyuman menghiasi wajahku, aku belum bisa menebak apakah anak kami perempuan atau laki-laki. Kubuka lemari kabinet di dapur lalu mengambil salah satu botolnya, aku memilih botol darah murni yang belum dicampur Wine. Kutuang segelas penuh lalu meminumnya perlahan, tapi tegukan pertamaku membuatku berlari ke wastafel terdekat. Rasa mual membuatku memuntahkan kembali darah yang terminum. Tenggorokanku terasa panas setelahnya. Kukerutkan keningku lalu memandang botol darah itu. Sama seperti darah yang ditinggalkan Greg di apartemennya, aku tidak bisa meminumnya. Tapi semalam aku meminum darah Nick dan tidak terjadi apa-apa. Darah Alastair juga tidak berpengaruh padaku.

Lalu apa yang salah? Kuusap bibirku yang basah dengan punggung tanganku lalu mengembalikan botol darah itu ke dalam lemari. Rasa lapar dan terbakar di tenggorokanku terasa semakin menyiksa. Seberapa kalipun aku berusaha menelan ludahku, rasa kering di tenggorokanku tidak menghilang.

Tanganku mengusap perutku lagi. Hey, apa yang harus kulakukan? Tanyaku pada penghuni perutku.

Jam makan siang terasa begitu lama, aku tidak ingat sudah berapa kali aku memutari penthouse ini untuk membunuh waktu. Beberapa kali aku tergoda untuk menelepon Lana, tapi aku belum siap menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Aku tidak tahu harus bertanya pada siapa tentang kehamilan ini, yang jelas Alastair tidak mungkin. Tapi hanya Ia yang tahu...

Tidak. Aku tidak akan menambah masalah lagi.

Kucek lagi jam digital di atas meja, masih satu setengah jam lagi sebelum makan siang. Aku tidak ingin menganggu Nick walaupun rasa haus ini sedikit menyiksaku. Kujatuhkan tubuhku di sofa besar yang berada di ruang tengah, sedikit angin masuk dari sela pintu balkon yang terbuka. Bau bunga dan rerumputan dari taman kecil di luar ikut masuk bersama angin. Perlahan kedua mataku terasa semakin berat.

Rasanya aku baru memejamkan mataku beberapa detik sebelum suara langkah kaki terdengar mendekat, kubuka kedua mataku secara otomatis lalu berusaha melihat jam. Pukul 12.30 siang. Aku sudah tertidur dua jam lebih. "Nick?" panggilku tanpa menoleh.

"Eleanor?" suara Nick terdengar dari balik sofa. "Hey." Gumamnya sambil duduk di sebelahku, Ia merebahkan kepalanya di sandaran sofa lalu memejamkan matanya.

"Hari yang berat?" tanyaku sambil tersenyum, pandanganku beralih ke nadi di lehernya yang terlihat jelas. Kutelan ludahku dengan susah payah.

"Yeah... Aku tidak bisa fokus setiap mengingat kau berada satu lantai di atasku." Ia menarik dasinya hingga sedikit longgar dengan salah satu tangannya. Kedua matanya terbuka lagi tiba-tiba. "Kau sudah makan?"

"Yeah." Belum.

"Erik akan membawakan barang-barangmu sore ini." Jari tangan kirinya bermain-main dengan rambutku saat Ia berbicara.

"Kita tidak akan kembali lagi?"

"Aku ingin kau selalu berada di dekatku." Ia menoleh sambil tersenyum, tapi hanya satu detik karena selanjutnya Ia mengamati wajahku sambil mengerutkan keningnya, "Eleanor, kau terlihat pucat."

Well, aku memang merasa sedikit lemah. Denyutan nadi lehernya terlihat semakin mengundang. Apa Volder bisa mati karena kehabisan darah? Aku tidak ingin mengambil darah Nick dua hari berturut-turut. Tapi aku harus makan...

"Aku tidak apa-apa." Jawabku sambil berusaha tersenyum. Nick masih mengerutkan keningnya, beberapa saat kemudian Ia berdiri dan berjalan menuju dapur. Kemudian Ia kembali membawa segelas Wine darah lalu menyerahkannya padaku.

"Nick, aku baru minum—"

"Minum lagi." Potongnya sambil menyodorkan gelasnya padaku. "Aku tidak ingin kau kekurangan darah."

Kuterima gelas itu tanpa meminumnya, berharap Nick tidak akan menyadarinya. Tapi tentu saja aku tidak bisa menghindar. Ia menungguku untuk meminumnya.

"Aku benar-benar sudah kenyang." Kuletakkan gelas itu di meja, tapi Nick mengambilnya lagi dan kembali menyodorkannya padaku. "Nick..." protesku sambil menarik kedua sudut mulutku ke bawah.

"Minum, Eleanor. Kau benar-benar terlihat pucat." Sedikit ekspresi khawatir melintasi wajahnya. Mungkin aku harus meminumnya sedikit agar membuatnya merasa lebih baik. Tapi saat aku menempelkan bibirku di ujung gelas, bau darah yang tercium membuatku mual. Kujauhkan wajahku dari gelas di tanganku sambil mengerutkan hidungku dengan jijik.

"Ada apa?" tanyanya sebelum mengambil gelas itu dan meminumnya sedikit, "Darahnya masih baru."

"Aku—aku hanya kenyang."

"Eleanor..." Nick menarik kedua sudut mulutnya ke bawah. Ia tahu aku sedang berbohong.

"Well... setelah meminum darahmu semalam, yang lainnya terasa... tidak enak." Jawabku setengah jujur. Nick mengedipkan kedua matanya dua kali seakan-akan berusaha memahami apa yang baru saja kukatakan. "Kau tidak bisa meminum darah yang lain?"

"Hanya tidak enak." Bohong. Aku tidak bisa meminum darah lain sama sekali.

"Okay." Ia mulai melepas dasinya dan kancing kemeja teratasnya, "Kau hanya perlu memintanya."

Kutatap Nick dengan ragu-ragu, "Aku tidak ingin menyakitimu..."

Tiba-tiba Nick tersenyum, hari ini Ia lebih banyak tersenyum. "Kau tidak akan menyakitiku." Lalu Ia berhenti sejenak, "Menggigit bagi kami hampir sama dengan fore—"

"Okay, okay." Potongku sebelum Ia mengatakan apa yang tidak ingin kudengar. Nick hanya tertawa, tapi tawanya berhenti saat kedua taringku menembus kulitnya. Ia menghela nafasnya lalu memejamkan kedua matanya, kedua tangannya meremas pinggangku beberapa kali.

"Baumu berubah." Gumamnya tiba-tiba setelah beberapa menit, membuat tubuhku menegang. Alastair juga mengatakan hal yang sama sebelum menyadari aku hamil. Kulepas gigitanku lalu menjilat bekas lukanya sekali. Mata Nick yang sedikit menggelap saat menatapku.

"Apa maksudmu?"

Nick kembali menarik nafasnya dalam-dalam lalu berpikir sejenak sebelum menjawabku, "Aku tidak bisa menjelaskannya. Baumu... berbeda dari sebelumnya." Ia mengerutkan keningnya seolah-olah sedang mencari kata yang tepat. "Baunya seperti musim semi."

Aku mencoba tertawa di tengah debaran jantungku yang mulai semakin cepat. "Nick, apa kau sedang menggodaku?" tanyaku sambil mengangkat kedua alis mataku. Kami masih berpelukan, kedua tangannya merangkul pinggangku.

"Menggodamu? Apa kau ingin aku menggodamu?" salah satu sudut mulutnya ditarik ke atas. Ini adalah pertama kalinya Nick terlihat santai setelah apa yang terjadi beberapa bulan belakangan ini.

"Well, tidak terlalu. Kau adalah penggoda yang payah, Mr. Shaw." balasku dengan senyuman.

Ia melepaskan pelukannya dengan wajah pura-pura terluka, aku kembali tertawa lalu melemparkan salah satu bantal sofa ke arahnya. "Tapi baumu memang berubah, Eleanor." Jawabnya sambil tersenyum saat melihatku tertawa. Sedikit perasaan takut terselip di hatiku. Aku tidak ingin masalah ini semakin berlarut seperti ini, bagaimana pun juga Nick berhak mengetahuinya. "Nick?"

"Hm?" Ia kembali merebahkan kepalanya di sandaran sofa lalu melirikku. Saat ini kami terlihat seperti pasangan normal yang sedang menghabiskan waktu bersama, aku tidak ingin merusak momen ini, tapi pertanyaanku keluar begitu saja dari mulutku sebelum aku sempat menahannya, "Apa kau tidak merasa kesepian selama ini?"

Ia terlihat sedikit tidak siap dengan pertanyaanku yang tiba-tiba. "Maksudmu selama aku hidup?"

Aku mengangguk. Kedua mata biru gelapnya menatapku tanpa berkedip, "Tentu saja." Ada jeda selama tiga detik sebelum Ia melanjutkannya. "Keabadian adalah kutukan bagi sebagian dari kami. Saat semuanya sudah didapat, saat dunia ini sudah selesai dijelajahi, hidup menjadi tidak berarti lagi." Nick tersenyum kecil, tapi senyumannya tidak mencapai matanya.Tapi beberapa saat kemudian kedua matanya melembut, "Tidak semuanya mendapatkan apa yang kudapatkan, Eleanor." Kukerutkan keningku sedikit tidak paham dengan apa yang baru saja Ia katakan, Ia melihat ekspresi bingung di wajahku. "Kau." Gumamnya sambil menyentuh wajahku dengan sangat lembut. "Aku adalah pria paling beruntung di dunia ini."

Kalimatnya membuat tenggorokanku tercekat saat mendengarnya, kurasakan air mata mulai berkumpul di sudut mataku. Entah kenapa akhir-akhir ini aku menjadi mudah menangis. "Kenapa aku?"

Nick mengangkat bahunya sedikit, "Kau hadir begitu saja di dalam hidupku. Aku tidak bisa menghindar walaupun aku sudah mencobanya, aku menginginkanmu sejak pertama kali melihatmu, Eleanor." Aku bisa melihat seluruh perasaannya padaku dari tatapan matanya, dan hal itu membuatku semakin merasa bersalah.

Kugigit bagian dalam pipiku untuk mencegah air mataku jatuh. "Nick... aku—"

Suara bell memotong kalimatku. Kupalingkan wajahku ke arah pintu saat Nick mengumpat dengan pelan. Ia berdiri lalu berjalan ke arah pintu untuk membukanya, kuhela nafasku sambil memejamkan kedua mataku yang masih terasa panas. Hampir saja, aku hampir memberitahunya tapi bell sialan itu berbunyi.

"Kau!" seru suara yang terdengar sangat marah.