Aku hampir tidak bernafas.
Suara langkah yang berat itu semakin mendekat, kupegang handphoneku dengan semakin erat. Aku berharap bisa memperlambat debaran jantungku yang kencang juga.
"Jika Ia menemukanmu..." suara Nick terdengar hampir menggeram, "Lari."
Aku ingin menjawabnya, kugigit bibirku dengan sedikit keras untuk mencegahnya. Aku ingin bertanya dimana Ia sekarang, aku hanya ingin mendengar suaranya berbicara. Apapun untuk mengurangi rasa takut yang mencengkeramku saat ini. Kudorong tubuhku hingga ke sudut kubik, ke bagian yang lebih gelap. Kusembunyikan tubuhku di bawah meja hingga hampir tidak terlihat. Satu-satunya cara Ia mengetahui tempat bersembunyiku hanya dengan mengecek kubik di lantai ini satu per satu.
"Alice... kau bagian lift. Aku akan mengecek tangga darurat." suara Nick yang sedikit terengah kembali terdengar, sepertinya Ia sedang berlari. Sedikit rasa lega mengusir rasa takutku.
"El—Ella?"
Jantungku hampir berhenti berdetak saat mendengar suara itu menggema di lantai ini.
"Ella, aku tahu kau ada disini..." ulangnya lagi, tapi suara itu terdengar ketakutan.
"Ella, kumohon... Ia—Ia akan membunuhku jika kau tidak keluar." Ia berbicara sambil terisak.
"Eleanor, jangan lakukan itu." Suara Nick terdengar memperingatkan, kurasa Ia juga mendengar apa yang sedang terjadi dari handphone. "Aku hampir mencapaimu, tinggal dua lantai lagi. Saat aku mengatakan 'lari', segera berlari ke arah pintu tangga darurat. Kau mengerti?"
Aku tidak bisa menjawabnya.
Nick ada disini. Ia datang untuk menyelamatkanku, semuanya akan baik-baik saja.
"Ella, tolong aku... kumohon." Dibutuhkan seluruh kekuatanku agar aku tidak bergerak dari tempatku. Sebagian besar diriku ingin keluar dari tempat ini untuk menyelamatkannya, ataupaling tidak menukar tempatnya denganku.
Semua ini salahku, Ellie seharusnya tidak terlibat ke dalam semua ini. Mungkin Ia datang ke kantor untuk menjemput Mr. LeBlanc yang terlambat pulang lalu...
"Ella..." detik berikutnya aku mendengar suara pekikannya, seluruh bulu halus di punggungku berdiri bersamaan dengan pekikan yang selanjutnya. "K—kumohon..."
Aku hampir saja keluar dari tempatku untuk menyerah saat aku mendengar suara Nick di handphone yang sedang kugenggam, "Eleanor, lari!"
Harapan bercampur rasa lega memberikan aliran adrenalin baru bagiku untuk berlari. Aku tidak lagi mempedulikan suara yang kutimbulkan, kupaksa kedua kakiku untuk berlari tanpa menoleh ke belakang sedikitpun. Pandanganku fokus pada pintu tangga darurat. Salah satu tanganku masih menggenggam handphoneku, kudorong pintu berat tangga darurat dengan tubuhku hingga terbuka lebar.
Tubuhku membeku di tempat seketika saat menyadari apa yang terjadi.
Nick tidak ada di tempat ini.
Samar-samar aku mendengar suara Nick yang berteriak memanggil namaku dari handphoneku. Lalu aku mendengar suara tawa kecil feminim di belakangku.
"Mencari Nicholas? Ia tidak ada disini." Suaranya berubah 360 derajat dari sebelumnya.
Di depanku tidak ada siapapun, hanya ada kesunyian dan cahaya remang dari lampu tangga emergency. Kubalikkan badanku perlahan menatap dua orang yang berdiri beberapa meter di depanku. "Ellie?"
"Namaku Elizabeth. Jangan pernah memanggilku Ellie lagi." Senyuman kecil di wajah cantiknya menghilang dengan cepat. Aku masih terpana memandangnya saat pria di sebelahnya bergerak ke arahku, pandanganku beralih padanya. Pria itu tersenyum ramah padaku, kedua mata abu-abu gelapnya terlihat familiar.
Ia adalah pria yang menabrakku siang ini. Saat berdiri di dekatku seperti ini, Ia terlihat mengintimidasi.
"Apa... Apa maksud semua ini?" tanyaku berusaha untuk tenang. Rasa takutku yang sebelumnya muncul kembali dua kali lipat lebih kuat dari sebelumnya.
Elizabeth berkedip memandangku, "Nicholas belum memberitahumu?" Ia melangkah mendekatiku hingga jarak kami hanya terpisah dua langkah. Aku menggeleng dengan sedikit ragu.
"Sayang sekali..." gumamnya sebelum mendorong tubuhku ke belakang. Sebelumnya aku berdiri di ujung tangga teratas, detik berikutnya tubuhku kehilangan keseimbangan dan meluncur ke bawah. Setiap anak tangga yang membentur tubuhku terasa seperti pukulan tongkat baseball. Mungkin hanya 10 anak tangga, tapi saat tubuhku mendarat di dasar rasa sakitnya menyebar ke seluruh tubuhku.
"Ia tidak memberitahumu namaku?" ulangnya lagi kali ini Ia terlihat sedikit tidak percaya. Aku berusaha mendongak sambil menahan rasa sakit. Kedua mata coklatnya terlihat sedikit marah. "Aku adalah Leechnya."
Kurasakan sedikit rasa darah di dalam mulutku dari luka di lidahku yang tergigit. "K—kau?"
"Tentu saja Nicholas tidak akan mengenaliku dengan warna rambut dan contact lense ini. Aku mengubah diriku, atau lebih tepatnya mengubah diriku semirip mungkin denganmu." Ia turun beberapa anak tangga lalu menunduk menatapku. "Aku membutuhkan beberapa minggu untuk melakukannya, agar terlihat meyakinkan. Tapi aku tidak menyangka semuanya akan semudah ini. Padahal aku sudah memberikan banyak petunjuk untuknya, aku bahkan tidak mengganti namaku."
Salah satu tangannya melingkari lenganku lalu menarikku dengan kasar hingga berdiri. Tapi aku tidak bisa berdiri dengan sempurna, pergelangan kaki kiriku terkilir jadi aku harus menumpu beratku pada kaki kananku.
"Nick akan membunuhmu." Gumamku dengan marah bercampur kesakitan.
"Kuharap Ia melakukannya sebelum aku membunuhmu, Eleanor." Suaranya berubah dingin, bulu halus di tengkukku kembali berdiri. "Terimakasih untuk Miss Morrel, jika bukan karenanya mungkin rencanaku tidak akan berjalan lancar."
Hatiku mencelos saat mendengar nama Lana disebut. "Apa yang kaulakukan padanya?"
"Tidak ada. Ia bukan target utamaku." Gumamnya. "Tapi Nicholas saat ini berada di kantor Miss Morrel, dan Ia mengira kau berada disana juga. Mungkin saat ini Ia juga baru menyadari kau tidak ada disana... Hhhh, aku ingin melihat ekspresi di wajahnya saat ini."
Sekarang aku mengerti mengapa Nick memintaku naik ke lantai 7. Gedung kantor Lana hanya sampai lantai 7, sedangkan gedung kantorku hingga 12. Ia berpikir aku sedang berada di kantor Lana... Nick berada di tempat yang salah.
"Elizabeth, kurasa kita harus bergegas."
Elizabeth tersenyum lalu mendongak ke arah pria itu, "Alastair, aku sudah selesai. Sekarang Ia milikmu."
Pria itu membalas senyumannya dengan ramah, seolah-olah mereka baru saja membicarakan hal yang menyenangkan. Keduanya membuat perutku terasa mual, sebagian karena rasa takut sebagian karena rasa sakit. Pria bernama Alastair itu meraih lenganku yang sebelumnya dilepaskan oleh Elizabeth lalu berjalan sambil menarikku menuruni tangga. Elizabeth tidak mengikuti kami, Ia hanya berdiri di tangga teratas sambil memandang kami berdua dengan ekspresi dingin di wajahnya.
Jauh di dalam lubuk hatiku aku lebih memilih bersama dengan Elizabeth yang mengancam untuk membunuhku, daripada bersama pria ini.
"Kumohon—"
"Namaku Alastair. Senang bertemu denganmu, Eleanor." Ia menoleh ke arahku sambil tersenyum. Seluruh tubuhku terasa seperti diguyur air es. "Tidak ada gunanya bagimu untuk memberontak, kau sudah mengetahuinya, kan?"
Kami terus berjalan hingga ke basement gedung. Ia tidak menarikku dengan kasar, Ia bahkan menyesuaikan jalanku yang sedikit lambat karena kakiku yang terkilir.
"Apa yang Nick lakukan padamu?" aku tidak bisa menahan pertanyaanku walaupun rasa takut masih melingkupiku.
"Nicholas Shaw? Ia tidak melakukan apapun padaku. Kami bahkan hanya pernah bertemu beberapa kali." Ia menuntunku berjalan menuju sebuah mobil Hummer hitam lalu membukakan salah satu pintunya untukku. Kakiku terasa semakin sakit setelah berjalan sejauh ini, tapi aku berusaha mengabaikan seluruh rasa sakitnya.
"Lalu untuk apa kau melakukan semua ini?"
"Untuk bersenang-senang?" jawabnya sebelum menutup pintunya. Sesuatu yang salah dari nada bicaranya memancing rasa panikku menjalari tulang punggungku.
"Kau membutuhkan ini." Gumamnya saat sudah berada di balik kemudi, Ia mengeluarkan sebuah kain hitam lebar lalu menutup kepalaku dengan kain itu hingga aku tidak bisa melihat apapun. "Aku berharap kau tidak berusaha membukanya."
Sesuatu di dalam suaranya saat berbicara membuatku merasa takut. Ia terlihat... salah. Senyumannya, nada bicaranya, bahkan sikapnya yang berhati-hati saat membawaku ke basement gedung semuanya terlihat salah.
Kami tidak berbicara lagi dalam perjalanan, kepalaku dipenuhi dengan dugaan-dugaan. Saat ini dugaan terkuatku adalah Ia hanya berusaha menyembunyikanku dari Nick, hingga saat yang tidak ditentukan. Ia tidak akan membunuhku karena orang yang paling menginginkan aku mati adalah Elizabeth. Dan seharusnya Ia melakukannya sejak tadi.
Aku tidak bisa memperlambat debaran jantungku yang keras walaupun aku sudah berusaha menenangkan diriku sendiri. Bau pengharum mobilnya membuatku semakin mual.
Setelah hampir 45 menit akhirnya Ia menghentikan mobilnya lalu keluar, beberapa detik kemudian Ia membuka pintu mobil untukku lalu kembali menuntunku tanpa melepas kain hitam yang menutupi kepalaku. Kakiku yang telanjang menyentuh lantai dingin lalu beberapa anak tangga dan pintu hingga akhirnya berhenti. Ia melepaskan kain yang menutupi kepalaku lalu melemparkannya. Kedua mata abu-abu gelapnya menatapku dengan datar tanpa ekspresi sedikitpun.
"Kurasa kau ingin membersihkan dirimu lebih dulu? Aku akan menunggu di luar." Lalu Ia menghilang dari balik pintu. Kuedarkan pandanganku ke sekelilingku, aku berada di tengah kamar mandi besar. Di sebelahku ada sebuah bathup marmer yang cukup untuk 4 orang, sedangkan di seberangnya dua pasang wastafel yang berbahan marmer juga. Langit-langitnya memiliki sebuah lampu kristal besar bertangkai emas, tapi aku tidak melihat satu pun jendela. Satu-satunya pintu hanya pintu tempatku masuk tadi.
Aku tidak memiliki pilihan lain, kubersihkan kakiku lalu mencuci tanganku. Rasa takutku sedikit mereda, sepertinya dugaan pertamaku benar. Mereka hanya berniat mengurungku di tempat ini. Kupandang pantulanku di kaca berbingkai emas di depanku, beberapa helai rambutku keluar dari gelunganku yang kini sudah berantakan, wajahku terlihat sama pucatnya dengan marmer di sekitarku. Aku yakin beberapa tempat di balik blazerku saat ini memar.
Aku menjatuhkan handphoneku di tangga darurat tadi, sedangkan tasku masih berada di kubik tempatku bersembunyi. Tidak ada jalan keluar dari tempat ini, satu-satunya jalan saat ini hanya mengikuti apa yang mereka inginkan. Kutarik nafasku dalam-dalam untuk mengusir rasa panik dan rasa takutku. Aku hanya harus bertahan hidup hingga Nick datang menyelamatkanku. Kuharap.
Jari-jariku sedikit bergetar saat menyentuh kenop pintu kamar mandi yang dingin. Alastair, pria itu sedang berdiri memunggungiku saat aku masuk ke kamar di balik pintu ini, Ia mengenakan kaos dan jeans hitam yang sama dengan yang sebelumnya.
Kamar ini didominasi warna putih dan abu-abu gelap, seperti warna matanya. Di tengahnya sebuah tempat tidur berukuran king size diselimuti oleh bed cover putih yang terlihat baru. Ia hanya menoleh sedikit lalu kembali menunduk mengerjakan sesuatu di depannya, aku berusaha berjalan sejauh mungkin darinya pandanganku berkeliling mencari pintu keluar.
"Aku sudah mengunci pintunya." Gumamnya seakan-akan baru saja membaca pikiranku. Sebuah pintu besar di sudut ruangan menarik perhatianku. Saat aku kembali memandang ke arahnya jantungku mulai berdebar keras lagi. Ia sedang sibuk memasang sebuah kamera di tripod, jaraknya hanya dua meter dari tempat tidur.
Kubasahi tenggorokanku sebelum bertanya padanya, "Untuk apa... kamera itu?"
Ia tidak tersenyum lagi tapi menatapku dengan tatapan aneh, seluruh instingku menyuruhku berlari menjauh darinya. "Untukmu."
"Aku tidak mengerti."
"Eleanor, naik ke atas tempat tidur." Suaranya terdengar tenang, sama seperti ekspresi wajahnya. Rambut pirang coklatnya yang sedikit berantakan membingkai wajahnya yang terlihat ramah, tapi kedua mata abu-abu gelapnya yang dingin tidak bisa menipuku.
"Untuk apa?" aku melangkah mundur hingga punggungku menempel di dinding belakangku. Ia tidak menjawabku tapi mulai melangkah ke arahku. "Apa yang akan kau lakukan?" suaraku terdengar panik bahkan di telingaku sendiri.
"Kau tahu... aku lebih menyukai wanita yang memberontak saat diubah." Gumamnya saat berada satu langkah di depanku. "Dan kau boleh berteriak sepuasmu." Kedua mata abu-abu gelapnya perlahan semakin menggelap hingga hampir berwarna hitam. Sebelum aku sempat lari tangannya meraih lenganku dan menyeretku ke arah tempat tidurnya. Ia melemparku ke atas tempat tidurnya dengan mudah lalu mulai melepas kaos hitamnya, Ia terlihat jauh lebih berotot dari dugaanku.
Jantungku hampir meledak di dalam dadaku karena adrenalin yang bercampur rasa takutku. Kubalikkan tubuhku untuk merangkak menuruni tempat tidur di sisi seberangnya tapi salah satu tangannya melingkari pergelangan kakiku yang terkilir, membuatku berteriak kesakitan. Ia menarikku kembali ke tengah tempat tidur membuat dressku sedikit terangkat.
"Jangan menyentuhku!" desisku sambil berusaha menendangnya, tapi dengan posisi wajahku yang terbenam di atas tempat tidur aku tidak bisa memastikan tendanganku mengenai sasaran. Ia meraih kedua pergelangan kakiku lalu menjepitnya dengan salah satu tangannya membuatku berhenti menendangnya. Lalu Ia naik ke atas tempat tidur, salah satu kakinya menggantikan tangannya untuk menjepitku. Aku masih berusaha melawannya walaupun Ia lebih kuat dariku. Kutolehkan kepalaku hingga aku bisa melihatnya, "J—jangan lakukan ini padaku, kumohon."
Ia menundukkan kepalanya lalu berbisik di telingaku, "Kau hanya bersama orang yang salah di waktu yang salah, Eleanor." Nafasnya yang hangat berhembus di telingaku, tapi semua itu hanya membuatku semakin mual karena rasa takut. Dari sudut mataku aku bisa melihat kedipan berwarna merah dari kamera yang sedang merekam. Sebelum aku sempat memberontak sekuat tenaga Ia menarik blazerku dengan paksa lalu melemparkannya ke ujung ruangan, menyisakan hanya dress putihku. Ia bergerak ke belakangku hingga tubuhnya hampir melingkupi tubuhku, tangan kirinya memegang kedua pergelangan tanganku dengan erat di atas kepalaku sedangkan kakinya masih menjepitku.
Aku tidak mempedulikan rasa sakitnya lagi, satu-satunya hal yang ada di pikiranku saat ini adalah memberontak darinya dengan sekuat tenaga. Tangan kanannya membuka resleting belakang dressku dengan cepat, udara AC yang dingin menyentuh punggungku yang kini terbuka. Alastair melepaskan kedua pergelangan tanganku dari cengkeramannya lalu membalik tubuhku hingga kami berhadapan. Ia kembali berusaha menarik dressku hingga mencapai perutku, aku mendorongnya dengan kedua tanganku lalu berusaha mencakarnya. Tapi Ia hanya membalasku dengan tertawa kecil hingga akhirnya dressku benar-benar terlepas dariku. Tangannya menarik gelungan rambutku hingga membuat wajahku mendongak menatapnya, seluruh perlawananku melemah seketika.
"Jika kau tidak menyukai ini, kau boleh membayangkanku sebagai Nicholas Shaw." Kedua iris matanya kini sudah berubah menjadi hitam total dengan sedikit warna merah di pinggirannya, aku bisa melihat taringnya dengan jelas saat berbicara. Kedua tangannya meraih tanganku lalu mengaitkan jari-jari kami. Satu-satunya yang bisa kurasakan saat ini adalah perasaan takut dan jijik. Jika aku bertemu dalam situasi normal, mungkin Ia akan terlihat tampan.
"Nick tidak akan pernah melakukan hal ini padaku." Kalimatku keluar di tengah nafasku yang terengah-engah. "Kumohon, jangan lakukan ini padaku."
"Tentu saja Ia akan melakukannya, suatu saat nanti, hanya saja mungkin tidak akan sesakit ini." Ia menundukkan kepalanya hingga wajahnya terbenam di leherku, tubuhku menegang seketika lalu aku mendengar suara tawa kecilnya lagi. "Aku tidak heran mengapa Nicholas sangat menyukaimu."
Ia kembali mencengkeram kedua pergelangan tanganku dengan tangan kirinya. Air mataku yang panas mulai membasahi kedua pipiku, tapi aku belum menghentikan perlawananku. Tangan kanannya menyusup ke punggungku berusaha membuka kaitan braku. Di saat seperti ini wajah Nick tiba-tiba muncul di dalam kepalaku. Jari-jarinya berhasil membuka kaitan braku lalu Ia menarik tali bra kiriku dari pundakku, Ia membuka mulutnya sedikit lalu menempelkan bibirnya beberapa senti di atas bra kiriku. Tepat di atas jantungku yang berdebar keras.
Keempat taringnya yang tajam merobek kulitku dengan sangat cepat, tapi tidak ada yang bisa mengalahkan rasa sakit ini. Kurasakan kedua mataku membesar saat seluruh oksigen di paru-paruku terasa berhembus keluar begitu saja, detik berikutnya suara teriakanku memenuhi ruangan ini.
Rasa sakitnya menjalar perlahan dari tempat gigitannya, jantungku berdetak tiga kali lebih cepat dari sebelumnya dan setiap detakannya membawa rasa sakit yang baru di tubuhku.
Alastair melepaskanku lalu turun dari tempat tidur, kupeluk kedua kakiku lalu bergelung berusaha menekan rasa sakitnya. Nafasku semakin berat dengan setiap detik yang berlalu. Aku tidak bisa menghentikan teriakanku ataupun air mataku yang mengalir dengan deras. Rasanya seperti seseorang sedang meremas jantungku era-erat, membuatku hampir tidak bisa bernafas. Tubuhku perlahan mulai terasa panas, bahkan AC yang berhembus tidak bisa mengurangi rasa panasnya. Walaupun tidak terlalu jelas karena kedua mataku dipenuhi air mata tapi aku bisa melihat Alastair yang sedang mengambil kamera lalu mengenakan kaosnya kembali dengan santai.
Aku ingin membunuhnya. Perasaan itu datang tiba-tiba bersamaan dengan rasa sakit yang baru. Aku akan membunuhnya. Kuremas bed cover di bawahku dengan tanganku berharap rasa sakitnya akan berkurang.
"Aku akan menurunkan suhu pendinginnya untuk mengimbangi suhu tubuhmu. Nicholas akan menjemputmu setelah Elizabeth mengirimkan video ini, kuharap. Sampai bertemu lagi, Eleanor."
Aku akan membunuhnya, ulangku dalam hati saat melihat senyuman ramahnya sebelum keluar dari ruangan ini. Kupaksa tubuhku untuk merangkak turun dari tempat tidur, tapi terjatuh ke lantai saat mencobanya. Tulang rusukku terasa sakit saat bernafas, rasa panas yang membakar tubuhku juga semakin intens.
"Nick." Bisikku sebelum rasa sakit mencuri kesadaranku.