"Apa yang sedang kau lihat?" pertanyaan Lana membuatku menoleh ke arahnya. Ia mengikuti arah pandanganku menuju pintu restauran.
"Bukan apa-apa." aku tersenyum padanya.
Aku tahu kemungkinan akan bertemu dengannya di Manhattan. Hanya saja melihatnya langsung seperti ini, walaupun jarak kami cukup jauh, masih membuat jantungku berdebar keras.
Terakhir aku melihatnya adalah 3 bulan lalu di San Fransisco. Tentu saja aku sangat terkejut karena aku tidak mengira Ia akan kembali setelah pertemuan terakhir kami satu tahun yang lalu di rumah sakit. Lalu aku ingat Nicholas Shaw juga memiliki kenalan di kota itu.
Saat itu aku memaksa diriku untuk tidak melihat ke arahnya karena rasa terkejutku. Kami hanya berpapasan beberapa detik tapi aku bisa merasakan tatapan intensnya ke arahku, sedangkan aku hanya bisa melihat punggungnya saat berbalik.
Sekarang, melihatnya lagi di tempat ini secara langsung membuat tenggorokanku tercekat. Nicholas Shaw masih terlihat sama tampannya dengan yang di dalam ingatanku selama ini. Ia mengenakan setelan jas berwarna biru bergaris dan kemeja putih. Kali ini aku tidak bisa mengalihkan pandanganku darinya bahkan saat akhirnya kedua mata biru tuanya menangkap pandanganku.
Aku tidak mengerti mengapa Ia menghapus ingatan Lana, sedangkan tidak denganku walaupun aku sudah memintanya. Mungkin ini salah satu permainan kejamnya, Ia ingin membuatku mengingatnya sebagai hukuman setelah apa yang kukatakan padanya saat di rumah sakit dulu.
Sekarang setiap kali aku melihatnya rasanya seluruh perasaanku untuknya kembali lagi seakan usahaku untuk melupakannya satu tahun belakangan ini tidak berarti.
"Kau ingin mencoba menu spesialnya?" tiba-tiba pertanyaan Lana membuyarkan lamunanku.
Aku kembali menatap sekilas ke arah pintu restauran tempatnya keluar tadi sebelum memandang Lana, "Tidak. Aku tidak terlalu lapar."
***
Resepsi pernikahan Christine digelar di hotel yang berbeda dari tempatku dan Lana menginap, jadi kami harus memesan taksi sejak satu jam sebelumnya. Lana memoleskan lipstiknya untuk yang terakhir kalinya sebelum berputar di hadapanku sekali, Ia mengenakan gaun berwarna powder blue yang serasi dengan warna matanya.
Rambut pirangnya hanya diblow dan dibiarkan terurai menutupi bahunya yang terbuka. Aku menatapnya sambil tersenyum lebar lalu mengangkat salah satu jempolku padanya. Sepasang anting berlian menghiasi telinganya, membuatnya terlihat berkerlip. Lana selalu terlihat cantik bagiku, kadang hal itu membuatku bertanya-tanya mengapa Ia belum memiliki pacar hingga saat ini.
"Oh, oh... kau tidak boleh duduk sekarang, Ella. Gaunmu akan kusut." Protesnya saat menyadari aku akan duduk.
"Okay, okay. Geez. Kau sudah siap?" tanyaku sambil mengambil handphone dan dompetku. Aku tidak membawa tas yang serasi dengan gaun yang kukenakan saat ini, jadi aku harus menitipkannya di tas Lana.
Malam ini aku mengenakan gaun berwarna putih, aku membelinya bersama Lana satu minggu yang lalu di San Francisco. Aku merasa ragu saat memilihnya karena aku akan memakainya ke acara pernikahan, tapi Christine bilang Ia akan menggunakan konsep pernikahan berwarna pastel, bukan putih.
Model gaun yang kukenakan lebih simpel daripada milik Lana, hanya sepanjang lutut dan tanpa hiasan apapun. Mungkin agak sedikit ketat untukku, tapi Lana memprotes saat aku hampir membatalkan untuk membelinya, Ia bahkan hampir membelikannya untukku. Jadi aku harus mengalah, walaupun sebenarnya aku juga menyukai gaun ini.
Hal lain yang membuatku hampir tidak jadi membeli gaun ini karena bagian punggungnya yang terbuka hingga hampir ke pinggangku. Walaupun masih dalam batas normal, tapi tetap saja...
"Ella, kau membawa uang untuk taksi? Aku kehabisan uang tunai."
"Yeah, ada di dompetku." Jawabku sambil memakai heelku. Lana membantuku menggelung rambutku tadi, Ia tidak ingin rambutku menutupi bagian punggungku karena itu adalah bagian terbaik dari gaunku. Aku hanya tertawa mendengarnya dan memasrahkan rambutku padanya.
"Lana, kau sudah siap?" tanyaku lagi, kali ini aku sudah berdiri di depan pintu kamar hotel kami. Lana kembali ke kamar mandi untuk mengambil dompet makeupnya.
"Okaaay." Balasnya dari kamar mandi, lalu lima menit kemudian Ia keluar dan bergabung bersamaku.
Lana mengenal Christine karena mereka pernah bekerja bersama sebelumnya. Christine bekerja di perusahaan tempat Lana bekerja sebelum pindah ke tempatku. Kadang-kadang kami juga makan siang bertiga, tapi setelah menikah Ia akan pindah ke Manhattan bersama suaminya jadi Ia mengundurkan diri dari kantor beberapa minggu yang lalu. Posisi asisten manager kini berpindah ke tanganku, Mr. Newman sendiri sudah pindah sejak 2 bulan yang lalu.
Managerku yang baru, Mr. LeBlanc, jauh lebih muda dari Mr. Newman. Kurasa dari namanya Ia keturunan Italia. Kami sudah makan siang bersama beberapa kali, dan Ia pernah mengajakku makan malam dengannya. Tapi aku harus menolaknya, kejadian dengan Oliver adalah pelajaran berharga untukku. Aku tidak ingin mengulanginya lagi.
Kami tiba di tempat resepsi pernikahan dua puluh menit kemudian. Christine sebenarnya menginginkan konsep pernikahan outdoor seperti garden party tapi karena saat ini sudah masuk ke musim hujan Ia terpaksa mengubahnya. Ballroom hotel Four Season sudah terlihat berbeda dibandingan dengan siang ini saat kami berkunjung. Ratusan orang sudah memenuhi tempat ini. Setelah mengucapkan selamat pada Christine dan suaminya aku pergi menyapa teman-teman kantorku, sedangkan Lana mengambil minuman untuk kami. Aku menghabiskan 45 menit untuk mengobrol dan mengenalkan Lana pada teman-teman kantorku.
"Aku harus ke kamar mandi." Bisikku pada Lana, Ia mengambil gelasku sambil mengangguk kecil. "Jangan lama-lama, ok? Aku tidak ingin berbicara pada bosmu sendirian."
Aku tersenyum padanya sebelum meninggalkannya mengobrol dengan Mr. LeBlanc. Toilet wanita yang berada di dekat Ballroom penuh dan harus mengantri hingga delapan orang, jadi kuputuskan untuk menggunakan toilet yang berada di dekat lobby. Sedikit lebih jauh tapi lebih baik daripada harus menunggu antrian.
Lana tidak sengaja menatapku saat aku berjalan keluar Ballroom, aku menunjuk ke arah lobby untuk memberitahunya sebelum berjalan keluar. Daerah lobby yang lumayan sepi sedikit kontras dengan Ballroom, aku berjalan menuju kamar mandi terdekat tanpa melihat sekelilingku.
Aku menyelesaikan urusanku secepatnya, tidak ingin membuat Lana mati bosan karena mengobrol dengan bosku. Kupandang pantulanku di kaca toilet sambil mencuci tanganku, kulitku terlihat lebih pucat akhir-akhir ini. Mungkin karena lembur mendekati akhir tahun. Kukeringkan tanganku lalu keluar dari toilet.
"Eleanor?"
Aku mendongak menatap sepasang mata berwarna biru tua yang sangat kukenal. Hanya saja pemilikinya yang ini tidak membuat jantungku berdetak keras.
Gregory Shaw berdiri di sebelah toilet lobby sambil tersenyum padaku. Oh, sial aku tidak bisa berpura-pura tidak mengenalnya jika Ia menyapaku duluan. Gregory mengenakan setelan jas berwarna hitam yang serasi dengan warna rambutnya. Aku hanya membalas pandangannya sambil mematung di tempatku. Apa Nicholas juga ada disini?
"Lama tidak melihatmu." Tambahnya masih sambil tersenyum, "Kau baik-baik saja? Setelah serangan itu?"
Aku mengangguk singkat padanya. Ia melipat tangannya di dada sambil mengamatiku dari atas ke bawah lalu kembali ke wajahku lagi. Sedikit bakal janggut menghiasi rahangnya, tapi tentu saja tidak ada yang bisa membuat Shaw bersaudara terlihat buruk. Bakal janggutnya malah membuatnya terlihat seperti model majalah GQ.
"Aku tahu kau masih mengingatku." Katanya tiba-tiba, "Kau memiliki kekebalan untuk kaum kami, eh?"
Kuhela nafasku lalu kulipat tanganku didadaku sepertinya, "Apa yang kau inginkan?" Rasa takutku pada Gregory yang dulu kini sudah menghilang. Ia bahkan tidak membuatku merasa terintimidasi sedikitpun, tapi kakaknya masih.
Ia kembali tersenyum menampilkan sebuah lesung di pipinya. Oh, Gregory Shaw seharusnya menjadi model, bukan pengacara. Tapi anehnya aku tidak tertarik sedikitpun padanya. Mungkin karena Ia dulu pernah menjadi mimpi burukku. "Aku hanya ingin memastikan..."
"Okay. Apa kau sudah selesai memastikan?" aku tidak ingin mengikuti permainannya, jadi aku tidak bertanya apa maksud kalimatnya. Senyuman di wajahnya semakin lebar, Ia terlihat seperti sedang bersenang-senang diatas penderitaanku, dan ekspresi di wajahnya membuatku merasa kesal.
"Sekarang aku mengerti mengapa Nick tidak bisa melepaskanmu dengan mudah."
Ha. Kakakmu sudah melepaskanku, bodoh.
"Kau ingin makan malam kapan-kapan? Aku akan pergi ke San Francisco bulan ini." Ia bertanya dengan wajah menyebalkannya, dan sepertinya Ia tahu Ia membuatku kesal.
"Tidak. Terimakasih, Mr. Shaw." Aku tersenyum tipis padanya, "Aku harus kembali." Gumamku.
"Apa yang Nick katakan saat itu?" senyuman di wajahnya memudar berganti dengan ekspresi serius, "Saat terakhir kalian bertemu."
"Sebaiknya kau bertanya langsung padanya." Jawabku dengan sedikit ketus walaupun aku tidak bermaksud melakukannya.
"Nick tidak mau menceritakannya padaku."
Aku menatapnya selama beberapa saat sebelum bertanya, "Apa yang sebenarnya kau inginkan?"
Ia membuka mulutnya untuk menjawabku tapi tiba-tiba kedua mata birunya beralih memandang sesuatu di belakangku. Lalu wajahnya membeku selama satu detik sebelum akhirnya Ia berbicara lagi, "Kau!" atau lebih tepatnya setengah berteriak, suaranya menggema di lobby hotel membuat resepsionis yang sedang berjaga memandang ke arah kami. Ia terlihat sangat marah.
Aku mengikuti arah pandangannya ke belakangku dan menemukan Lana yang berdiri beberapa meter dari kami. Ia terlihat pucat, ekspresi di wajahnya seperti seseorang yang sedang melihat hantu. Aku memandang mereka berdua bergantian. Keduanya belum memutuskan tatapan mereka, Gregory Shaw dengan ekspresi marahnya dan Lana dengan wajah pucatnya.
"Kau!" ulangnya, kali ini tidak sekeras sebelumnya. Lalu Ia berjalan melewatiku untuk mendekati Lana. Aku masih tidak mengerti apa yang sedang terjadi, mereka saling mengenal?
Lana melangkah mundur beberapa langkah, tapi Greg tentu saja lebih cepat dengan kakinya yang panjang. Ia menarik lengan Lana, mencegahnya kabur. "Kau tidak tahu berapa lama aku membuang-buang waktuku untuk mencarimu."
Lana membuka mulutnya untuk membalasnya tapi tidak ada suara yang keluar darinya. "Kau berbohong padaku." Suara Greg masih terdengar marah, tapi Ia tidak membentaknya. "Kali ini aku tidak akan membiarkanmu kabur lagi, kau mengerti?" kalimatnya terdengar seperti ancaman.
Lana memandangnya dengan tatapan panik, "Lepaskan aku."
"Tidak kali ini. Kau dan aku masih punya masalah yang belum diselesaikan. Dan kita akan membicarakannya semalaman." Jawabnya sambil berjalan menuju pintu keluar, Ia masih menarik lengan Lana. Aku hanya bisa menganga saat mendengar apa yang dikatakannya.
"Hey, tunggu dulu..." panggilku sambil berusaha mengejar mereka berdua, "Mr. Shaw! Apa yang kaulakukan?" Tapi Greg tidak menghentikan langkahnya sama sekali, Ia bahkan tidak menoleh ke arahku.
"Lana! Apa yang terjadi?" aku hampir menyusul mereka, Lana menoleh ke arahku, wajahnya yang panik membuatku merasa marah. "Mr. Shaw!" aku hampir berteriak di tengah jalan. Tapi Ia berjalan melewatiku begitu saja seakan-akan Ia tidak melihatku, mereka berjalan menuju parkiran mobil di sebelah hotel sementara Lana masih berusaha melepaskan cengkeramannya.
Setengah berlari dengan high heels yang kukenakan aku mengikuti keduanya. Greg membuka pintu sebuah Aston Martin lalu mendorong Lana masuk.
"Mr. Shaw! Lepaskan—"
"Ini bukan urusanmu, Eleanor." Tiba-tiba Ia berbalik menghadapku, wajahnya yang marah sesaat membuatku merasa sedikit takut. Tapi Lana lebih penting dari rasa takutku.
"Lepaskan Lana! Apa yang kaulakukan?"
"Jadi namanya Lana." Ulangnya sambil berjalan lagi ke arah pintu kemudi mobil.
"Hey!"
"Jangan mencampuri urusanku. Dan sebaiknya kau menjauhi kakakku juga jika tidak ingin terluka." Ia mengucapkan kalimat terakhirnya tanpa nada ancaman, tapi tetap saja mendengarnya membuatku membeku di tempatku. Ia membanting pintu mobilnya sebelum melaju pergi meninggalkanku di tempat parkir ini.
Lima menit kemudian aku baru menyadari handphone dan dompetku beserta kunci hotel kami masih berada di tas Lana.
Aku meminjam telepon dari meja resepsionis untuk menghubungi handphoneku dan handphone Lana, tapi tidak ada jawaban dari keduanya. Aku juga tidak bisa kembali ke hotel tempat kami menginap karena Lana membawa kuncinya, lagipula aku tidak ingin meninggalkannya sendirian bersama Gregory Shaw yang sedang marah.
Hanya ada satu cara.