(POV - Nicholas Shaw)
Greg terlambat lima belas menit.
Dan ini bukan yang pertama kalinya, seingatku Greg memang selalu terlambat.
Kuhela nafasku lalu mengalihkan pandangan bosanku dari jam tangan ke salah satu pintu restauran hotel Four Season. Kami memiliki jadwal makan siang bersama setiap beberapa minggu sekali. Awalnya Alice juga bergabung hingga akhir-akhir ini Ia jarang muncul, mungkin karena pekerjaan barunya.
Buku-buku jariku mengetuk meja yang berselimut taplak putih gading di depanku dengan tidak sabar. Aku lebih memilih menghabiskan siang ini di kantor daripada menunggu Greg di tempat ini, tapi makan siang ini adalah idenya. Sebuah vas kristal yang dipenuhi beberapa tangkai bunga mawar diletakkan di tengah meja yang kutempati. Pandanganku terpaku pada kelopaknya yang berwarna merah pekat, hampir seperti warna darah.
Darah yang hangat dan kental.
Kutelan ludahku untuk membasahi tenggorokanku yang kering. Kapan terakhir kali aku minum?
Ah, lima hari yang lalu.
Aku berhasil menahannya selama Lima hari. Rata-rata Volder hanya bertahan dua hari. Rekor terlamaku adalah satu minggu. Lalu setelah itu instingku akan bekerja secara otomatis untuk memburu darah manusia yang berada paling dekat denganku.
Volder adalah mesin pembunuh massal. Aku tersenyum pada diriku sendiri, tapi hanya ada perasaan dingin yang mengikuti senyumanku. Kali ini aku harus bertahan lebih dari satu minggu, tapi aku membutuhkan bantuan Eric untuk mengawasiku. Kupejamkan mataku sekilas untuk menikmati rasa terbakar di tenggorokanku. Tentu saja aku tidak mengatakan pada Greg tentang 'diet'ku akhir-akhir ini, Ia hanya akan merusak moodku dengan opininya yang menyebalkan. Lalu Ia akan menyalahkan Eleanor.
Memikirkan nama itu kini masih memiliki efek yang sama dengan setahun yang lalu.
"Eleanor, Eleanor, Eleanor." gumamku, masih menatap kelopak mawar di depanku.
Memanggil namanya selalu menimbulkan sensasi asing di dalam diriku. Aku menyukainya saat ujung lidahku menyentuh langit-langit mulutku jika menyebut namanya. E-le-a-nor.
Wajahnya selalu muncul saat aku memejamkan kedua mataku. Memori saat aku menciumnya menghantui mimpiku selama satu tahun belakangan ini. Bibir lembutnya yang penuh, kedua mata ambernya yang terkejut, nafasnya yang tertahan...
Kadang mimpi-mimpi itu berubah menjadi fantasi yang tidak dapat kukendalikan dalam tidurku. Aku bermimpi menyusuri rahangnya yang terlihat rapuh lalu menikmati dentuman nadi di pangkal lehernya. Salah satu tanganku menangkup wajahnya yang terpejam, sedangkan satunya menyusup ke dalam lautan rambut auburnnya yang lembut. Dan jika aku sedang beruntung dalam mimpi itu, aku bisa merasakan kulitnya yang hangat dan aroma nikmat darahnya yang menguar dari balik kulitnya.
Satu kali, aku juga bermimpi membenamkan kedua taringku ke dalam nadi di lehernya. Ujung taringku yang tajam menusuk kulitnya seperti pisau menusuk mentega, lalu darah kental mengalir ke dalam mulutku membuat seluruh tubuhku menegang dalam kenikmatan. Suara erangan Eleanor terdengar seperti musik terindah yang pernah terdengar di telingaku.
Saat aku terbangun, untuk pertama kalinya dalam 200-an tahun terakhir tubuhku terasa lebih hidup lagi. Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku merasa seperti itu, mungkin saat aku masih berumur 80 tahun. Setelah itu aku memutuskan untuk tidak minum darah langsung dari manusia lagi dan memilih untuk selibat.
Bagi Volder meminum darah langsung dari sumbernya adalah kenikmatan tertinggi yang tidak bisa digantikan. Untuk meningkatkan kualitas dan kenikmatan darah, biasanya mangsa kami harus merasakan emosi tertentu. Entah itu terror atau ekstasi. Biasanya kami memilih yang lebih mudah, yaitu ekstasi. Karena itu bagi kami seks dan makanan adalah satu paket yang sulit untuk dipisahkan.
Greg adalah satu-satunya yang berhasil memisahkan seks dan makanan. Aku tidak tahu bagaimana atau kenapa Ia melakukannya. Bagiku itu terlihat seperti siksaan.
Greg brengsek, pikirku lagi. Ia benar-benar terlambat. Seharusnya aku berada di kantor saat ini, paling tidak pekerjaan bisa mengalihkan pikiranku dari rasa hausku.
Aku berdiri dari tempatku lalu mengeluarkan dua lembar uang dan meletakkannya di meja. Kukancingkan jasku sebelum berjalan menuju pintu keluar, restauran ini tidak seramai sebelumnya karena jam makan siang yang sudah lewat. Seorang waitress mengucapkan terimakasihnya saat aku melewatinya.
Langkahku terhenti saat mendengar suara feminim yang tertawa kecil. Perlu waktu dua detik untuk meyakinkan diriku sendiri bahwa suara ini bukan hanya halusinasiku.
Aku tahu Ia sedang berada di Manhattan untuk menghadiri pernikahan salah satu teman kantornya, paling tidak selama dua hari. Eric masih memberiku laporan setiap kali dibutuhkan tapi Ia tidak memberitahuku acara pernikahan itu digelar di hotel ini.
Suara itu terdengar semakin dekat. Aku juga bisa mendengar suara Miss Morrel yang sedang berbicara. Terakhir kali aku bertemu dengannya secara langsung adalah 3 bulan yang lalu, kami berpapasan di depan butik Wine saat aku mengunjungi San Francisco. Tentu saja Ia tidak mengenaliku saat itu karena aku sudah menghapus ingatannya, Ia bahkan tidak melihatku sedikit pun.
Bellboy yang berdiri di depan restauran menatapku dengan pandangan bertanya tapi aku mengabaikannya. Perlahan kubalikkan badanku kembali menatap ke dalam restauran. Ia baru saja duduk di salah satu meja yang berada di seberangku. Kedua mata ambernya membalas tatapanku walaupun Ia sedang berbicara dengan Miss Morrel, aku tidak tahu sejak kapan Ia menatap ke arahku.
Untuk sesaat aku tidak bisa mengalihkan pandanganku darinya.
Rambut auburnnya yang bergelombang sedikit lebih panjang daripada tahun lalu. Aku selalu bertanya-tanya pada diriku sendiri seperti apa rasanya menyusupkan tanganku di antara helaian rambutnya. Berdiri di sini memandangnya walaupun hanya beberapa detik membuatku melupakan sekitarku. Ia masih terlihat sama, satu-satunya yang berbeda adalah... Ia tidak mengingatku.
Aku ingat saat pertama kali aku melihatnya. Ia selalu mengira kami bertemu pertama kali saat Ia hampir ditabrak. Tapi itu bukan yang pertama kalinya untukku. Pagi itu seharusnya aku berada di pengadilan, tapi Greg menggantikanku karena jadwal rapat yang sempit. Dan aku harus berterimakasih pada Greg. Jika Ia tidak menggantikanku mungkin aku tidak akan melihatnya pagi itu. Dan jika aku tidak melihatnya pagi itu, mungkin aku tidak akan bertemu dengannya dan menyelamatkannya sore itu.
Aku mengingatnya dengan sangat jelas, saat Ia berdiri di samping mobilku memandang ke sekelilingnya dengan pandangan sedikit tersesat sebelum akhirnya menatapku dari balik kaca mobil. Sesaat aku hampir berpikir Ia bisa melihatku, lalu aku mengingat kaca mobil SUV memiliki kaca berwarna hitam hingga tidak bisa terlihat dari luar. Ia menatap lurus ke arahku, kedua mata keemasannya terlihat jelas karena sinar matahari di luar. Amber. Aku belum pernah melihat warna mata secantik itu sebelumnya.
Selama beberapa saat aku hanya bisa menatap kedua matanya. Rambutnya yang berwarna coklat kemerahan diikat dengan rapi walaupun aku bisa melihat beberapa helainya terlepas. Tiba-tiba Ia tersenyum, untuk yang kedua kalinya aku berpikir Ia bisa melihatku. Ia memiliki sedikit ekspresi keras kepala di wajah anggunnya, tapi hal yang kontras itu malah membuatku tidak bisa mengalihkan pandanganku darinya.
Aku tidak pernah menilai wanita sebelumnya, dimataku semua manusia sama saja; mereka adalah sumber makanan. Tapi aku tahu Eleanor berbeda bahkan sejak pertama kali aku melihatnya. Ia adalah magnet bagi mahkluk sepertiku.
"Sir?" bellboy yang sebelumnya berdiri di depan pintu kini berada di sebelahku. Aku menoleh ke arahnya lalu tersenyum samar. Kubalikkan badanku meninggalkan restauran, meninggalkan suara Eleanor yang masih akan menggema di dalam kepalaku hingga beberapa jam ke depan.
***
Rasa terbakar di tenggorokanku terasa semakin menyakitkan. Eric masih berada di kantorku saat aku kembali. Wajah tanpa ekspresinya menyambutku bersamaan dengan setumpuk file baru. Tapi aku tidak ingin melihat file-file itu, tidak sekarang.
Kuhempaskan tubuhku di sofa kantorku lalu menyandarkan kepalaku ke belakang, "Eric aku membutuhkan darah." Nafasku mulai terengah-engah tanpa kusadari. Biasanya efek ini baru muncul setelah satu minggu, bukan lima hari.
"Katamu—"
"Kumohon." Potongku sebelum Ia mengingatkanku tentang 'diet'ku. Eric adalah butler dari keluarga Alice yang berasal dari Rusia, tapi dulunya Ia manusia. Setelah aku mengubahnya Ia bekerja untukku.
Selama hidupku aku hanya pernah mengubah 2 manusia, dan aku tidak pernah menyesal pernah mengubah Eric. Aku memberikannya kepercayaan penuh, sebagai balasannya Ia tidak pernah mengecewakanku sekalipun. Di dunia ini mungkin hanya Eric yang bisa membunuhku, selain Greg dan Alice tentu saja.
Eric memberiku sebotol penuh Wine campuran dari lemari penyimpanan di kantorku, aku meminumnya langsung dari botolnya. Rasa terbakar di tenggorokanku perlahan memudar setelah botol di tanganku kosong. Tapi rasa kosong yang ditinggalkannya di dalam dadaku belum memudar. Rasa itu tidak pernah memudar.
Greg muncul di kantorku satu jam setelah jam kantor selesai. Aku tidak mendongak sedikitpun saat Ia masuk, dan Ia tahu penyebabnya.
"Sorry, Nick." Gumamnya saat Ia duduk di depan mejaku. "Mereka menahanku, Paul memaksaku menemaninya minum."
"Paling tidak kau bisa menghubungiku." Jawabku tanpa mendongak dari pekerjaanku.
"Oh... Yeah. Sorry." Tapi Greg tidak terdengar menyesal sedikitpun. Ia tidak pernah menyesali sesuatu di dalam hidupnya. Kuhela nafasku lalu menatapnya setelah beberapa saat, "Eleanor ada di Manhattan."
Ia menyandarkan punggungnya di kursi sambil bersiul pelan, "Kau bertemu dengannya lagi?" Greg tidak tahu tentang permintaan Eleanor saat di rumah sakit. Ia tidak tahu Eleanor sudah tidak mengingatku lagi. Kami hampir tidak pernah membicarakannya setelah aku mengatakan pada Greg bahwa kami sudah tidak berhubungan lagi setahun yang lalu.
"Tidak. Ia datang ke Manhattan untuk menghadiri pernikahan."
"Kalian tidak saling menyapa?"
Kuangkat kedua alisku dengan pandangan kesal.
Greg tertawa kecil, "Well, itu memang ciri khasmu. Kau masih menganggap wanita hanya barang, eh?"
Aku tidak menjawab pertanyaannya. Karena Greg benar, aku tidak pernah menganggap wanita penting di dalam hidupku. Tapi itu dulu, jauh sebelum aku bertemu dengan Eleanor.
"Bagaimana kalau mengundangnya makan malam?" Tiba-tiba Greg bertanya. Kuhela nafasku lagi lalu menggeleng, "Ia tidak akan menerimanya."
Greg memandangku dengan sedikit curiga, "Apa yang sebenarnya kau lakukan hingga Ia membencimu, Nick?"
Membenciku? Lebih buruk dari itu, Ia sudah melupakanku.
"Aku sudah menghapus ingatannya." jawabku singkat. Kualihkan pandanganku pada berkas di tangannya. "Apa itu kasus Karpstak yang kuminta?"
Ia tidak menjawab pertanyaanku, perlahan Ia mengerutkan keningnya padaku. "Apa maksudmu? Kau menghapus pikirannya?"
"Ya." Jawabku dengan tidak sabar.
Greg kembali menatapku dengan ekspresi bingung. "Sejak kapan?"
"Satu tahun yang lalu. Greg, aku benar-benar membutuhkan filenya sekarang."
"Setahun yang lalu? Nick, apa kau yakin Ia melupakanmu?" tanyanya dengan ekspresi tidak enak.
Aku memandangnya dengan kesabaranku yang mulai menipis. "Aku bertemu beberapa kali dengannya... untuk mengetesnya. Ia tidak mengingatku. Bisa kita ganti topik sekarang?"
Tapi kerutan di keningnya semakin dalam setelah mendengar jawabanku. "Nick. Eleanor Ia tidak melupakanmu. Kau ingat saat aku menggigitnya?"
"Bagaimana mungkin aku melupakannya." jawabku dengan dingin.
"Aku menghapus pikiran Eleanor setelah menggigitnya." Kedua mata Greg menatap lurus ke arahku, "Tapi Ia mengingatku. Walaupun tidak sepenuhnya, tapi Ia mengenal suaraku, Ia bahkan masih bisa mengingat seluruh kejadiannya. Manusia lain tidak akan bisa mengingat sedikitpun."
Greg adalah salah satu Volder yang memiliki kemampuan terbaik dalam menghapus ingatan manusia.
"Apa kau yakin?" tanyaku dengan perasaan tidak enak. Tapi Eleanor tidak mengenaliku saat kami berpapasan di San Fransisco.
Bagaimana dengan siang ini saat kami bertemu? Kusandarkan punggungku ke kursi lalu memejamkan kedua mataku. Ingatanku kembali lagi saat kami berpandangan di restauran tadi siang. Pandangannya yang tidak beralih dariku...
Ia mengingatku.
"Nick..." suara Greg membuyarkan pikiranku. Ia sedang menatapku dengan wajah seriusnya, "Kau harus melepaskannya. Tidak peduli Ia mengingatmu atau tidak."
"Aku tahu." balasku dengan kesal.
Ia berdiri sambil mengancingkan jasnya, pandangannya berubah menjadi simpati. "Kau sudah berjanji, Nick." Gumamnya sebelum keluar dari kantorku. Aku menunggu hingga pintu kantorku tertutup sebelum mengambil botol Wine kosong di atas mejaku lalu melemparkannya ke dinding dengan marah.
Hai manteman!
Karena Volder pindahan dari watty~pad jadi ada revisi beberapa bab. Salah satunya yg ada tag "special chapter"
Isinya bisa beda POV atau chapter mengandung unsur 18++
Artinyaaa mature ratingnya sebentar lagi harus diganti, kalau ada yg keberatan bilang ya ♥️ aku butuh saran enaknya adain chapter dewasa atau nggak ?
Terimakasih untuk power stonenya & dukungannya selama iniw!