webnovel

Bab 1

Di penghujung musim dingin usia ketujuh belasku, Mom menyimpulkan aku depresi. Mungkin karena aku jarang keluar rumah, menghabiskan cukup banyak waktu di tempat tidur, bolak-,balik membaca buku yang sama, jarang makan, dan menghabiskan cukup banyak waktu luangku yang berlimpah itu untuk memikirkan kematian.

Setiap kali aku membaca buklet, situs web, atau apa saja mengenai kanker, depresi selalu disebutkan di antar efek-efek samping kanker. Tapi, sesungguhnya depresi bukan efek samping kanker. Depresi adalah efek samping sekarat. ( Kanker juga efek samping sekarang. Juga hampir semua hal lainnya, sungguh.) Tapi, mom yakin aku perlu diobati, jadi dia membawaku menemui Dokter Jim Langgananku, yang mengiyakan bahwa aku jelas berkubang dalam depresi yang melumpuhkan dan benar-benar klinis. Karenanya, obat-obatanki harus disesuaikan. Aku juga menghadiri pertemuan mingguan kelompok pendukung.

Kelompok Pendukung ini menampilkan para peserta yang berganti-ganti dalam berbagai keadaan tidak sehat gara-gara tumor. Mengapa para pesertanya berganti-ganti? Efek samping sekarat.

Tentu saja, kelompok pendukung ini sungguh membuat depresi. Kelompok itu bertemu setiap Rabu, di ruangan bawah tanah sebuah Gereja Episcopal. Ruangan itu berdinding batu dan berbentuk seperti salib. Kami semua duduk membentuk lingkaran tepat di tengah salib itu, dibtempat pertemuan dua papan yang membentuk salib, di tempat jantung Yesus berada.

Ini kuketahui karena Patrick, Pemipin Kelompok Pendukung dan satu-satunya orang yang berusia di atas delapan belas di dalam ruangan itu, bicara mengenai jantung Yesus dalam setiap pertemuan. Dia mengatakan betapa kami, sebagai para penyintas kanker muda, duduk persis di dalam jantung suci Kristus, apa pun itu

Jadi inilah yang berlangsung di dalam jantung Tuhan: Kami berenam atau bertujuh atau bersepuluh berjalan/ di dorong masuk di atas kursi roda, memakan berbagai kue yang payah dan minum limun, duduk membentuk Lingkaran Kepercayaan, dan untuk kesekian kalinya mendengarkan Patrick menceritakan kembali kisah hidupnya yang menyedihkan dan membuat depresi____ betapa dia menderita kanker di buah pelirnya dan mereka mengira dia hendak mati, tapi ternyata dia tidak mati. Dan kini di sinilah dia berada, orang dewasa sepenuhnya, di ruangan bawah tanah sebuah Gereja di kota ternyaman nomor 137 di Amerika, bercerai, kecanduan video, hampir tidak punya teman, mengais sedikit penghasilan dengan mengeksploitasi kehebatan kanker di masa lalunya, perlahan-lahan berupaya meraih gelar master yang tidak akan meningkatkan prospek karirnya, menunggu kedatangan pedang Damocles seperti kita semua untuk memberinya kelegaan yang luput darinya bertahun-tahun lalu itu, ketika kanker merenggut kedua buah pelirnya tapi meninggalkan apa yang hanya disebut kehidupan oleh orang paling bermurah hati.

DAN MUNGKIN KALIAN JUGA BISA SEBERUNTUNG ITU!

Lalu, kami memperkenalkan diri: Nama, Usia, Diagnosis. Dan bagaimana kabar kami hari itu. Aku Hazel, kataku ketika giliranku tiba. Usiaku enam belas. Mukanya kanker tiroid, tapi dengan koloni pendompleng yang mengesankan dan sudah lama bermukim di paru-oaruku. Dan, aku baik-baik saja.

Stelah kami semua mendapat giliran, Patrick selalu bertanya apakah ada yang ingin berbagi. Lalu, dimulailah lingkaran dukungan yang menjengkelkan itu semua orang bicara mengenai perjuangan, pertempuran, kemenangan, penciutan, dan pemindaian. Untuk lebih adiknya, Patrick juga membiarkan kami bicara mengenai sekarat. Sebagian besarnya akan hidup sampai mencapai kedewasaan, sama seperti Patrick.

Artinya ada banyak persaingan dalam hal ini. Semua orang bukan hanya ingin mengalahkan kanker itu sendiri, melainkan juga mengalahkan orang-orang lain di dalam ruangan itu. Kusadari bahwa ini tidak masuk akal, tapi ketika mereka mengatakan kau punya, katakanlah, dua puluh persen peluang untuk hidup selama lima tahun, matematikamj mulai bekerja dan kamu mulai menghitung kalau itu satu banding lima... jadi kamu melihat ke sekeliling dan berpikir, sama seperti yang akan di lakukan oleh orang waras mana pun. Aku harus hidup lebih lama dari pada empat bajingan-bajingan ini.

Satu-satunya penyelamat dari Kelompok Pendukung itu adalah anak bernama Isaac, cowok kerempeng berwajah muram dengan rambut pirang lurus yang menyapu sebelah matanya.

Dan, mata itulah yang menjadi masalah. Dia menderita kanker  mata yang luar biasa langka. Sebelah matanya sudah diambil semasa dia masih kecil. Kini dia mengenakan semacam kacamata tebal yang membuat matanya "baiknya yang asli maupun yang dari kaca" tampak besar secara tidak alami, seakan seluruh kepalanya bisa dibilang hanya terdiri dari mata palsu dan mata asli yang menatapmu ini. Dari apa yang bisa kusimpulkan pada saat-saat langka ketika Isaac berbagi dengan Kelompok Pendukung, kekambuhan telah membuat matanya yang tersisa berada dalam bahaya besar.

Aku dan Isaac hampir selalu berkomunikasi lewat desahan napas saja. Setiap kali seseorang membahas makanan antikanker atau mengisap sirip ikan hiu tumbuk atau apa pun, Isaac akan melirikku dan mendesah sangat pelan. Aku akan menggeleng-gelengkan kepala dengan sangan tidak kentara dan menghela napas sebagai jawaban. Jadi Kelompok Pendukung itu gagal mengikatku, dan setelah beberapa minggu aku mulai mati-matian menghindarinya. Sesungguhnya, pada Rabu perkenalanku dengan Agus Waters, aku berupaya sebisa mungkin untuk lolos dari pertemuan Kelompok Pendukung. Aku duduk di sofa bersama Mom, menonton episode ketiga America's Next Top Model musim sebelumnya yang disiarkan secara maraton selama dua belas jam. Aku memang sudah pernah melihatnya, tapi tetap saja.

"Aku tidak mau menghadiri pertemuan Kelompo pendukung."

"Salah satu gejala depresi adalah ketidaktertarikan untuk beraktivitas."

"Biarkan aku menonton America's Next Top Model saja. Itu kan aktivitas."

"Televisi adalah aktivitas."

"Ugh, Mom, ayolah."

"Hazel, kau remaja. Kau bukan anak kecil lagi. Kau perlu berteman, keluar rumah, dan bersenang-senang."

"Jika Mom ingin aku menjadi remaja, jangan kirim aku ke Kelompok Pendukung. Belikan KTP palsu supaya aku bisa pergi ke klin, minum Vodka, dan memakai ganja.'

"Pertama-tama, Ganjar bukan di-pakai."

"Nah, hal macam itulah yang akan kuketahui kalau Mom memberiku KTP palsu."

"Kau harus pergi ke pertemuan Kelompok Pendukung."

"Uuugggggggggggggggg."

"Hazel, kau berhak punya kehidupan."

Perkataan ini membungkam ku, walaupunaku tidak mengerti bagaiman menghadiri pertemuan Kelompo Pendukung bisa memenuhi definisi Kehidupan. Tapi, aku setuju untuk petgi_____setelah memohon pada Mom untuk merekam 1,5 episode ANTM yang akan kulewatkan.

Aku menghadiri pertemuan Kelompok Pendukung dengan alasan yang sama seperti aku dulu membiarkan para suster____ yang mengenyam delapan belas bulan pendidikan master______meracuniku zat kimia beranam eksotis. Aku ingin menyenangkan orang tuaku. Hanya ada satu hal di dunia ini yang lebih menyebalkan dari pada mati gara-gara kanker di usia enam belas, yaitu punya anak yang mati gara-gara kanker. Mom menghentikan mobil dibjalan melingkar di belakang gereja pukul empat lewat lima puluh enam. Sejenak aku beroura-pura sibuk dengan tangki oksigenku untuk mengulur waktu.

"Mau di bawakan?"

"Tidak, tidak apa-apa," jawabku. Tangki silinder hijau brmeratnya hanya beberapa kilogram, dan akubpunya kereta baja kecil untuk menyeretnya di belakangku. Tangki itu mengantarkan dua literboksigen untukku setiap menitnya melalui sebuah kanuka. Yaitu selang transparan yang bercabang persis di bawah leherku, melingkari bagian belakang masing-masing telingaku, lalu bersatu di lubang hidungku. Perkakas itu di perlukan karena paru-paruku payah sebagai paru-paru.

"Aku mencintaimu," kata Mom ketika aku keluar.

"Aku juga, Mom. Sampai nanti jam enam."

"Bertemanlah!" Ujar Mom lewat jendela yang kacanya di turunkan ketika aku berjalan pergi.

Aku tidak ingin memakai lift, karena memakai lift adalah jenis aktivitas Hari Terakhir di pertemuan Kelompok Pendukung, jadi aku menggunakan tangga. Aku meraih kue kering dan menuang limun ke dalam cangkir, lalu berbalik. Seorang cowo sedang menatapku.

Aku yakin sekali pernah melihat dia. Tubuhnya jangkun dan kurus berotot, membuat kursi plastik anak SD yang sedang di duduknya tampak kerdil. Rambutnya coklat kemerahan, lurus dan pendek. Kelihatannya dia sebaya denganku, mungkin setahun lebih tua, dan dia duduk dengan tulang ekor di pinggir kursi, posturnya jelek sekali, sebelah tangannya terbenam setengahnya didalam saku celana jins warna gelap.

Aku mengalihkan pandangan, mendadak menyadari berbagai kekuranganku. Aku mengenakan celana jins tua yang dulunya ketat, tapi kini kendur di tempat-tempat ganjil, dan T-shirt kuning yang mengiklankan band yang bahkan sudah tidak kusukai lagi. Rambutku di potong model bob, tapi aku bahkan tidak mau repot-repot menyisirnya. Selanjutnya pipiku gambil dan gemuk gara-gara efek samping pengobatan. Penampilanku sepertiborang yang berproporsi tubuh normal, tapi dengan kepala sebesar balon. Ini bahkan belum termaksud bengkaknya pergelangan kakiku. Tapi____ aku melirik cowok itu, dan matanya masih terpaku padaku.

Terpikir olehku mengapa ini disebut kontak

mata. Aku berjalan kedalam lingkaran, lalu duduk disebelah Isaac, berjarak dua kursi dari cowok itu. Kembali aku melirik. Dia masih mengamatiku.

Dengar, biar kukatakan saja "Dia seksi". Cowok tidak seksi yang terus-menerus menatapmu akan membuatmu canggung atau merasa terancam. Tapi, cowo seksi... wah

Aku mengeluarkan ponsel dan memencetnya agar menunjukan waktu empat lewat  lima puluh sembilan. Lingkaran itu dipenuhi anak kurang beruntung yang berusia antara dua belas sampai delapan belas tahun. Lalu, Patrick memulai dengan doa memohon ketenangan "Tuhan, beri aku ketenangan untuk meneriman hal-hal yang tidak bisa kuubah, keberanian untuk mengubah hal-hal yang bisa kuubah, dan kebijakan untuk mengetahui perbedaannya." Cowok itu masih menatapku. Aku merasa sedikit tersipu-sipu.

Akhirnya, kuputusakan bahwa strategi yang pas adalah membalas tatapannya. Lagi pula Urusan Tatap-Menatap bukan monopoli cowo. Jadi, aku memandangnya ketika untuk kesekian ribu kalinya Patrick menceritakan buah pelirnya yang hilang dsb., dan lomba menatap segera berlangsung. Setelah beberapa saat, cowok itu tersenyum, lalu akhirnya mata birunya mengalihkan pandangan. Ketika dia kembali memandangku, kenaikan alis untuk mengatakan, aku menang.

Dia mengangkat bahu. Patrick terus mengoceh, dan akhirnya tibalah saatnya untuk memperkenalkan diri. "Isaac, mungkin kau ingin menjadi yang pertama hari ini. Aku tahu kau sedang menghadapi saat yang sulit."

"Ya," ujar Isaac

"Aku Isaac. Usiaku tujuh belas. Tampaknya aku harus dioperasi beberapa Minggu lagi, dan setelahvitu aku akan buta. Bukannya mengeluh atau apa, karena aku tahu ada banyak mengeluh atau apa, karena aku tahu ada banyak diantara kita yang lebih buruk lagi, tapi ya, maksudku, menjadi buta memang agak menyebalkan. Tapi, pacarku membantu. Juga teman seperti Agustus. "Jadi, ya" lanjut Isaac. Dia memandangi kedua tangannya yang saling terjalin seperti puncak tenda. "Apa boleh buat."

"Kami berada di sini untukmu, Isaac," ujar Patrick. "Biarlah Isaac mendengarnya, sobat-sibat." Lalu, kami semua, dengan suara monoton, berkata, "Kami berada di sini untukmu Isaac."

Michael berikutnya. Usia dua belas. Dia menderita leukimia. Dia selalu menderita leukimia. Dia baik-baik saja. ( Atau begitulah yang dikatakan Dia tadi memakai lift.)

Lida berusia enam belas tahun, dan cukup cantik untuk menjadi sasaran mata cowo seksi itu. Dia anggota tetap____ sudah lama sembuh dari kanker usus buntu, yang sebelumnya tidak pernah dia ketahui keberadaannya____seperti yang diucapkannya setiap kali aku mengahadiri pertemuan kelompok pendukung____ dia merasa kuat, ketika ujing-ujung selang penyalur oksigen menggelitik lubang hidungku.

Ada lima orang lainnya sebelum tiba giliran cowok itu. Dia tersenyum kecil ketika gilirannya tiba. Suaranya rendah, memikat, dan luar biasa seksi. " Namaku Agustus Waters," katanya. Usiaku tujuh belas. Aku mendapat sedikit sentuhan osteosarkoma satu setengah tahun yang lalu, tapi aku hanya berada di sini atas permintaan Isaac."

"Dan bagaimana kabarmu?" tanya Patrick.

"Oh, luar biasa." Agustus Waters tersenyum dengan salah satu bibirnya. "Serasa berada di atas roller coaster  yang hanya meleset ke atas, Sobatku."

Ketika tiba giliranku, aku berkata, "Namaku Hazel, Usiaku enam belas tahun. Tiroid dengan metastasis di paru-paru. Aku baik-baik saja."

Jam berlalu dengan cepat perjuang diceritakan kembali, pertarungan dimenangkan di antar perang-perang yang pasti tidak akan dimenangkan; harapan digelayuti; keluarga dipuja dan dicerca; semua setuju bahwa teman-teman tidak bisa memahami; air mata ditumpahkan;  penghibur ditawarkan. Aku dan Agustus Waters tidak bicara lagi sampai Patrick berkata, "Augustus, mungkin kau ingin berbagi ketakutan dengan kelompok."

"Ketakutan?"

"Ya."

"Aku takut dilupakan untuk selamanya," katanya tanpa jeda sedikit pun. " Kekuatanku itu sama seperti orang buta yang takut terhadap kegelapan."

"Terlalu dini," ujar Isaac seraya tersenyum

"Apakah itu tidak berperasaa? tanya Augustus. "Aku bisa benar-benar buta terhadap perasaan orang lain."

Isaac tertawa, tapi Patrick mengangkat telunjuk untuk memperingatkan, dan berkata, " Augustus, ayolah. Maribkita kembali kepada diri-mu dan pergulatan-mu. Kau bilang kau takut dilupakan untuk selamanya?"

"Benar," jawab Augustus.

Patrick tampak kebingungan. " Adakah, uh, adakah yang ingin membahasnya?"

Sudah tiga tahun aku tidak menghadiri sekolah biasa. Orangtuaku adalah dia sahab terbaik. Sahabat terbaikku yang ketiga adalah penulis yang tidak mengetahui keberadaan ku. Aku agak pemalu____ bukan tipe yang suka mengakat tangan.

Tapi, sekali ini saja, kuputusakan untuk bicara. Aku setengah mengangkat tangan dan Patrick, yang jelas tampak gembira, langsung berkata, "Hazel!" Aku yakin dia mengira aku sedang membuka diri. Menjadi Bagian dari Kelompok.

Aku memandang Augustus Waters, yang balas memandangku. Kau nyaris bisa melihat menembus matanya yang begitu biru. " Akan tiba saatnya," kataku, "ketika kita semua mati. Kita semua. Akan tiba saatnya katika tidak ada lagi umat manusia yang tersisa untuk mengingat bahwa manusia pernah ada atau spesies kita pernah melakukan sesuatu. Tidak akan ada siapa pun yang tersisa untuk mengingatmu. Semua yang kita lakukan, dirikan, tuliskan, pikirkan, dan temukan akan terlupakan, dan semuanya ini"____ aku menunjuk sekeliling____"tidak akan ada artinya. Mungkin saat itu akan segera tiba, mungkin juga masih jutaan tahun lagi, tapi

Seandainya pun kita bertahan hidup dari kebinasaan matahari, kita tidak akan bertahan hidup untuk selamanya. Ada masa sebelum organisme mengalami kesadaran, dan akan ada masa selamanya oleh manusi, aku mendorongmu untuk mengabaikannya saja. Tuhan tahu, itulah yang dilakukan semua orang lainnya."

"Aku mempelajari ini dari sahabat terbaik ketigaku yang tadi kusebutkan, Peter Van Houten, penulis penyendiri yang menulis  Kemalangan Luar Biasa, buku yang bagiku sama berharganya dengan Alkitab. Peter Van Houten adalah satu-satunya orang yang kukenal yang seakan (a) memahami bagaimana rasanya sekarat, dan (b) belum mati.

Setelah aku selesai bicara, muncul keheningan cukup panjang. Aku mengamati senyuman yang mengembang lebar di wajah Augustus____bukan sedikit senyuman miring yang berupaya tampak seksi ketika menatapku itu, tapi senyum aslinya, yang terlalu lebar untuk wajahnya. "Astaga," ujar Augustus pelan. "Kau hebat."

Tak satu pun dari kami bicara di sepanjang pertemuan Kelompok Pendukung. Akirnya, kami semua harus bergandengan tangan, dan Patric memimpin kami dalam doa. "Tuhan Yesus Kristus, kami berkumpul di sini di dalam jantung-Mu, sebagai para penyintas kanker. Kau, dan hanya kau, yang mengenal diri kami sendiri . Bimbingan kami menuju kehidupan dan cahaya, melewati masa-masa pencobaan kami. Kami berdoa untuk mata Isaac, untuk darah Michael dan Jamie, untuk tulang Augustus, untuk paru-paru Hazel, untuk tenggorokan James. Kami berdoa agar kau bisa menyembuhkan kami dan kami bisa merasakan cinta-Mu, dan kedamaian-Mu, yang melampaui segala pemahaman. Dan di dalam hati, kami mengingat mereka yang kami kenal dan kami cintai, yang telah berpulang kepada-Mu: Maria, Kade, Joseph, Haley, Abigail, Angelina, Taylor, Gabriel..."

Itu dafta yang panjang. Dunia berisi banyak orang mati. Sementara Patric terus berbicara, membaca dari sehelai kertas daftarnya terlalu panjang untuk dihafalkan, aku terus memejamkan mata, berupaya memikirkan dia, tapi malah membayangkan hari ketika namaku ada di daftar itu, di urutan paling akhir ketika semua orang sudah berhenti mendengarkan.

Ketika Patrick selesai, kami mengucapkan Mantra konyol ini bersama-sama______ MENJALANI KEHIDUPAN TERBAIK KITA HARI INI____lalu pertemua n selesai. Augustus Waters bangkit berdiri dan berjalan menghampiriku. Gaya berjalannya miring, sama seperti senyumannya. Dia menjulang di depanku, tapi menjaga jarak agar aku tidak perlu memanjangkan leher untuk memandang matanya. "Siapa namamu?" tanyanya.

"Hazel."

"Bukan, nama lengkapnya."

"Em, Hazel Grace Lancaster." Dia hendak mengucapkan sesuatu yang lain ketika Isaack berjalan mendekat. "Tunggu," ujar Augustus seraya mengakat telunjuk, lalu dia berpaling kepada Isaac. " sesungguhnya itu tadi lebih buruk dari pada yang kau ceritakan."

"Sudah kubilang itu menjemukan."

"Mengapa kamu repot-repot datang?"

"Aku tidak tahu. Sedikit membantu?"

Augustus mencondongkan tubuh sehingga mengura aku tidak bisa mendengarnya. "Dia anggota tetap?" Aku tidak bisa mendengar komentar Isaac, tapi Augustus menjawab, "Aku setuju." Dia mencengkram bahu Isaac, lalu menjauh setengah langkah darinya.

"Ceritakan tentang klinik itu kepada Hazel."

Isaac menyandarkan sebelah tangannya pada meja kudapan dan memusatkan mata besarnya padaku."Oke, jadi aku pergi ke klinik pagi ini, dan mengatakan kepada dokter bedahku bahwa aku lebih suka tuli daripada buta. Dan dia berkata, 'Cafa kerjanya tidak seperti itu,'dan aku berkata,'Ya, kusadari bahwa cara kerjanya tidak seperti itu; aku hanya berkata lebih suka tuli daripada buta. Seandainya bisa memilih, walaupun kusadari tidak bisa,'dan dia berkata,'Wah, berita baiknya adalah, kau tidak akan tuli,'dan aku berkata,'Terima kasih atas penjelasanmu bahwa kanker mata tidak akan membuatku tuli. Aku merasa sangat beruntung karena orang yang maha cerdas seperti dirimu bersedia mengoprasiku."

"Kedengarannya dia seorang pemenang,"kataku. "Aku akan berupaya menderita semacam kanker mata supaya bisa berkenalan dengannya."

"Semoga beruntung. Baiklah, aku harus pergi. Monica sudah menunggu. Aku harus banyak memandangnya selagi bisa."

"Main kontra-Pemberontakan besok?" tanya Augustus.

"Pasti." Isaac berbalik dan berlari menaiki tangga, dua anak tangga sekaligus setiap kalinya.

Augustus Waters berpaling kepadamu. "Secara harafiah, "katanya.

"Secara harafia?" tanyaku.

"Secara harafia kita berada di dalam jantung Yesus,"katanya. "Kupikir kita berada di ruang bawah tanah gereja, tapi secara harafia kita berada di dalam jantung Yesus."

"Yesus harus diberi tahu, "kataku. "Maksudku, ini pasti membahayakan, menyimpan anak-anak penderita kanker di dalam jantung-Nya."

""Aku sendiri hendak memberitahu-Nya," kata Augustus, "tapi sayangnya secara harafiah aku terperangkap di falamjantung-Nya, sehingga Dia tidak akan bisa mendengarkan." Aku tertawa. Dia mengeleng-gelengkan kepala, hanya memandangku.

"Kenapa?"

"Tidak apa-apa,"jawabnya.

"Mengapa kamu memandangku seperti itu?" Augustus tersenyum kecil . "Karena kau cantik. Aku suka memandangi makhluk cantik, dan beberapa saat yang lalu kuputusakan untuk tidak mengingkari kenikmatan sederhana dari keberadaanku." Muncul keheningan singkat yang canggung. Augustus melanjutkan: "Maksudku, terutama mengingat bahwa, seperti yang tadi kau jelaskan secara begitu menyenangkan, semuanya ini akan berakhir ketika kita dilupakan dan lain sebagainya."

Aku setengah mengendus atau mendesah atau mengembuskan napas, seakan sedikit terbatuk, lalu berkata, "Aku tidak cant_______"

"Kau seperti Natalie Portman tahun 2000-an. Seperti Natalie Portman dalam V for Vendetta."

Belum pernah menontonnya," kataku.

"Benarkah?" tanyanya. "Gadis cantik berambut cepak yang membenci otoritas, dan tidak bisa mencegah dirinya untuk jatuh cinta kepada cowok yang diketahuinya mendatangkan masalah. Sejauh yang bisa kukatakan, itulah autobiografimu."

Setiap suku katanya menggoda. Sejujurnya dia sedikit membuatku bergairah. Aku bahkan tidak tahu kalau cowok bisa mengairahkanku____ setidaknya bukan dalam kehidupan nyata.

Seorang gadis kecil berjalan melewati kami. " Apa kabar, Alisa?" tanya Augustus. Gadis itu tersenyum dan bergumam, "Hai, Augustus."

"Rumah Sakit Anak," jawabku dengan suara lebih kecil daripada yang kuharapkan. Dia mengangguk. Percakapan itu tampaknya berakhir. "Wah," kataku seraya mengangguk samar ke arah anak-anak ymtangga yang membawa kami keluar dari Jantung  Harafiah Yesus. Aku memiringkan  kereta agar bertumpu pada roda-rodanya, dan mulai berjalan. Dia berjalan teroincang-pincang di sampingku. "Jadi, sampai jumpa di lain waktu, mungkin?" tanyaku.

"Kau harus nonton," katanya. Maksudku V for Vendetta."

"Oke," kataku. Akan kucari filmnya."

"Bukan. Nonton bersamaku. Di rumahku, "katanya. "Sekarang."

Aku berhenti berjalan. Aku nyaris tidak mengenalmu, Augustus Waters. Bisa saja kau pembunuh berkampak."

Dia menganggukan. "Benar sekali, Hazel Grace."

Dia berjalan mendahuluiku, bahunya memenuhi kaus polo rajutan hijau, punggungnya tegak lurus, langkahnya sedikit miring kekanan ketika dia berjalan dengan mantap dan percaya diri dengan menggunakan apa yang kuyakini sebagai kaki palsu. Terkadang osteosarkoma merenggut sebuah tungkai untuk menilaimu Lalu, jika menyukaimu, dia akan merenggut yang lainnya.

Aku mengikuti Augustus menaiki tangga, dan semakin ketinggalan ketika aku naik perlahan-lahan, karena tangga bukanlah keahlian paru-laruku.

Lalu, kami berada di luar jantung Yesus dan di tempat parkir, udara musim semi agak terlalu dingin, cahaya sore luar biasa menyakitkan.

Mom belum ada di sana, dan ini tidak biasa, karena Mom hampir selalu sudah menungguku. Aku melihat sekeliling dan melihat seorang gadis jangkung berambut cokelat tua dengan tubuh berlekuk sedang menjepit Isaac di dinding batu gereja, menciumnya. Mereka berada cukup dekat denganku dan aku bisa mendengar Isaac berakat, "Selalu," dan gadis itu menjawab, "Selalu."

Augustus, yang mendadak berdiri di sebelahku, setengah berbisik, "Mereka suka sekali menarik perhatian orang."

.

"Ada apa dengan kata 'selalu'?"

""Selalu adalah kata kesukaan mereka. Mereka akan selalu saling mencintai dan sebagainnya. Secara konservatif, kuperkirakan mereka telah saling mengirim SMS dengan kata selalu sebanyak empat juta kali sepanjang tahun lalu."

Dua mobil lagi datang, membawa pergi Michael dan Alisa. Kini hanya ada aku dan Augustus. Kami mengamati Isaac dan Monica. Lalu Augustus Waters merogoh saku dan malah mengeluarkan sebungkus rokok. Dia membukanya, lalu meletakan sebatang rokok di antara bibirnya.

"Kau serius?" tanyaku. "Menerutmu itu hebat? Astaga, kau baru saja merusak segalanya."

"Segala apanya?" tanyanya seraya berpaling kepadaku. Rokok itu mengandung, tidak dinyalakan, di sudut bibirnya yang tidak tersenyum.

"Segalanya, ketika seorang cowok yang tidak jelek dan tidak tolol dan dan kelihatannya oke menatapku, menunjukan penggunaan keliru kata 'harafiah', membandingkan ku dengan aktris, dan memintaku untuk menonton film di rumahnya. Tapi, tentu saja selalu ada hamartia, dan hamartia-Mu adalah: astaga, walaupun kau PERNAH MENDERITA KANKER, kau memberikan uangmu pada sebuah perusahaan untuk meraih peluang mendapatkan LEBIH BANYAK KANKER LAGI. Astaga. Biar kuyakinkan dirimu bagaimana rasanya tidak bisa bernapas itu. MENYEBALKAN. Sangat mengecewakan. Sangat."

"Hamartia?"  tanyanya dengan rokok masih berada di bibir. Tindakan itu membuat rahangnya menegang. Sayangnya tulang rahangnya luar biasa.

"Cacat fatal," jelasku seraya mengalihkan pandangan darinya. Aku melangkah ke pinggir jalan, meninggalkan Augustus Waters di belakangku. Lalu, aku mendengar sebuah mobil mendekat di jalan. Itu Mom. Dia sedang menungguku untuk berteman atau apa pun itu.

Aku merasakan munculnya campuran ganjil kekecewaan dan kemarahan di dalam diriku. Aku bahkan tidak tahu perasaan apakah itu, sungguh tapi perasaan itu sangat mendalam, dan aku ingin menonjok Augustus Waters sekaligus mengganti paru-paruku dengan paru-paru yang tidak payah. Aku berdiri dengan sepatu kets Chuck Taylorku berada persis di pinggir jalan, tangki oksigenku terikatverat di dalam kereta di sampingku dan, persis ketika Mom menghentikan mobil, aku merasakan adanya tangan yang meriah tanganku.

Kusentakan tanganku, tapi aku kembali memandang Augustus.

"Roko tidak akan membunuhmu, kecuali jika dinyalakan," katanya ketika Mom tiba di pinggir jalan. "Dan aku tidak pernah menyalahkan. Lihat, Ini antara gigimu, tapi tidak memberinya kekuatan untuk melakukan pembunuhan."

"Metafora," kataku bimbang. Mom berlama-lama.

"Metafora, "katanya.

"Kau memilih perilakumu berdasarkan gaung metaforisnya...." kataku.

"Oh, ya." Dia tersenyum. Senyum aslinya yang lebar dan konyol. Aku sangat mempercayai metafora, Hazel Grace."

Aku berbalik ke mobil. Mengetuk jendela. Kacanya membuka. "Aku mau nonton bersama Augustus Waters," kataku. "Tolong rekamkan beberapa episode siaran maraton ANTM selanjutnya untukku."

Bersambung...

***