Tak ada yang bisa menjelaskan tentang apa yang dialami Hazel siang tadi. Entah itu semua bagian dari bunga tidur, ilusi, atau hal lain yang tidak bisa dijelaskan secara nalar. Bertemu dengan sosok karakter novel yang digilai banyak orang dan diperlakukan bak puteri. Mendapati cerita novel yang memiliki alur sama persis dengan mimpinya. Sampai dengan menggenggam ikat rambut yang sempat diberikan Zaidan dalam mimpinya.
"Ikat rambutnya cantik, Mbak," seru sang supir taxi sambil tersenyum. Melirik kaca spion yang memantulkan wajah Hazel dikursi belakang.
"Terimakasih." Hazel mengangguk seraya memainkan ikat rambut ditangannya. Membiarkan rambut panjang bergelombangnya terurai begitu saja.
Sampai detik ini, Hazel masih berfikir keras memecahkan teori yang dibuatnya sendiri seharian ini. Tentang bagaimana caranya sebuah ikat rambut bisa ada dikepalanya, tanpa siapapun yang menyentuhnya. Mustahil jika dia membawanya dari alam mimpi begitu saja. Tak masuk diakal dan tak bisa dipecahkan dengan teori apapun. Walau Hazel memang menyukai cerita fiksi, tapi untuk mempercayai kalau dia bisa masuk kedalam sebuah novel. It's impossible.
"Suka baca buku ya, Mbak?" tanya sang supir saat melihat Hazel mulai membuka novel misterius itu kembali.
"I-iya, Pak."
Kening Hazel berkerut setelah melihat tanggal terbit novel. Dimana disana jelas tertera tanggal dan tahun yang terlihat mustahil. 7 Juni 2023. "Impossible," gumamnya tak percaya.
"Bukunya bagus, Mbak. Anak saya juga suka baca buku." Kening supir itupun mengerut dan seketika menginjak pedal rem. "Mbak?!"
Pria tua bernama Supratman itu terbelalak saat matanya tak lagi melihat keberadaan penumpangnya. Hazel menghilang begitu saja dengan meninggalkan barang-barangnya, termasuk novel yang terbuka di bab dua. "Astagfirullah!" teriaknya. Lekas turun dari kursi kemudi dan langsung memeriksa kursi penumpang bagian belakang.
~~~@~~~
Jakarta,2022.
Pukul 23:07:45 WIB
Tuhan baru saja menghentikan hujan, meninggalkan jejak genangan air disekitar gang-gang kecil di kota Jakarta. Minimnya lampu penerangan, suara tetesan air dari atap bangunan, dan juga sisa percikan petir yang kini masih terdengar dari kejauhan. Semua itu sukses membuat malam sunyi semakin terasa mencekam.
Berada ditempat asing yang sama sekali tak dikenal memang menakutkan. Bahkan saat ini lutut Hazel melemas, sadar kalau tubuhnya tengah berada dibawah langit malam. Seingatnya, beberapa saat yang lalu dia masih berada didalam taxi. Tapi, secara mengejutkan tiba-tiba saja tubuhnya merasaka dinginnya air hujan dan gelapnya langit malam.
"Apa lagi ini?" tanyanya entah pada siapa.
Hazel pun melipat bibir bawahnya kedalam. Menggerakan ujung matanya ke kanan dan ke kiri, menyusuri sudut-sudut remang disekitarnya. Beberapa kali Hazel terlihat mengerutkan kening saat mendengar suara langkah kaki tepat dibelakangnya.
Penerangan yang minim membuat kedua matanya bekerja dua kali lipat dari biasanya. Dan untuk yang kesekian kalinya pula, Hazel menoleh dan memutar tubuhnya untuk melihat sosok menyebalkan yang dirasa telah menguntitnya sejak tadi. Namun hasilnya tetap sama, tak ada satu sosok atau makhluk pun yang Hazel lihat disana.
Sunday is gloomy
My hours are slumberless
Dearest the shadows
I live with are numberless
Little white flowers
Will never awaken you
Not where the black coaches
Sorrow has taken you
Angels have no thoughts
Of ever returning you
Wouldn't they be angry
If I thought of joining you?
Seseorang memutar lagu Gloomy Sunday tak jauh dibelakangnya. Suasana yang awalnya sunyi, kini terasa kian mencekam saat suara berat pria ikut mengiringi Billie Holiday menyanyikan lagu Gloomy Sunday. Lagu yang terkenal dengan kisah kutukan kematian pada tahun 1940. Sebenarnya tak semua orang menganggap seram lagu ini, tapi bagi Hazel sendiri Gloomy Sunday memang terdengar menakutkan. Entah apa penyebabnya, Hazel merasa kalau dia memiliki kenangan buruk tersendiri dengan lagu ini.
Drrttt ... drrttt ... drrttt
Perempuan itu memutuskan untuk mempercepat langkah kakinya. Merogoh tas selempang berisi ponsel yang baru saja bergetar. Memasuki gang sempit dan gelap sambil berjalan menunduk. Tangannya bergetar, beberapa kali meleset saat hendak menerima panggilan telfon. "Siapapun kamu, tolong saya sekarang juga," bisik Hazel tanpa melihat nomor atau nama kontak yang tertera karena sibuk memeriksa keadaan sekeliling.
"Hentikan!" geramnya sambil melirik kearah belakang. Meminta seseorang untuk tak menyanyikan Gloomy Sunday, lagi.
Entah karena tuli atau pura-pura tuli, sosok bersuara pria itu sama sekali tak menghentikan alunan musik dan nyanyian dibibirnya. Dan untuk yang kesekian kalinya lagu itu diputar kembali, berulang-ulang dengan volume semakin tinggi, semakin memenuhi dan memekakkan gendang telinga siapapun yang mendengarnya.
"Zel, are you oke?" tanya balik seseorang diseberang telefon.
Suara pria yang didengarnya barusan berhasil membuat Hazel menghentikan langkahnya. Memeriksa nama kontak dengan tangan gemetar. "Zaidan?"
"Iya, ini aku. Kamu dimana sekarang?" Zaidan sedikit menaikkan volume suaranya. Terdengar jelas kalau pria itu tengah menyembunyikan rasa khawatirnya setengah mati.
"Zaidan, aku takut. Hiksss." Hazel menangis terisak. Semakin mempercepat laju langkahnya. Mendekap erat tas selempang didadanya.
Sosok misterius dibelakang semakin menambah volume musiknya. Berjalan cepat mengimbangi langkah kaki gadis cantik didepannya. Hingga langkah demi langkah itu kian berubah cepat seakan tengah berlari. Hazel pun tak lagi berjalan seperti biasanya, dia berlari cepat sekuat tenaga saat tahu sosok penguntit dibelakangnya hampir saja menggapai tubuhnya.
"Hazel," bisik suara anak remaja laki-laki. Suara yang pernah didengarnya didalam mimpi.
"I-iya?" Hazel mengerjapkan matanya. Suara yang terdengar sangat khas itu kembali mengisi telinganya. Entah dari mana asalnya, Hazel tidak peduli, karena dirinya sendiri memang sudah menanti dan merindukan suara indah itu.
"Lari!"
Kali ini Hazel mendengar intruksi seseorang yang memintanya berlari. Suara itu terdengar sama persis dengan milik remaja laki-laki yang mengisi mimpinya belakangan ini. Terdengar sangat khas, karena Hazel hafal betul kalau sosok malaikat tanpa nama itu merupakan remaja bule dengan logat Inggris yang sangat kental.
Langkah demi langkah terasa semakin ringan tanpa beban. Sekarang yang Hazel rasakan hanyalah melayang diatas tanah yang sudah basah karena air hujan. Dia lupa dengan teleponnya yang masih tersambung dengan Zaidan. Telinganya terasa tuli, dia tak bisa mendengar apapun selain bisikan seseorang yang terus memanggil namanya entah dari mana.
Brakkk!
Hazel ternganga dan langsung menghentikan langkahnya. Amarahnya meluap saat menyadari seseorang telah menepis ponsel ditelinga kirinya. Benda pipih itu jatuh berserakan, bersatu didalam genangan air hujan. Bahkan layar panggilan telefon yang menampilkan sosok pria tampan itu hilang seketika. Tidak hanya ponselnya yang malang, tangan kirinya pun ikut merasakan kebas saat menerima tangkisan keras dari tangan mistrius itu.
Duaarrr!!!
"Siapa kamu?!" teriak Hazel tepat setelah membalikan tubuhnya. Menatap sosok yang berada tepat didepan wajahnya. Bibirnya bergetar, rahangnya mengeras dan giginya bersatu saling bergesekan dengan geramnya. Kedua tangannya mengepal kuat. Teriakan kencang itu menggelegar berbarengan dengan suara petir yang memekakkan telinga. Hujan kembali turun membasahi kota Jakarta setelah sebelumnya reda.
Pria asing itu kini berdiri tepat didepan Hazel. Seseorang berpakaian serba hitam dengan tubuh basah kuyup bermandikan air hujan. Sosoknya terlihat misterius dengan setelan sangat tertutup. Terdiri dari celana panjang hitam, hoodie hitam dengan tudung yang menutupi kepala hingga sedikit bagian atas wajahnya, dan topi hitam yang sengaja dipasang lebih condong ke depan menutupi area matanya.
Penampilannya dirasa kurang lengkap tanpa kacamata hitam. Tapi disanalah daya tariknya, Hazel masih bisa melihat sepasang mata bermanik hitam yang menatap dirinya tajam. Meski Hazel kini tengah ketakutan, namun satu sisi dalam dirinya meminta untuk memberanikan diri dan melawan ketakutan yang dihadapinya saat ini.
"Si-siapa kau? Apa yang kau inginkan dariku?" tanya Hazel memberanikan diri. Kedua tangannya mengepal kuat. Lututnya melemas. Pandangannya mulai kabur karena air hujan yang menghalangi pandangannya.
"I'm your Prince, My Princess," ucap pria itu dengan suara serak. "Oh, no, no. I'm your monster." Meralat pengakuan akan jati dirinya sendiri.
"Jangan! Jangan mendekat!" pinta Hazel dengan suara gemetar. Menghentikan langkah kaki pria itu dengan kedua tangannya yang bergetar.
Sosok itu berseringai dibalik masker hitamnya saat melihat Hazel melangkah mundur ketakutan. "Jangan takut," katanya dengan suara lembut. Merogoh saku hoodie-nya dan mengambil sebuah benda berwarna silver yang mengkilap mirip seperti pisau lipat.
"Kenapa kau memintaku untuk menghentikan lagunya?" tanyanya dengan nada yang sengaja ditekankan. "Ini lagu kesukaanku. Dan aku tidak suka ketika ada orang yang membenci apa yang aku suka!" bentaknya kasar.
Hazel terguncang. Bahunya bergetar saat melihat sosok itu semakin agresif menggapai tubuhnya. Hazel memang tidak mengenalnya, tapi dia yakin kalau sosok didepannya ini sangat mengenali dirinya. Dan hal itu pula yang menjadi alasan utama Hazel memilih tidak pergi dan bertahan disana. Karena dia juga sadar, keputusannya kali ini bisa saja menjadi boomerang dan malah mengancam keselamatannya suatu saat nanti. Namun, perlu ditekankan sekali lagi, Hazel tetaplah Hazel, perempuan keras kepala dengan rasa ingin tahu dan tekad yang tinggi.
"Ayo, tunjukan identitasmu!" geram Hazel dalam hati.
Kini, pria itu terlihat tengah menggulung kain dibagian lengan dan menariknya sampai siku. Menunjukan tato dengan gambar daun tujuh ruas, ganja. Setelah itu, dia juga menyingkap tudung hoodie dikepalanya, melepas topi hitam itu secara perlahan untuk memperlihatkan rambut dan wajah bagian atasnya.
Brommm Brommm ....
Pria itu kembali menurunkan topinya dengan gerakan cepat, tepat setelah mendengar suara deru motor yang melaju kencang dari arah belakang. Keduanya menoleh ke sumber suara, dimana sebuah sepeda motor CBR250R dengan kombinasi warna hitam, putih, dan sedikit corak merah dibeberapa bagian, melaju kencang kearah mereka dengan sorot lampu yang menyala.
Brakkk!!!
Seseorang melompat dari sepeda motornya secepat kilat dan berjalan dengan gagahnya kearah Hazel. Membiarkan motornya meluncur begitu saja dan menabrak tubuh sang penguntit dari arah belakang. Seorang pria mengemudi moge dengan setelan kemeja putih, jas formal, dan sepatu pantofel hitam senada. Sosok itu juga terlihat memiliki tubuh yang sehat dan atletis. Mengenakan helm full face warna senada dengan motornya yang tergeletak beberapa meter didepannya.
"Pejamkan matamu!" pintanya. Menarik bahu Hazel dan memutarnya cepat. "Jangan palingkan pandanganmu dariku!"
Tangan besar sang pria menarik belakang kepala Hazel, memintanya untuk tak memalingkan pandangannya kemanapun selain padanya. Hazel gugup bukan main, dia sama sekali tak bisa bergerak apalagi sampai membalikkan tubuhnya. Pria itu mengunci posisinya, tak memberikan kesempatan pada Hazel untuk melihat sosok penguntit yang sudah tersungkur ditanah.
Dia, sang pahlawan berhelm bak power ranger, menghimpit tubuh Hazel hingga tersudut kedinding bangunan toko. Dia, sang pahlawan tanpa nama, membiarkan punggungnya basah karena air hujan. Melindungi tubuh kecil Hazel dari tetesan hujan dibelakangnya. Dan lagi-lagi satu adegan familiar muncul diepalanya, tentang satu-satunya mimpi yang terus berulang dan membekas kekal dikepalanya hingga kini. Hazel eyes.