Dewan berdiri sembari memegang beberapa lembar berkas. Delvis menyuruhnya untuk membawa berkas itu ke rumah sakit, karena harus dia pelajari lagi, sebab deadline-nya sebentar lagi, dan dia masih harus menjaga Zalfa. Maka, Delvis meminta Dewan membawakannya.
Figo masuk ke ruangan, dia akan melanjutkan pekerjaannya. Dia tidak bertegur sapa dengan Dewan. Bahkan Figo seolah tidak melihat Dewan. Berbeda halnya dengan Dewan yang merasa sedang dibodohi oleh Figo dan Zalfa saat ini. Dia masih belum lupa, pertanyaan Zalfa untuk Figo tadi saat di kamar inap perempuan itu. Figo merasa bahwa dirinya sedang diperhatikan oleh Dewan. Dia melirik tipis ke arah Dewan, dan benar saja. Lelaki itu belum juga memindahkan pandangan darinya.
"Lo pikir gue pisang, Lo liatin begitu?" Ini pertanyaan yang konyol. Mungkinkah Figo sedang bercanda saat ini? Mana bisa seperti itu.
Dewan hanya bisa bertepuk tangan dengan keras, lelaki itu mendekat ke arah meja Figo yang berisi segala peralatan menulis dan karton.
"Jadi Lo pernah ninggalin Zalfa?" Pertanyaan yang sangat menjebak untuk Figo, jika lelaki itu tidak pandai, artinya Figo bisa saja berbicara hal yang tidak seharusnya diketahui oleh Dewan. Figo tau, Dewan sedang mencari tau tentang dirinya dan juga Zalfa, serta sama lalunya juga.
"Di halte kemarin. Kenapa? Ada yang salah, bukannya Lo udah tau itu, Lo kan yang ngajak pulang Zalfa? Thanks ya. Sorry gue ngerepotin Lo. Harusnya kami pulang bareng." Jawab Figo santai, dan berhasil membuat Dewan geram. Bukan ini yang ingin dia ketahui.
"Teruslah berpura-pura, sampai semuanya terbongkar takdir, dan Lo manusia pertama yang mungkin akan sangat hancur Figo."
"Bukannya Lo yang selalu bersembunyi, pura-pura kesal, padahal sayang. Zalfa gak suka cowok pengecut."
"Iya, dia sukanya cowok kurang ajar kayak Lo, kita lihat aja akhirnya, siapa yang kira-kira akan tersenyum di akhir perjalanan ini."
"Gue udah punya pacar, gue gak mungkin milih Zalfa yang bukan siapa-siapa, kami hanya teman satu kantor. Lagipula, bener kata Lo. Kalau Lo jadi gue, jelas Ervina jauh dibandingkan Zalfa. Perempuan itu sangat lemah."
Dewan sudah mengepalkan tangannya kuat-kuat. Wajahnya juga menegang menahan kesal, dan marah. Padahal luka di wajah Figo saja masih basah, kenapa lelaki itu senang sekali membuatnya emosi, sehingga Dewan selalu ingin menghajar Figo.
Dewan keluar meninggalkan Figo, dia membanting pintu dengan keras.
Figo menatap kepergian Dewan, setelah lelaki itu benar-benar hilang dari pandangannya, Figo mengambil satu gelas berisi pensil warna-warni. Dia melemparkannya ke tembok. Figo butuh ketenangan, seandainya pekerjaan dia sudah selesai, sudah pasti lelaki itu diam di balkon atau di atap saat ini. Semua menjadi rumit, kala Zalfa sakit.
Dewan tidak langsung pulang, dia kan selalu punya baju ganti di mobilnya. Lelaki itu hanya membawa baju gantinya ke ruangan inap di rumah sakit tempat Zalfa dirawat.
"Kamu gak bawa makanan Dewan?"
Itulah kata yang terucap dari Delvis. Saat Dewan masuk ke dalam kamar inap itu.
"Hehe, tadi gak pesen Bang," jawab Dewan.
"Ya sudah, sini berkasnya. Saya mau bawa pulang dulu," ucap Delvis. Lelaki itu berdiri.
"Abang mau pulang?" Tanya Zalfa, perempuan itu tidak rela ditinggalkan.
"Iya, harus pulang dulu. Nanti kalau kerjaannya udah selesai, janji langsung ke sini lagi." Delvis memberikan penjelasan agar Zalfa tidak marah.
"Besok?" Tanya Zalfa lesu, dia khawatir jika ditinggalkan berdua saja bersama Dewan.
"Enggak kok, nanti malam aku ke sini lagi. Kamu jangan lupa istirahat, kalau dia mulai kumat, jangan ditanggapin."
Zalfa tersenyum, Delvis Juga. Mereka melihat ke arah yang sama. Membuat Dewan yang sedang di tatap merasa salah tingkah.
"Kumat apa? Emang aku kenapa?" Tanya Dewan. Dia tau sedang diledek, tapi jika baperan, semua menjadi tidak asik. Jarang-jarang juga Delvis bercanda, pasti ini semua untuk membuat Zalfa merasa lebih baik, Dewan tau itu.
Delvis tidak menjawab ucapan Dewan, dia malah membisikan sesuatu kepada Zalfa. Perempuan itu tertawa lepas. Dewan menatap mereka curiga.
"Terus aja, ketawa terus. Yang di sini mah patung, anggap aja kalau aku gak pernah datang, gak pernah bawain abang berkas ini. Gak ada semua ini bohong."
"Kamu kan biasa ada, tapi gak dianggap. Jangan marah dong," ucap Delvis, lelaki itu mengambil berkas, lalu keluar dari sana.
"Selama aku gak ada, kamu gak kasih Bang Delvis ramuan yang aneh-aneh kan?"
"Ramuan apa?"
"Ya, minum infusan misalnya?" Tanya Dewan dengan tampang yang waras, seakan pertanyannya adalah sungguhan.
Walaupun terkesan garing, Zalfa tetap tertawa mendengarnya.
"Bang Delvis masih waras begitu, dibilang minum infusan. Lo kayaknya yang kebanyakan minum tinta printan." Ledek Zalfa.
"Terserah, mau numpang mandi dulu."
"Emang air di rumah Lo kenapa?"
"Gak apa-apa, bawel deh. Emang Lo mau sendirian?"
"Oh... Lo, khawatir ya? Gak mau kalau sampai gue sendirian di sini."
"Coba ngomong sekali lagi, gue malah seneng liat Lo sakit, eh ternyata sakit enggak sakit sama aja bawel. Cepet sembuh deh," ujar Dewan.
"Makasih ya, udah sia-siain air mata Lo, buat nangisin gue," ucap Zalfa dengan tulus, dia terharu mendengar cerita dari Delvis bahwa Dewan begitu khawatir padanya.
"Jangan percaya diri, gue takut gak ada yang bawain sarapan lagi," ujar Dewan ketus. Dia menunda langkahnya untuk pergi ke kamar mandi.
"Siapa yang percaya diri, orang gue berterima kasih, dan merasa bersalah sama air mata Lo, bukan sama orangnya. Lagian, gue marah ya, Kenapa juga Figo sampai babak belur gitu pipinya. Lo mah gak asik, kasian tau, kadar kegantengannya jadi menurun."
Dewan menatap sendu Zalfa. Dia mencoba menutupi kesedihan atas apa yang sudah diucapkan perempuan itu. Padahal di sini, dia juga terluka, bahkan lebih parah dari Figo. Perut dan tulang keringnya juga masih terasa linu.
"Masih beruntung gak sampai gue masukin ke UGD." Dewan langsung masuk ke dalam kamar mandi, sebelum menyalakan keran, dia sempat mendengar suara Zalfa yang merintih kesakitan. Dewan langsung keluar lagi, dia berlari ke dekat Zalfa, dengan wajah yang sangat amat panik.
"Gak lucu!" Bentak Dewan yang tidak terima bahwa dirinya baru saja di-prank Zalfa.
Saat ini, perempuan itu tenang tersenyum lebar, sembari menahan tangan Dewan.
"Maaf ya, gue cuma mau bilang, Lain kali langsung masukin ruang ICU aja, kalau bisa sekalian bareng sama Lo, biar gue nangis, kepikiran, terus ikut sama kalian di ruang ICU."
Zalfa berkata dengan santai, tapi bermakna dalam. Dia ingin Dewan tidak lagi main fisik seperti ini. Figo dan Dewan bukan pilihan untuk Zalfa. Dia tidak bisa memenangkan salah satu diantaranya. Bagi Zalfa, arti mereka di hatinya jelas berbeda, tapi semuanya penting. Mana bisa, dia melihat kedua babak belur, hanya karena dirinya.
"Maafin gue, masih kecolongan terus, lagi-lagi Figo berhasil nyakitin Lo."
haii semuanya.. salam kenal ya.. jangan lupa support aku dengan berikan review teman-teman :) jaga kesehatan selalu ya.