Hari di mana pengacara dan notaris membacakan surat wasiat, semua orang berharap-harap cemas atas apa yang akan mereka dapatkan. Saat mendengar bahwa The Grand-Lady jatuh sakit, mereka rela meninggalkan kegiatan mereka sehari-hari dan terbang ke Perancis dari berbagai negara, untuk menjaganya. Semua orang berusaha menjadi yang terbaik, yang termanis, yang paling berpengertian. Semua orang ingin diakui sebagai yang paling disayang. Warisan apa yang akan masing-masing dari mereka dapatkan? Apakah Mansion megah? Jet pribadi? Hotel besar di Paris? Koleksi perhiasan? Segudang mobil? Tidak ada yang tahu. Satu hal yang pasti, mereka akan berusaha agar mendapatkan sesuatu. ----------------------------------------- Disclaimer : Ini adalah cerita asli, bukan terjemahan.
Agustus 2004, Fontvieille – Perancis
Ana O' Riain berdiri di pintu depan mansion, menatap mobil yang membawa kedua orang tuanya perlahan menjauh, keluar dari halaman. Anaïs Simon berdiri di belakang Ana, memperhatikan gadis itu. Ana tidak menangis, tidak pula berteriak, hanya terdiam menatap mobil yang sudah menghilang itu.
"Ana, ayo masuk." Ajak Anaïs.
Ana berbalik, menyambut tangan Anaïs, lalu keduanya masuk bersama diikuti oleh Hubert Martel, kepala pelayan. Anaïs membawa Ana masuk ke perpustakaan. Keduanya duduk berdampingan, Anaïs merangkul Ana.
"Mamamu sudah lama merencanakan ini. Kau tak apa-apa, kan?" kata Anaïs hati-hati.
"Iya, nenek. Kami sudah membicarakannya dan aku juga setuju." Jawab Ana pelan.
"Lalu mengapa kau terlihat sedih seperti ini?" Anaïs merasa sedih melihat Ana yang tidak secerah biasanya.
"Aku hanya baru saja menyadari bahwa jika papa dan mama juga pergi, rumah nenek terasa sangat sepi." Jawab Ana takut-takut.
"Di sini ada banyak pelayan, Ana. Kau juga bisa main sepuasmu tanpa ada yang menganggu, kan? Kita akan menghabiskan banyak waktu berdua. Oke?" bujuk Anaïs.
Ana hanya terdiam. Iya memintal-mintal pita yang ada di bajunya. Anaïs melihat hal itu sebagai ekspresi tidak nyaman.
"Ana, jika nanti sudah masuk sekolah, kita akan tinggal di Paris, di tempat yang ramai dan dekat dengan sekolah. Namun sebelum itu, kau mau kan, bertahan sebentar tinggal di sini hingga masuk sekolah nanti?" bujuk Anaïs lagi. Ana mengangguk pelan.
"Jika ada yang ingin kau pelajari, ada yang membuatmu penasaran, ada yang ingin kau buat atau makan, kita bisa melakukannya bersama-sama. Bagaimana?"
Ana mengangkat wajahnya menatap Anaïs. Ana bisa melihat betapa neneknya berusaha agar dia betah di rumah itu. Pandangannya kemudian menembus hingga ke rak buku di belakang neneknya.
"Apakah ini perpustakaan nenek?"
"Ini adalah perpustakaan keluarga kita, Ana. Sejak Kakek dan Nenek tinggal di rumah ini. Di perpustakaan ini, ada buku-buku kakekmu, buku-bukuku, dan juga buku-buku anak-anakku." Jelas Anaïs.
Ana memandang ke seluruh penjuru perpustakaan. Dia baru menyadari bahwa ruangan itu terasa hangat dan nyaman, seperti pelukan ibunya. Rak buku kayu yang bertingkat, perapian, sebuah meja besar yang berantakan, sofa empuk yang Ia duduki, meja yang bisa menaruh semua makanan kecil… Ana menyukai perpustakaan ini.
Selama ini, setiap kali liburan ke sini, Ana tidak pernah masuk ke perpustakaan ini, bahkan saat bermain petak umpet bersama para sepupunya. Waktu itu Ana masih kecil dan belum suka membaca. Rumahnya di Irlandia juga tidak ada perpustakaan, jadi Ana tidak terbiasa. Namun kali ini, melihat perpustakaan ini, entah mengapa Ana menyukainya.
"Nenek, jika aku tidak bermain keluar dan hanya membaca di sini, apa itu boleh?" tanya Ana takut-takut.
"Hm…" Anaïs pura-pura berpikir. "Tentu saja boleh!" serunya yang membuat mata Ana langsung berbinar. Gadis itu langsung tersenyum senang.
"Jika kau tidak berisik saat membaca, kau bisa menemai nenek bekerja di sini. Bagaimana?" tawar Anaïs yang dijawab dengan anggukan antusias dari Ana.
Anaïs memeluk Ana. Selama ini Ia hanya bisa mengawasi cucu-cucunya yang datang setahun sekali bersama orang tua mereka untuk berlibur bersama. Namun kali ini, Ia berkesempatan untuk merawat salah satu cucunya. Betapa kesempatan yang berharga.