webnovel

Cinta Satu Malam

"Dim— mas..." Renita melenguh panjang saat mencapai puncaknya.

Tangannya masih mencengkram kuat lengan kokoh Dimas yang masih mengungkungnya.

"Sudah?" Suara bariton Dimas membelai pendengaran Renita. Pria itu masih memompanya karena ia belum mencapai puncak nirwana.

Renita mengangguk sambil tersenyum. Dimas — pria yang ia kenal melalui grup chatting berhasil memuaskan dahaganya selama dua tahun ini.

Dimas kembali menggempurnya, pria ini punya stamina yang luar biasa. Entah sudah berapa kali mereka berganti posisi hingga akhirnya Dimas mendapatkan pelepasannya.

Pria itu berguling turun dari tubuh Renita, memagut sejenak bibir Renita, lalu mengucapkan terima kasih.

"Kamu luar biasa, Sayang," pujinya sembali melingkarkan tangannya pada pinggang ramping Renita.

"Kamu juga, Dim. Aku puas sekali." Renita memejamkan matanya. Merasakan sisa kenikmatan yang masih menggelitiknya.

"Kok Dimas, sih?" Pria yang lebih tua beberapa tahun dari Renita mengecup gemas pipi janda cantik itu.

"Sayang, mas atau apa gitu. Kita kan sudah pacaran."

Renita mengerutkan keningnya. "Loh emangnya kita pacaran?" Ia balik bertanya.

"Bukannya kita sudah sepakat? Hubungan kita hanya sekedar friend with benefit?" Renita memiringkan tubuhnya menghadap Dimas.

Dimas pria yang sempurna, parasnya bak dewa Yunani. Tubuhnya tegap dengan otot-otot terlatih. Ia juga termasuk pria yang sangat perhatian dan romantis.

Tetapi Renit belum siap menjalin komitmen dengan siapa pun. Ia masih menikmati kesendiriannya. Jika saja Renita tidak trauma, mungkin saja ia akan membuka hatinya untuk Dimas.

Sejauh ini baru Dimas lelaki yang mampu membuatnya kembali ingin merasakan sentuhan pria. Tetapi untuk memiliki komitmen, rasanya Renita belum siap.

"Aku terlanjur jatuh hati padamu, Ren." Dimas mengeratkan pelukannya.

"Aku tidak akan mengecewakanmu, aku janji," ucap Dimas penuh keyakinan.

"Tapi —"

"Sudah, nikmati saja. Cukup aku yang mencurahkan banyak cinta dan perhatian. Kau cukup diam dan menerima semuanya." Diman memotong Renita.

Dimas yang memang sedang ada pertemuan bisnis di Surabaya sengaja membuat temu janji dengan Renita. Wanita yang selama beberapa bulan ini menjadi teman kencan online-nya.

Berawal dari percakapan biasa, keduanya kemudian merasa cocok. Renita yang memang sudah sendiri sejak dua tahun silam merasa senang dengan perhatian Dimas.

Sampai akhirnya hari ini mereka bertemu untuk yang pertama kalinya. Berawal dari makan malam biasa, kedua kemudian mengakhiri hari dengan pergumulan panas di atas ranjang.

"Sudah, ayo tidur! Atau kau ingin satu kali lagi?" Dimas menggoda dengan menggesekkan senjatanya yang sudah setengah mengeras.

"Aku capek." Renita membalikkan tubuhnya. Membiarkan Dimas memeluknya dari belakang.

Pagi ini terasa berbeda bagi Renita. Jika biasanya itu terbangun seorang diri, kali ini ia bangun dengan memandangi wajah tampan Dimas.

"Ada apa, Sayang?" Dimas rupanya menyadari sejak tadi Renita memperhatikannya.

"Tidak ada! Hari ini kamu masih ada rapat, bukan?" Renita menyugar rambut hitam dan tebal Dimas.

Pria itu tidak ingin melewatkan momen bersama dengan Renita. Ia menarik Renita mendekat menempelkan wajahnya di dada Renita.

"Iya. Hanya sampai makan siang. Mau makan siang bersama?" Diman memainkan lidahnya di kulit Renita yang dingin karena sapuan AC.

"Dim —" Desahan Renita kembali meluncur. Matanya terpejam menikmati sentuhan Dimas saat lidah basah pria itu menggelitik titik sensitifnya.

Sentuhan Dimas benar-benar membuatnya gila. Mungkin karena sudah lama tidak merasakan sentuh lelaki, itu sebabnya setiap sentuhan Dimas mampu membakar gairahnya.

"Lagi, ya?" pinta Dimas.

Tidak perlu menunggu persetujuan Renita karena ia tahu wanita itu tidak akan menolak.

Kegiatan panas mereka kembali terulang. Desahan dan erangan mengisi kamar hotel yang Dimas sewa untuk beberapa hari ke depan.

"Kenapa, Sayang?" tanya dimas yang melihat Renita masih berbaring.

"Jangan panggil sayang, dong Dim. Aku belum siap punya hubungan lebih dari teman."

"Gak mau!" Dimas menolak dengan tegas. "Hanya milikku!" Ia menyesap leher Renita, kembali meninggalkan jejak kepemilikannya di sana.

Keduanya bersiap untuk urusan masing-masing setelah beristirahat beberapa saat. Dimas dengan pertemuan bisnisnya dan Renita dengan bisnisnya sendiri.

Renita seorang wanita mandiri. Janda tanpa anak yang memiliki usaha travel yang cukup berkembang.

Mungkin karena kemandiriannya itulah sedikit laki-laki yang bisa membuatnya tertarik. Posisi dan status sosialnya membuat para lelaki berpikir dua kali untuk mendekati Renita.

"Nanti kabarin aku kamu mau makan siang dimana." Dimas menyelipkan rambut ke belakang telinga Renita.

"Iya. Sukses buat meeting-nya. Semoga kamu bisa dapatin proyek ini." Inilah yang Dimas suka dar Renita. Wanita ini pandai memotivasi dirinya.

Sedang Dimas tidak pernah melarang Renita melakukan apa yang wanita itu suka. Baginya, selama yang Renita lakukan bisa membuat Renita berkembang, maka ia akan mendukung itu.

Hari bergerak sangat cepat bagi keduanya. Kini Renita sedang menunggu kedatangan Dimas.

Ia melambaikan tangannya saat melihat Dimas masuk ke dalam restoran. Tersenyum lebar pada pria yang masih ia anggap sebagai temannya.

"Maaf aku telat, Sayang. Macet banget. Gak kalah sama Jakarta." Dimas melepas jas dan dasinya. Memasukkan benda itu ke dalam tas dan menggantung jas pada sandaran kursi.

Renita terkekeh. Ia menyodorkan face towel pada Dimas untuk menyegarkan wajah teman dekatnya. "Minum? Soda?"

"Boleh. Kamu inget aja kalau aku suka soda."

"Inget dong." Renita memang mengetahui beberapa hal yang Dimas suka ataupun tidak dari chat yang mereka lakukan beberapa bulan terakhir.

"Kamu pesenin aku, ya Sayang. Apa aja, aku pasti bakalan suka. Aku ke toilet dulu." Dimas bangkit dari duduknya dan menuju toilet yang letaknya agak jauh dari meja mereka.

Renita membaca daftar menu sambil memilih makanan yang kira-kira Dimas suka. Ia tahu lelaki itu suka olahan daging dan tidak suka olahan ikan.

Ketika sedang asik memilih makanan, ponsel Dimas yang tertinggal di atas meja berdering. Awalnya Renita tidak peduli karena tidak ingin mencampuri urusan pribadi Dimas, tetapi kemudian ia terganggu karena suara dering ponsel Dimas tidak kunjung berhenti.

"Papa lagi sibuk ya?" Tanpa sengaja Renita membaca pesan yang masuk ke ponsel Dimas saat hendak menjawab telepon masuk.

Keningnya berkerut? Papa? Apa maksudnya ini?