8 Part 8

Kamis setelah istirahat pertama, Julian baru benar-benar merasa sepi. Di meja guru sudah terselip surat dispensasi dari klub basket tertanda nama Rizky Aksal Kurniawan. Julian menghela napas bosan, kelas kosong karena guru-guru mengadakan rapat. Tiga jam pelajaran Bahasa Indonesia itu harus kosong tanpa guru dan tanpa Kiki.

Hela napas Julian yang kesekian kali itu di dengar oleh Karina—salah satu teman kelompoknya. Jadi sebelum guru bahasanya itu rapat, beliau memberikan tugas berkelompok. Satu kelompok terdiri dari dua siswa. Tugas itu adalah meresensi buku atau novel dan minggu depan sudah harus dipresentasikan di depan kelas.

Karina mengernyitkan dahi melihat Julian tidak fokus. Ia berpikir mungkin saja Julian tidak setuju dengan buku pilihannya.

"Apa menurut lo kita ke perpus lagi aja ya, Jul?" katanya.

Julian langsung menatapnya, berpikir sebenarnya Karina ini cantik; matanya bulat, wajahnya tirus, rambut lurus dengan potongan bob dan poni ratanya. Juga kacamata jengkol di matanya itu membuatnya beberapa kali terlihat cerdas.

"Jul?" Karina melambaikan tangannya di depan wajah Julian.

"Kenapa?"

"Apa kita perlu ke perpus lagi?" ulang Karina—yang sebenarnya lebih suka dipanggil Ririn. Tapi sepertinya Julian tidak tahu soal panggilan itu. "Kayaknya lo nggak suka sama rekomen gue."

Julian mengambil novel tebal bersampul cokelat yang ada di mejanya. Membaca sinopsisnya di bagian belakang. Novel berjudul The Grail Conspiracy itu memang sempat dipilihkan Karina saat salah satu anggota kelompok diperintahkan guru untuk mengambil salah satu buku untuk diresensi di perpustakaan.

"Over all bagus kok sinopsisnya." Julian tersenyum ke arah Karina, senyum yang pertama kali dilihatnya dari pertama kenal cowok itu. "Lo udah baca?"

"Udah. Tapi temanya agak religius sih. Nggak apa-apa, 'kan?"

"Nggak apa-apa. Kan tugasnya cuma resensi doang," jawab Julian, mengangkat bukunya lagi ke atas. "Gue baca dulu, ya, bentar."

Karina mengangguk pelan, melirik ke arah Julian. Senyum cowok itu tadi membuyarkan atensinya. Astaga, kalau senyum saja bisa semanis itu, kenapa dari dulu ia tak pernah melihatnya? Kenapa Julian selalu terlihat diam seperti patung di kelas selama setengah semester mereka bersama?

Sebenarnya Karina tak mau mengganggu Julian membaca. Tapi jika mereka hanya terdiam berdua di bangku seperti ini, keadaan kelas riuh karena pelajaran kosong, entah kenapa tak membuatnya hilang dari kesunyian. Karena itu, Karina sepertinya harus mencoba mengajak cowok itu mengobrol—mungkin sedikit saja.

"Oh, ya, Jul ..." Begitu dipanggil Julian mendongak menatap Karina. Tatapannya seolah-olah bertanya 'Kenapa?' dan Karina menyadari. "Lo deket banget, ya, sama Rizky?"

"Dia itu sahabat gue," jawab Julian singkat.

"Oh ...."

"Kenapa?" Julian bertanya setelah matanya kembali ke lembar novel.

"Nggak apa-apa sih."

Jujur Karina bingung apa lagi yang harus ia tanyakan. Julian terlihat tak berminat menanggapi ucapannya. Ia takut Julian akan menganggapnya beban yang merepotkan. Memikirkan itu membuat Karina menghela napas.

"Lo suka sama Kiki?"

"E-eh? N-nggak kok!" Karina tergagap sambil menggeleng-geleng cepat. Julian meliriknya dari sudut mata.

"Iya juga nggak apa-apa."

Karina menundukkan kepalanya, entah kenapa perkataan Julian membuatnya merasa sedikit kecewa.

"Kiki ganteng kok, tinggi lagi, anaknya juga lucu," ujar Julian sambil terkekeh sendiri. "Gue kenal dia udah dari TK dulu."

"Oh, pantes," jawab Karina asal.

"Kar, gue baca di rumah aja ya. Di sini agak berisik. Nggak konsen."

Sebenarnya setelah Julian mengatakan itu, Karina agak tak enak hati, sepertinya ia juga baru saja mengganggunya membaca, kan? Julian tersenyum saat teman kelompoknya itu mengangguk. Lantas mengambil ponselnya yang bergetar. Pesan masuk dari Kiki.

Gue latihan sampe sore, Jul. Bawain tas gue ke tribun mau gak? Pukul 11:53

Dengan cepat Julian mengetikkan balasan untuk Kiki. Tiba-tiba ia sedikit khawatir. Tak lama kemudian bergetar sebuah balasan lagi. Julian bertaruh saat ini tim basket sekolahnya itu sedang beristirahat setelah latihan di hari yang panas. Ia bingung kenapa mereka tidak latihan di gedung olahraga saja? Minimal bisa berlindung dengan kanopi di atas. Lama-lama Julian kasihan dengan anak olahraga. Untung dia tidak suka olahraga.

"Baru diomongin langsung chat. Panjang umur," kata Julian tiba-tiba. Karina cuma mengernyit bingung. Lalu Julian menunjukkan HP-nya menunjukkan pesan dari Kiki. "Nih."

"Oh, iya, mau tanding basket mereka," jawab Karina sekenanya. Ia tak merasa benar-benar membahas Kiki dengan Julian. Menurutnya terlalu asing karena biasanya ia memanggil wakapten tim basket itu Rizky—bukan Kiki. Kalau teman yang sudah akrab mungkin saja memanggilnya Kiki. "Hm, by the way, nanti gue resensi di rumah trus kita cocokin, ya."

"Lo masih inget isinya?" tanya Julian.

"Inget kok, di perpus kayaknya masih ada bukunya, nanti gue pinjem lagi aja kalau lupa isinya."

Julian mengangguk-angguk mendengar jawaban Karina. Jujur saja, ia jarang berbicara panjang lebar dan mencari topik menarik dengan teman-teman selain Kiki—apalagi perempuan. Keheningan janggal itu membuat Karina sedikit tak nyaman.

"Boleh minta nomor HP lo?" tanya Karina.

"Gue catet aja nomor lo."

"Oh, oke." Karina lantas mengambil kertas kecil yang tak terpakai dan menuliskan nomornya. Bersamaan dengan itu bel istirahat kedua berbunyi. Ia cepat-cepat membereskan bukunya dan pindah ke bangkunya. Tapi sebelum itu, ia menoleh ke arah Julian. "Mau ke kantin bareng?"

"Nggak usah deh."

Karina mendesah kecewa. "Oke."

Julian memasukkan novel pinjaman perpustakaan ke tasnya. Istirahat kala itu tak membuat kelas sepi hiruk-pikuk. Bahkan sampai bel masuk, pelajaran Sejarah di mulai pada bab baru dan kedaan kelas mulai kondusif. Guru Sejarah mereka memang tipikal orang yang bisa mengatur suasana, akan tetapi Julian merasa hari ini tidak senyaman biasanya. Ketika bel berakhirnya pelajaran akhirnya berbunyi, Julian merasa lega luar biasa. Ini pertama kalinya ia bosan dengan yang namanya pelajaran.

Begitu guru cantik berjilbab yang mengajar pelajaran keramat itu keluar dari kelas, Julian langsung ikut membereskan tasnya dan tas Kiki. Berlari kecil menerobos beberapa murid yang baru keluar dari kelas masing-masing.

Sampai di ambang tangga, Julian berhenti sebentar mendengar keributan dari lantai lantai atas. Salah seorang dari mereka terlihat kesal karena dua orang lain mengejarnya dengan bertanya-tanyasekaligussambil membujuknya. Ia kenal orang itu—Adam.

"Nggak, nggak, gue nggak mau!" Adam berbicara tak acuh sambil menyingkirkan tangan seorang cowok yang agak tambun yang memegang bahunya. Berbeda dengan cowok yang agak kurus, ia menghalangi tubuh Adam yang terus berjalan ke bawah.

Julian tak ingat nama keduanya kecuali Adam. Karena saat itu ia duduk sebangku dengan cowok itu—ketika ia dan Hazel bertukar ruh. Ia mengikuti mereka agak cepat ke bawah. Terheran-heran di mana Hazel yang sejak tadi belum terlihat. Saat ia menyapu pandangannya, ia tak menemukan sosok itu.

"Lo harus selesain masalah ini. Jangan ngehindar terus!" teriak cowok tambun yang sesekali menabrak siswa lain karena mengejar langkah Adam yang cepat.

"Riko, ini bukan urusan lo!" Adam menjedanya sebentar sebelum melanjutkan, "Ini masalah gue sama Hazel!"

Begitu nama Hazel disebut, Julian langsung mendapat virus ingin tahu yang lebih kuat. Ia berhenti di balik pilar di lantai bawah, tepatnya di depan mading. Percakapan mereka lumayan jelas, karena jarak mereka tak jauh.

"Kalau lo kabur gini, lo kayak banci yang lagi dikejer-kejer kamtib dong, Dam!" seru cowok kurus yang langsung mendapat pelototan dari Adam.

"Sejak kapan ini bukan urusan gue?" kata Riko. "Alay, lo pada!"

"Jadi maksud lo, gue yang salah?" balas Adam.

"Siapa yang bilang gitu? Gila kali lo!" jawab Riko ketus.

"Lah, trus? Salah gue? Salah keluarga gue? Salah temen-temen gue?" tambah cowok kurus dengan santainya. Tangan Adam langsung menarik kerah bajunya dan si empunya hanya mengangkat tangan menyerah.

"Selow dong!" kata cowok kurus itu—Julian masih mengingat-ingat namanya—sampai Riko menarik tangan Adam dan menyentaknya.

"Nggak usah kasar gitu! Gue sama Hari dari tadi udah ngomong baik-baik!"

Ah, iya, Hari.

"Elah, masalah cewek doang," tambah Hari yang makin ke sini merupakan biang kekesalan Adam yang memuncak.

"Aneshka itu sahabat gue dari kecil, Ri," katanya lirih sekali.

"Lo ketemu Hazel dulu, ngomong baik-baik," bujuk Riko. "Hazel pasti punya alesan kenapa dia mutusin Aneshka."

Mendengar informasi itu,Julian tersentak. Ia mulai memahami inti dari keributan mereka dan mendesah lega ketika pertengkaran mereka sepertinya mulai mereda. Ia kagum pada Riko dan Hari. Menurutnya kalau dilihat sekali saja, Adam itu bukan tipe orang yang pemarah. Tapi mungkin sekali saja amarahnya terpancing, ia akan menjadi sangat menyeramkan. Tatapannya benar-benar dingin.

"Bilangin sama Neshka dong, jangan terlalu cinta, sakit, 'kan?" Hari menambahi.

"Sekarang yang butuh siapa? Dia yang harusnya nemuin gue kalo emang mau ngomong. Ngapain nyuruh-nyuruh lo. Apa lo itu babunya Hazel?"

"Hazel nggak bisa!" jawab Riko.

"Kenapa? Dia tuh takut sama gue, Rik! Buktinya dia nggak masuk, 'kan?"

"Ngapain dia takut, dia—"

"Nyokapnya sakit, makanya dia nggak masuk hari ini." Riko memutus ucapan Hari.

Untuk sesaat udara di sekitar Adam menghilang. Cowok ganteng dengan kumis tipis di bawah hidungnya itu terlihat kesulitan menyembunyikan keterkejutannya. Tapi ia dengan cepat menguasai keadaan. "Konyol!"

Adam menutup telinga dari kenyataan yang disampaikan Riko. Ia hanya menerima bahwa Hazel memang takut bertemu dengannya karena kejadian di rumah Aneshka kemarin. Cukup sudah ia menahan diri untuk melarang Aneshka dekat dengan Hazel. Kini ia sudah punya alasan kuat untuk menjauhkan keduanya.

Ketika Riko dan Hari mengejar Adam. Julian langsung berlari ke tribun. Ia tersenyum ketika Kiki melambaikan tangan ke arahnya. Sahabatnya itu langsung berlari ke tribun dan menyelesaikan latihannya setelah izin dengan teman yang lain.

"Thanks, Jul," katanya setelah menangkap tas yang dilempar Julian. Ia juga mendapat minuman dingin dan beberapasnackdari sahabatnya itu. "Eh, mau langsung pulang?"

"Iya, gua capek," jawab Julian langsung berbalik dan menuju parkiran mengambil sepedanya. Sebenarnya hari ini ia berniat melihat latihan terakhir Kiki sebelum turnamen, tapi sepertinya ada hal lain yang mengganggu pikirannya.

Maka ia segera membawa kakinya menuju ke rumah Hazel dan mengetuk pintu dengan tidak sabaran. Setelah hampir sepuluh menit ia mengetuk pintu, tak ada tanda-tanda pintu akan terbuka. Tak ada juga tanda-tanda bahwa tiga sekawan tadi pergi ke rumah Hazel. Lalu ia tersadar kenapa ia tiba-tiba mendadak khawatir pada Hazel?

"Ngapain lo di sini?" Suara yang dikenal Julian membuatnya terhenyak. Ia menoleh ke mana asal suara itu berada. Julian mendapati dirinya membatu tanpa bisa mengucap sepatah kata pun. Itu Hazel. "Julian?"

Julian seperti terseret dari alam bawah sadar. Yang dilihat Julian pertama kali setelah jarak mereka menipis adalah mata Hazel yangmengantuk, rambut berantakan dan wajah gantengnya yang kuyu.

Sementara Julian diam tak merespon, Hazel memilih mengambil kunci di kantung celana dan mulai membuka pintu rumah. Ia mempersilakan Julian masuk terlebih dulu, kemudian menyusul. Hazel langsung masuk ke kamar dan beberapa menit kemudian kembali ke ruang tamu.

Baru saja ia duduk, Julian bertanya, "Nyokap lo sakit?"

Hazel mengangguk. "Masuk rumah sakit."

"Sakit apa?"

"Terlalu capek," jawab Hazel sambil meminjat pangkal hidungnya. Lalu merebahkan kepalanya pada sandaran sofa. "Semalem tiba-tiba dadanya sesak," lanjutnya.

Julian membentuk mulutnya menjadi huruf O tanpa suara.

"Trus nginep di rumah sakit?"

Mendengar pertanyaan itu, Hazel langsung menatap Julian tidak mengerti. Bukan karena pertanyaan itu salah, tapi mengenai Julian dengan keingintahuannya yang aneh, membuatnya bingung.

"Lo tau dari mana nyokap gue sakit?" tanyanya tanpa menjawab pertanyaan Julian.

"Tau aja, denger-denger."

"Iya, nginep," jawab Hazel sambil memejamkan mata lagi. "Tadi cek keseluruhan badan. Hasil lab keluar besok."

Kedua remaja itu diam dalam pikiran masing-masing. Sedetik kemudian Julian sudah menatap Hazel yang tengah memejamkan mata dan deru napasnya teratur.

"Lo udah makan?"

"Belom."

Julian menghela napas karena sudah menduga jawaban itu. Lalu ia bangkit dan berjalan ke dapur tanpa meminta persetujuan pemilik rumah.

"Lo mau ngapain, Jul?" teriak Hazel dari ruang tamu.

"Masak," balas Julian dengan teriakan juga.

"Hah?" Hazel bergumam pelan lalu tersenyum. Ia merebahkan kepalanya lagi di sandaran kursi.

Hampir setengah jam Hazel terdiam di situ. Matanya lelah, dan tubuhnya pegal sekali. Di rumah sakit tidak ada tempat tidur. Ia terjaga semalaman menunggu ibunya duduk di kursi. Belum lagi perutnya yang demo minta makan sampai harus ia abaikan. Tiba-tiba bunyi piring pecah terdengar dari arah dapur. Hazel terkesiap dan langsung menuju ke sana. Ia melihat Julian jongkok dan memunguti pecahan-pecahan piring.

"Sorry, tangan gue licin," katanya sebelum Hazel bertanya.

Hazel langsung menyambar sapu di dekat lemari kaca dan menyuruh Julian berdiri.

"Kalau pake tangan entar malah luka," ujarnya sambil menyapu. Julian lantas menuju wastafel dan mencuci tangannya sementara menunggu Hazel. Julian memerhatikannya sampai Hazel melirik ke meja dan terkikik pelan. "Lo masak telor ceplok?"

"Abis cuma ada telor," jawab Julian.

"Lo laper?"

"Nggak sih."

"Trus ini?"

"Buat lo," jawab Julian sambil mengarahkan matanya ke piring. "Kan lo belom makan."

Hazel tertawa sangat geli sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu ia mengambil sebuah sendok dan menarik kursi untuk menyantap telor ceploknya. "Asin," gumamnya. "Lo mau makan nggak?"

"Nggak."

"Ini barengan sama gue."

"Nggak, makasih. Nggak laper."

Lalu terdengar suara aneh dari perut Julian. Hazel tertawa keras. Kemudian ia beranjak menuju kulkas, mengambil dua telur, sayur kol, wortel dan satu mie instan dari dalam bufet bagian atas. Satu persatu ia mulai mencampur bahan-bahan yang diambilnya.

"Lo duduk aja dulu," pintanya pada Julian. "Makan telor ceplok doang mah nggak kenyang."

Julian menuruti Hazel dan matanya tak lepas dari pergerakan Hazel. Sedetik pun.

Hazel mengocok dua telur itu dengan gerakan memutar dengar garpu. Lalu ia memasukkan sayur kol dan wortel yang sudah diiris kecil bersama beberapa bumbu. Sambil menunggu mie yang direbus matang, ia mencuci wajan yang tadi sudah ditaruh di wastafel oleh Julian—habis dipakai untuk menggoreng.

Gerakan-gerakan tubuh Hazel tak luput dari pengawasan Julian. Pemuda introvert itu terdiam sambil sesekali melipat mulutnya ke dalam. Ia tidak tahu apa yang dilakukannya, tapi ia sangat menikmati. Sejujurnya ia ragu soal keahlian masak Hazel, toh, dirinya sendiri hanya bisa membuattelur ceplokyang terkadang suka gosong.

Tak lama kemudian masakan Hazel sudah matang. Ia memindahkan masakan yang disebutnya omelet mie itu ke dalam piring. Mengambil satu buah garpu, saus dan mayonais. Mulut Julian mendadak kering. Ia langsung minum.

"Ayo, makan," suruh Hazel.

Julian mengambil garpu dan memotong bagian kecil untuk dimakan olehnya. Hazel langsung tersenyum. "Enak."

Sementara Hazel mengambil alih telur buatan Julian dan melahapnya dengan nikmat. Dahi Julian mengerut bingung ketika Hazel malah memilih telurnya yang asin tersebut. Mungkin lain kali Julian tidak akan menambahkan banyak garam lagi. Jika ia tahu ada mie instan di sana, ia juga pasti memilih memasakkan mie. Tapi, ini aneh, kenapa Julian tiba-tiba memasak untuk Hazel?

Setelah banyak pertimbangan akhirnya Julian mengiris separuh omeletnya dan menaruhnya ke piring Hazel. "Lo 'kan laper juga."

Hazel melahap omelet sumbangan dari Julian dan mengerang nikmat.

Setelah mereka berdua menghabiskan sajian itu, akhirnya keduanya kembali ke ruang televisi. Hazel duduk bersebelahan dengan Julian pada sofa yang cukup untuk dua orang dewasa. Pikiran keduanya melayang entah ke mana hingga ruangan itu hanya terdengar embus napas mereka. Julian memerhatikan Hazel dari samping yang tengah memejamkan mata. Ia berani menduga bahwa kakak kelasnya itu memang lelah dan kurang tidur.

Julian tiba-tiba menimbang apakah harus menanyakan soal berita yang didengarnya atau tidak. Karena bagaimanapun maksud dirinya datang kemari salah satunya adalah masalah itu. Sampai akhirnya ia beranikan diri untuk bertanya,

"Lo putus sama Aneshka?" tanya Julian, sadar diri kalau ia lancang. Julian tahu pertanyaan tadi membuat mata Hazel terbuka dan kaget. "Dan ... berantem sama Adam?"

Julian menduga bahwa Hazel akan marah karena pertanyaan itu, tapi yang terjadi justru kebalikannya. Mata Hazel menatap seakan-akan tengah memohon dan sudut matanya agak berair. Julian tak bisa menduga itu karena kantuk beratnya atau karena hal lain.

"N-nggak apa-apa sih kalau lo nggak mau cerita," lanjutnya.

Tiba-tiba sudut mata Hazel sudah berair. Dialihkannya pandangannya ke arah lain. Hazel tahu Julian pasti sudah melihat; ia menangis. Pikirannya terlalu penuh, hatinya membengkak seolah ingin meledak.

Sejak kapan ia mulai menjadi cowok yang cengeng? Sejak ia melihat perselingkuhan ayahnya? Ketika perceraian orang tuanya? Ketika Adam membencinya atau ketika ibunya sakit? Saat pikirannya campur aduk membuatnya sulit mengeluarkan suara, sebuah usapan lembut terasa di bahu kanannya. Bisik gumam yang menenangkan masuk ke indera pendengarannya. Ia tak menolak, bahkan ketika wajahnya bertabrakan dengan perut seseorang yang rata.

Hazel terbawa suasana. Menarik ujung baju Julian yang tengah membenamkan kepala Hazel ke perutnya sendiri. Hazel tak menyadari sejak kapan posisi Julian sudah berdiri di hadapannya. Ia hanya tahu bahwa ia mulai memeluk pinggang Julian dan menangis di sana.

"Gue capek, Jul. Capek banget."

Tbc ....

avataravatar
Siguiente capítulo