webnovel

Lesser Earth Dragon

Tengah hutan Death Valley.

Hari menjelang malam, rombongan Putri Sravati terlihat sedang berjalan mengikuti seorang pria berambut putih di depan mereka.

Seorang pria yang tampak berjalan santai sambil menggendong sebuah peti kayu besar di punggungnya. Peti kayu tersebut tadi telah diisi oleh pria tersebut, Cien, dengan berbagai material monster yang dianggap berharga olehnya.

Selain material kecil seperti taring dan organ dari para serigala yang telah dimasukkan ke dalam peti. Cien juga meminta dua orang dari kelompok Sravati untuk menggendong dua mayat monster serigala tersebut.

Dua orang tersebut adalah Jamie dan Legia yang secara keseluruhan tidak terlihat banyak luka di tubuh mereka. Keduanya hanya kehabisan mana yang membuat mereka tidak dapat bertarung bila ada ancaman datang.

Namun, karena nyawa mereka telah diselamatkan Cien, maka mereka tidak berani menolak permintaan pria berambut putih tersebut. Dan memaksakan diri menggendong mayat yang beratnya sekitar ratusan kilo.

Putri Sravati yang berjalan tepat di belakang Cien masih belum dapat percaya dengan pria yang ada di depannya itu. Tidak hanya kekuatannya mampu membunuh belasan monster serigala dengan mudah, namun identitasnya sebagai pemilik toko yang ada di Death Valley pun membuat kepala Sravati kebingungan.

Iya, Sravati tahu tentang Cien, karena sewaktu Cien mulai mengumpulkan material-material dari monster serigala, dia meminta bantuan kelompok Sravati agar tidak memakan waktu.

Sravati tentu bertanya tentang tujuan Cien mengumpulkan bahan-bahan tersebut, yang dijawab dengan santai oleh pria itu kalau dia membutuhkannya untuk dibuat senjata atau aksesoris dan akan dijual di tokonya.

Lalu ketika Legia bertanya tentang keberadaan tokonya. Dengan mudahnya, Cien hanya menjawab.

"Di Death Valley."

Jawaban yang membuat keempat orang lainnya itu tertegun membeku. Mereka tidak tahu apakan Cien itu sedang bercanda atau tidak. Namun, melihat raut seriusnya ketika membelah perut serigala dengan pisau, mereka berempat tidak bisa membantah jawaban lelaki itu.

Sekarang Sravati dan rombongannya mengikuti Cien menuju ke toko yang diberitahukannya tadi. Masih ada keraguan dalam diri Sravati tentang keberadaan toko itu, karena mau dipikir seperti apapun, mendirikan sebuah toko di tempat yang hampir tidak dilalui orang adalah tindakan yang bodoh.

Oleh karenanya, walaupun mereka merasa berterima kasih dan taat mengikuti langkah Cien. Dalam hati Sravati dan kawan-kawannya, mereka masih meningkatkan rasa kewaspadaan akan pria berambut putih tersebut.

Pandangan Putri Sravati hampir tidak lepas dari punggung atau lebih tepatnya peti mati yang digendong oleh Cien. Dia melihat setiap gerak-gerik Cien dengan seksama, sambil sekali-kali memperhatikan sekelilingnya dan ketiga rekannya yang lain.

Sravati lalu melirik ke arah Ian, yang dengan luka berat di kakinya, pria paruh baya tersebut dengan teguh tetap menggendong mayat Opey bersamanya.

Ian tidak mau membakar mayat rekannya tersebut di tempat tadi, dan memilih membawanya. Sebisa mungkin dia ingin membawa mayat Opey ke tanah Huntara.

Sravati hanya bisa melihat dengan tatapan simpati, matanya agak berlinang mengingat pengorbanan penjaga pribadinya itu. Kalau Opey tidak bergerak melindunginya tadi, maka mayat dialah yang akan digendong oleh Ian saat ini.

Melihat mayat itu, Sravati kembali mulai menyesali pilihannya untuk kembali ke Huntara dan menghiraukan perintah dari orang tuanya. Namun, dia sudah keburu terjun dan bisa dibilang telah setengah jalan untuk kembali. Sravati sudah tidak bisa mundur lagi.

Tidak berangsur lama, langit jingga berubah gelap. Keadaan hutan di sekitar mereka pun berubah drastis seketika.

Hawa semakin mencekam, dan suhu dingin mulai terasa menusuk kulit. Cien mengeluarkan lampu magis yang baru saja dibeli di Wynteria. Menyalakan lampu tersebut lalu melihat gelap hutan di kejauhan sana yang tampak mencekam.

Cien mengerutkan keningnya, instingnya berkata ada sesuatu yang buruk di depan sana. Di menghentinkan langkahanya, lalu mengangkat tangannya. Mengisyaratkan keempat orang yang mengikuti untuk berhenti.

"Ada apa, Tuan Cien?" Tanya Sravati yang tubuhnya tampak gemetaran sejak hutan menjadi gelap gulita.

"Ada sesuatu di depan sana," Cien lalu membuka ponselnya, melihat arah yang ditunjukkan aplikasi untuk mencapai tokonya, alis Cien semakin mengerut. Arahnya telah benar, namun perasaannya berkata kalau ada bahaya besar di depan sana.

Cien mendesah lemas, lalu pada akhirnya memilih jalan memutar. Walaupun dia memilik panah dan Fire Glove yang bisa melindunginya. Cien tidak mau gegabah dan maju ke suatu bahaya dengan mudahnya.

Cien mempercayai instingnya yang telah diasah di Death Valley selama sepuluh tahun.

Sravati dan yang lain tidak mengerti mengapa tiba-tiba Cien berbelok ke arah lain. Namun mereka yang tidak tahu menahu soal Death Valley hanya bisa mengikuti. Cien pun yang ada di depan sana kembali mematikan lampu magisnya. Membuat keempatnya menjadi sulit untuk berjalan.

Ian yang khawatir akan tuan putrinya, ingin meminta Cien untuk berhenti dan memilih beristirahat untuk hari ini. Karena dia merasa berjalan di Death Valley malam-malam bukanlah ide yang bagus.

Namun sebelum dia sempat menyuarakan pendapatnya. Legia yang berada di belakangnya, tiba-tiba berhenti dan melihat ke belakang dengan wajah yang gugup.

"Ada sesuatu di belakang kita…"

Legia memperingatkan, membuat langkah yang lainnya berhenti. Termasuk Cien, yang berbalik dan mengikuti arah pandangan dari Legia.

Walaupun insting Cien sudah terasah selama sepuluh tahun. Dia tetaplah hanya seseorang dengan tingkat kekuatan Rank 2. Indra perasanya masih jauh dibandingkan dengan Legia yang berada di Rank 4, sehingga dia telat menyadari kalau sosok yang tadi dikhawatirkannya ternyata ikut mengikuti.

"Tampaknya dia mengikuti kita," gumam Cien, yang seketika menurunkan peti mati yang digendongnya.

Cien mengeluarkan busur dan anak panah dari dalam peti mati tersebut, lalu mulai menyuruh yang lainnya untuk bersiap meladeni sosok yang akan datang.

"Siapa yang mengikuti kita?" Tanya Putri Sravati yang semakin gugup, tongkat sihirnya mulai diangkat, dan dia mulai memusatkan mana di ujung tongkat sihirnya tersebut.

"Aku tidak tahu. Tapi aku tahu kalau sosok ini lebih berbahaya dari pemimpin serigala yang kalian hadapi tadi."

"!!!"

Mereka yang mendengarnya sontak terkejut. Kecemasan semakin timbul di dalam diri Sravati dan kawan-kawannya.

Dum dum dum dum

Suara langkah kaki yang berat semerta terdengar di telinga masing-masing. Kelima manusia menaikkan senjata masing-masing, bersiap menyambut musuh yang datang.

Tanah di bawah mereka serta merta bergetar mengikuti irama langkah kaki yang berat tersebut. Hingga tidak butuh satu menit, hingga kelima manusia tersebut dapat melihat sosok yang berlari dengan inten membunuh ke arah mereka.

Sosok yang tingginya bisa mencapai tujuh meter dengan taring tajam dan dua kaki besar yang berlari kencang dan dua tangan kecil di badannya.

"Monster apa itu?"

"..."

Jamie berteriak histeris melihat makhluk yang menyerang mereka. Sedangkan Cien hanya bisa melihat dengan mata yang terbuka lebar. Karena menurut sepengetahuannya, monster yang ada di depannya itu adalah seekor T-rex.

'Huh? Bukankah ini dunia fantasi? Kenapa ada makhluk purbakala di tempat seperti ini?!'

"Roarrrrr!!!"

Makhluk dengan bentuk T-rex itu menerjang dengan cepat. Cien menembakkan anah panah dengan dengan inti mana ke arah monster tersebut.

Anak panah menyala membara membentuk burung lalu menerjang monster yang datang. Monster tersebut seketika terselimuti oleh api, namun sedetik kemudian monster tersebut dengan mudahnya keluar dari kobaran api tersebut.

Hanya terdapat beberapa luka bakar kecil di tubuh T-rex tersebut. Merasakan panas yang luar biasa, monster tersebut semakin mara. Dia kemudian menginjakan kakinya ke bumi. Membuat retakan di permukaan bumi yang mengarah ke kelompok manusia.

Cien dan yang lainnya pun meloncat menghindar. Namun T-rex tersebut tentu tidak tinggal diam, dia langsung menerjang Jamie yang meloncat cukup jauh dari kawan lainnya.

Jamie menahan terjangan kepala dan taring T-rex dengan pedangnya. Namun sayangnya kekuatan monster tersebut jauh melebihi dirinya, dan dengan sekali dorongan, Jamie terlempar jauh menabrak dan menumbangkan enam pohon.

"Jamie!!"

Legia berteriak cemas, namun saat ini perhatian monster tersebut ada padanya. Dia tidak bisa mengalihkan perhatiannya untuk saat ini. Legia dengan sigap mempersiapkan tombaknya, ketika T-rex tersebut menerjang, dengan lompatan yang terlihat ringan, perempuan tersebut melompat menghindar lalu berputar di udara dan menusukkan tombaknya tepat di atas kepala T-rex.

Sayangnya, hasil yang diharapkan tidak terjadi. Bukannya ujung tombak tersebut dapat menembus kulit kepala monster, namun malah ujung tombak yang pecah berkeping-keping.

"Goddamnit! Seberapa kuat monster ini?!"

Legia yang telah kehilangan senjatanya, mendarat di pundak monster, lalu melompat tinggi ke dahan pohon yang tidak jauh darinya.

Di sisi lain, Ian yang hanya bisa diam tanpa berkutik, menoleh ke belakangnya di mana sang putri berada.

"Tuan Putri! Mari lari dari sini!"

"Apa?! Bagaimana dengan mereka?"

Ian menekan gigi-giginya lalu dengan nada yang agak kesal berkata, "Monster ini terlalu kuat, kita semua habis cepat atau lambat. Lebih baik kita pergi selagi Legia dan Jamie menyibukkan monster tersebut!"

"Apa kau gila?! Kita tidak bisa membuang mereka!"

"Tentu kita bisa! Mereka diperintahkan Kolonel Kataleya untuk menjamin keselamatan Tuan Putri!" Ian meyakinkan atasannya dengan mempererat genggamannya pada bahu Sravati. Sungguh, Ian tidak mau kehilangan nyawanya di sini, di tempat di mana dirinya tidak bisa dikenang oleh keluarganya.

Tidak jauh dari mereka, Cien yang sedang mengambil foto T-rex dengan ponselnya, untuk mengetahui info monster tersebut, mengerutkan keningnya ketika mendengar ucapan Ian tadi.

'Kolonel Kataleya…?'

Nama Kataleya tidak asing di telinga Cien, mendengar nama tersebut muncul berbagai pertanyaan di pikirannya. Namun untuk saat ini, monster di depannya lebih penting daripada pertanyaannya saat ini.

Cien melihat hasil data dari ponselnya yang menyatakan kalau monster tersebut adalah Lesser Earth Dragon, seekor monster yang mempunyai sedikit darah naga di dalam dirinya, dan untuk saat ini kekuatan monster tersebut adalah Rank 7 Kelas Menengah.

'Heh, Death Valley memang tidak mengecewakan. Walau hanya sekadar Lesser, naga tetaplah naga.'

Cien memasukkan ponselnya ke saku, lalu menurunkan busurnya. Anak panah yang dimilikinya saat ini tidak akan mampu membunuh monster di Rank 7. Jadinya, dia hanya punya satu cara.

Empat keping inti mana di Fire Glove-nya menyala. Cien memperhatikan Lesser Earth Dragon yang tengah sibuk berkutat dengan Legia yang lincah meloncat kesana kemari.

"Oi, wanita monyet! Giring monster itu kemari!" Titah Cien yang tidak mengingat nama wanita yang sedang meloncat dari batang pohon ke batang pohon lainnya itu.

Legia yang mendengar itu seketika geram.

"Siapa yang kau panggil wanita monyet?!"

"Diam, giring saja dia kemari!"

Cien lalu mengaktifkan sihir yang terekam di Fire Glove. Seketika lingkaran sihir besar hadir di depan Cien. Lingkaran sihir tersebut tidak sebesar yang diperlihatkan Cien di Wynteria, namun kekuatannya tetap sama, hanya saja lebih terpusat.

Melihat lingkaran sihir tersebut, Legia, Sravati dan Ian yang melihatnya seketika merinding. Mereka dapat merasakan kekuatan luar biasa yang akan dihasilkan oleh lingkaran sihir tersebut.

Legia dengan segenap kekuatannya meloncat-loncat cepat ke tempat Cien berada. Ketika dia melewati pria berambut putih tersebut, dia dapat mendengar suara Cien yang melepaskan sihirnya.

"[Ignite]."

Whooosh! BOOOM!