Sementara itu, mereka berdua baru saja beranjak dari tempat duduk lalu berjalan beriringan menuju parkiran. Fadil pun teringat Sarah memakai baju yang sama setiap hari, lalu dia berencana untuk membelikan Sarah baju hanya saja dia tidak tau ukuran yang pas untuknya. Kemudian dia meminta Dimas, untuk menemaninya mengunjungi sebuah toko baju di samping Mal Ramayana Karawang. Kebetulan, disana sedang ada diskon besar-besaran dan sekalian jalan-jalan.
Sesampainya di toko baju, Fadil pun melihat-lihat berbagai jenis style baju wanita dengan bandrol bertuliskan lima puluh persen. Dimas pun bingung melihat temannya meminta pendapat mengenai selera baju wanita.
"Fad elu mau nongkrong di lampu merah?"
"Ya enggalah gila, gue mau belikan baju untuk adikku." Jawab Fadil.
"Memang berapa ukuran baju adikmu?" tanya Dimas kembali.
"Entahlah, yang jelas adikku memiliki tinggi yang sama denganku."
"Kalau begitu pilih yang ini saja, bisa di pakai untuk bersantai juga menghadiri acara penting. Jadi dua dalam satu solusi," usulnya sembari memberikan jempol.
Selesai memilih baju, Fadil pun langsung membayarnya lalu dia pamit kepada temannya untuk pulang. Dimas, ingin sekali berkunjung ke rumahnya yang baru namun Fadil menolaknya dengan seribu alasan. Sebab dia tidak tau, alasan apa yang harus dia berikan jika Dimas bertemu dengan Sarah. Kemudian dia menaiki motornya lalu melaju hingga sampai rumah. Sesampainya di rumah, dia melihat Sarah sedang mengepel lantai teras depan rumahnya.
Sarah menoleh ke arahnya, lalu dia meletakkan kain pel dan dia berjalan mendekati Fadil yang sedang menuntun motornya. Secara mengejutkan, gadis itu memeluknya hingga membuat Fadil salah tingkah.
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Fadil dengan raut wajah memerah.
"Menyambut kesayanganku pulang," ucapnya sembari mengelus pundaknya dengan kepala layaknya seekor kucing.
"Sayangku manja sekali, nanti di cium nangis."
"Coba saja kalau berani," tantang gadis itu padanya.
Fadil menuntun motornya, hingga ke depan terah rumahnya dan tak lupa menguncinya terlebih dahulu sebelum masuk ke rumah. Sembari berjalan gadis itu memeluk lengannya sangat erat, sedangkan Fadil menjadi salah tingkah karenanya. Selesai mengganti celana, Fadil duduk bersila di ruang tengah sembari menikmati nasi kangkung, serta tempe orek kering buatan Sarah. Dia merasa apa yang di lakukan oleh Sarah berlebihan. Hubungannya terasa, seperti pasutri yang baru menikah.
Kebohongan, yang pemuda itu di jalani membuat dirinya sempat lupa diri.Hubungan mereka berdua hanyalah sepasang kekasih kontrak. Namun, ada satu hal yang tak bisa mereka bohongi adalah rasa nyaman juga perasaan yang mereka berdua saling ungkapkan. Lihainya dalam memasak, menghasilkan sebuah kelezatan sehingga Fadil berhenti mengunyah. Sepintas ide usaha, melintas dari pikirannya namun dia tidak tau apa yang harus di sajikan dan bagaimana caranya untuk menjual.
Sementara itu, Sarah melihat kesayangannya sedang melamun membuat dirinya penasaran dengan apa yang sedang di pikirkan. Dan juga dia penasaran, bagaimana dengan kegiatannya di kampus lalu dia pun bertanya.
"Bagaimana kegiatan OSPEK hari ini sayang apa terjadi sesuatu?"
"Bisakah kamu tidak memanggilku sayang?" melirik ke arahnya dengan tersipu malu.
"Kenapa?" tanya karena penasaran.
"Bisa-bisa gula darahku naik, karena kamu memanggilku sayang."
"Biarin biar kamu diabetes sekalian," candanya.
"Bisa saja kamu. Sesampainya di sana aku terlambat, tak sengaja aku menabrak temanmu yang berambut putih."
"Jadi kalian satu kampus?" tanya Sarah memotong pembicaraan.
"Iya, soal kelas aku belum tau siapa tau dia kelas malam."
Melihat wajahnya di tekuk, membuat Sarah tersenyum seribu bahasa lalu dia berkata bahwa dia pasti akan bertemu dengannya. Fadil melanjutkan ceritanya, selama kegiatan OSPEK berlangsung termasuk apa yang gadis berambut putih itu katakan. Kejujurannya membuat Sarah terdiam, sembari memeluk lengan kirinya dan tak lupa untuk tersenyum. Fadil merasa tidak enak atas apa yang dia katakan, sekilas dia teringat Sulastri arwah penasaran sebelum dia pergi dari dunia ini.
Dia berkata, agar dirinya peka terhadap apa yang di rasakan seorang wanita. Kemudian dia berpikir keras, membuat gadis itu merasa sangat senang. Fadi pun teringat dengan baju yang dia belikan, namun rencananya ia ingin memberikannya ketika malam sebagai kejutan. Mau tidak mau dia harus memberikannya sekarang.
"Ada kejutan spesial khusus buat kamu," ujarnya sembari mengambil baju yang sempat ia beli di dalam tas.
"Kejutan apa?"
"Tara! Kaos putih, rok floral, sneakers dan jaket denim. Aku tidak tau bagaimana seleramu, semoga kamu senang." Ujarnya menyerahkan pemberiannya sembari memberikan sebuah senyuman manis padanya.
Air mata kebahagiaan mengalir pada raut wajahnya. Dia tak menyangka bahwa Fadil, melakukan sejauh itu untuknya. Sarah memeluknya dengan sangat erat, lalu menindihnya hingga kepala Fadil membentur lantai.
"Terimakasih sayang, akan kurawat dengan sepenuh hati. Aku mencintaimu," ujarnya menetes air mata kebahagiaan.
"Iya sama-sama, tapi maaf barang pembelianku harganya termasuk murah. Jadi kamu tidak perlu berlebihan," ujarnya dengan tersipu malu.
"Berapa pun harganya, asal itu pemberian darimu aku sangat senang menerimanya," ujarnya membuat Fadil tersipu malu.
Detak jantung lelaki itu mulai dia rasakan, berdebar-bebar dalam kenyamanan. Dia pun tersenyum lalu ia membalas pelukkannya. Sarah sangat bahagia dengan hadiah pertama, sedangkan Fadil tersenyum atas kebahagiaannya. Pemuda itu bertekat, jika suatu hari nanti dirinya akan memberikan hadiah dengan uang hasil kerja kerasnya sendiri. Puas berpelukkan mereka kembali duduk, lalu melanjutkan makan siang hingga selesai.
Setelah makan Sarah menyimpan, barang pemberian Fadil dalam sebuah kardus. Dia tersenyum memandangi kardus itu, sembari tersenyum mengingat raut wajah Fadil ketika memberikannya hadiah kejutan. Dalam hati dia bersumpah akan selalu berada di sisinya dan selalu membantunya jika dirinya membutuhkan bantuan.
Singkat cerita malam pun tiba, Fadil duduk bersila sembari memandangi laptop membiarkan TV menyala begitu saja. Kemudian Sarah pun datang, dengan membawa gelas besar berisi teh manis hangat dan dengan baju dan tampilan yang sama. Melihat raut wajahnya yang serius, Sarah pun penasaran dengan apa yang dia lihat. Dia melihat berbagai jenis makanan beserta resep.
"Apa kamu sudah menentukan menu makan untuk besok? Biar aku masakkan khusus buat kamu," ucapnya menggeser tempat duduk sembari menatap layar laptop.
"Tidak Sarah, aku sedang mencari menu kuliner yang pas untuk usahaku nanti. Rencananya aku ingin buka kedai kecil-kecilan, lemayan buat pemasukkan. Sebab jika bergantung pada uang rekening lambat laun pasti akan habis."
"Itu hebat sayang, di usia muda kamu sudah punya restoran sendiri. Jadi apa kamu sudah memutuskan menunya?"
"Bukan restoran, tapi kedai kecil-kecilan. Tapi setelah aku pikir-pikir, sepertinya aku berencana untuk membuka kedai nasi goreng. Yah kebetulan, aku sering memasaknya dalam sebulan lima kali, tapi entah layak jual atau tidak."
"Jadi kapan kamu ingin memasaknya? Biar aku coba, seberapa enak buatan kesayanganku siapa tau aku bisa memberikan sedikit masukkan."
"Mungkin hari minggu, sabtu-nya selesai perkuliahan aku langsung ke pasar."
"Aku ikut," celetuk Sarah.
"Ok, selesai kuliah aku langsung pulang."
Selesai berbincang mematikan laptopnya, lalu dia memasukkannya kembali ke dalam kamarnya. Kemudian pemuda itu, mengajaknya untuk keluar rumah menikmati suasana komplek. Dia berjalan hanya mengenakan kaos merah berkerah, serta celana pendek hitam. Sedangkan Sarah mengubah penampilannya menggunakan kaos berwarna pink dan celana hitam panjang. Mereka berdua, berdiri depan gerbang rumahnya lalu berjalan ke sisi kiri melihat suasana jalan utama.
Suasana cukup ramai, oleh pejalan kaki dan motor yang melintas. Ada juga beberapa pedagang keliling, melintas mencari sesuap nasi. Seberang jalan, dia melihat tukang bubur yang sedang ramai pembeli. Beberapa anak kecil bermain di bawah sinar lampu, lalu dia melirik ke arah jam tangan, dan rupanya waktu masih menunjukkan pukul delapan malam. Udara dingin mulai berhembus, mereka berdua masih berdiri memantau situasi di jalan. Kemudian, seorang wanita berusia 35 tahun datang menghampiri mereka.
Wanita itu mengenakan hijab coklat, mengenakan baju dinas berjalan membawa kantong plastik berisi kuliner khas Palembang yaitu Pempek. Beliau pun tersenyum pada mereka berdua, begitu juga dengan Fadil dan Sarah.
"Selamat malam," sapa wanita itu.
"Malam," jawab kompak mereka berdua.
"Ini pempek untuk kalian berdua," ucapnya sembari memberi memberi kantong plastik.
"Terimakasih," balasnya sembari menerima kantong plastik tersebut.
"Semoga kalian betah di sini, apalagi pasutri seperti kalian."
"Iya, pasti kami betah disini." Timbal Fadil.
Kemudian wanita itu memperkenalkan diri, beliau bernama Ida Wiguna. Beliau adalah tetangga tinggal di depan rumahnya, dan dia memiliki seorang dua orang anak berusia sepuluh tahun. Mereka berbincang, seputar lingkungan yang ada di sini sebagai pengenalan untuk warga baru seperti mereka berdua.