webnovel

Bisakah Kau Memelukku? (9)

Editor: Wave Literature

Ji Yi menyeret sang asisten sutradara sampai ke depan pintu kamar mandi He Jichen. Tanpa memberi alasan sama sekali, dia menunjuk ke arah pintu dan berkata, "Asisten sutradara, cepat temukan cara untuk mendobrak pintu!"

Mendobrak pintu?

Sang asisten sutradara diam-diam memandang Ji Yi seakan dia sudah gila.

Karena sang asisten sutradara tidak juga bertindak, Ji Yi mendesaknya lagi, "Asisten sutradara, kenapa kau tertegun begitu? Ayo cepat!"

"Tetapi, tiba-tiba saja, kau ingin aku mendobrak…"

Sebelum asisten sutradara itu selesai bicara, Ji Yi yang sangat panik terlihat hendak menghentakkan kakinya dengan tidak sabar. Dia memekik, "Asisten sutradara! Berhentilah bertanya begitu banyak dan cepat dobrak pintunya, oke?! He Jichen ada di dalam sana! Jika kau bertindak terlalu lambat, seseorang bisa mati!"

Mati?

Mendengar kata itu, sang asisten sutradara tertawa terbahak-bahak. "Ji Yi, leluconmu sangat bagus …"

"Aku tidak bercanda. Itu benar, He Jichen sudah berada di dalam kamar mandi itu cukup lama, dan dia belum keluar. Dia terlihat mengkhawatirkan ketika masuk tadi, dan Han Zhifan baru saja menasehatiku apabila dia tidak keluar, aku harus memeriksa keadaannya. Dia mengatakan sesuatu akan terjadi pada He Jichen…" Semakin Ji Yi berbicara, dia menjadi semakin resah dan air matanya mulai berjatuhan.

Melihat Ji Yi yang sangat cemas, sang asisten sutradara mulai menanggapinya dengan serius. "Kau bilang bahwa Han Zhifan yang memberitahumu?"

Ji Yi mengangguk.

Ekspresi di wajah sang asisten sutradara berubah, dan tanpa ragu, dia berteriak memanggil direktur casting dan pemeran utama pria dari ruangan seberang.

Direktur casting dan pemeran utama pria melihat kecemasan di wajah sang asisten sutradara segera menyadari bahwa itu adalah keadaan darurat. Tanpa bertanya lagi, mereka mengikuti rencana sang asisten sutradara. Mereka bertiga lalu bersama-sama mendobrak pintu, menendangnya hingga terbuka.

Ketika pintu jatuh ke lantai, terdengar suara keras "Brakk――." Terlihat He Jichen yang sedang bersandar di wastafel sambil menghisap rokok.

He Jichen, yang tenggelam dalam pikirannya sendiri, mengerutkan kening dan memandang keempat orang yang berdiri di depan pintu.

Setelah pandangan mereka bertemu, mereka terpaku di tempat.

Sang asisten sutradara, yang berdiri di tengah, menatap He Jichen dengan tertegun. Akhirnya dia menyadari sesuatu.

Bukankah dia bilang… seseorang akan mati?

Sang asisten sutradara berbalik dan menoleh ke arah Ji Yi saat menyadari bahwa He Jichen terlihat baik-baik saja. Tanpa berpikir dua kali, dia menghianati Ji Yi. "Ini ide Ji Yi. Dia yang bilang kalau anda ingin bunuh diri…"

Ketika sang asisten sutradara selesai bicara, pandangan He Jichen tertuju pada wajah Ji Yi.

Orang-orang itu sudah lama mengenal He Jichen, sehingga mereka tahu betapa menakutkannya ketika dia marah. Karena He Jichen sedang memandang ke arah Ji Yi, sang asisten sutradara memanfaatkan kesempatan itu untuk melirik kepada dua orang di sebelahnya. Kemudian mereka bertiga bergegas meninggalkan kamar He Jichen.

Suara pintu depan yang menutup menyadarkan Ji Yi yang tercengang.

Gadis itu akhirnya menyadari bahwa pandangan He Jichen sudah beralih pada kamar yang berantakan di belakangnya.

Bukankah Han Zhifan memberitahuku bahwa sesuatu akan terjadi? Tetapi ternyata, dia hanya sedang merokok di kamar mandi. Sementara itu, aku sudah mengobrak-abrik kamar ini…

Ji Yi dengan gugup menggigit bibir bawahnya, menundukkan kepala, dan berbicara dengan suara pelan, "Han Zhifan memberitahuku bahwa sesuatu akan terjadi padamu..."

He Jichen tidak mengatakan apapun, tetapi membiarkan pandangannya kembali pada Ji Yi. Dia melihat leher putih Ji Yi bermandikan keringat.

Gadis itu tidak berani memandang ke arah He Jichen. Dia menunggu untuk beberapa saat, tetapi karena He Jichen tidak juga bereaksi, yang bisa dilakukannya hanya menjelaskan tindakannya dengan suara yang pelan. "…Aku mengetuk pintu begitu lama, tetapi kau sama sekali tidak bereaksi. Kukira seperti yang dikatakan oleh Han Zhifan, bahwa kau…"