webnovel

MENGEJAR CINTA MAS-MAS

Gladys Mariana Pradito "Sudah deh mi... aku tuh bosen dengar itu lagi itu lagi yang mami omongin." "'Makanya biar mami nggak bahas masalah itu melulu, kamu buruan cari jodoh." "Santai ajalah. Aku kan baru 24 tahun. Masih panjang waktuku." "Mami kasih waktu sebulan, kalau kamu nggak bisa bawa calon, mami akan jodohkan kamu dengan anak om Alex." "Si Calvin? Dih ogah, mendingan jadian sama tukang sayur daripada sama playboy model dia." **** Banyu Bumi Nusantara "Bu, Banyu berangkat dulu ya. Takut kesiangan." "Iya. Hati-hati lé. Jangan sampai lengah saat menyeberang jalan. Pilih yang bagus, biar pelangganmu nggak kecewa." "Insya Allah bu. Doain hari ini laku dan penuh keberkahan ya bu." "Insya Allah ibu akan selalu mendoakanmu lé. Jangan lupa shodaqohnya ya. Biar lebih berkah lagi." "Siap, ibuku sayang." **** Tak ada yang tahu bahwa kadang ucapan adalah doa. Demikian pula yang terjadi pada Gladys, gadis cantik berusia 24 tahun. Anak perempuan satu-satunya dari pengusaha batik terkenal. Karena menolak perjodohan yang akan maminya lakukan, dengan perasaan kesal dan asal bicara, ia mengucapkan kalimat yang ternyata dikabulkan oleh Nya.

Moci_phoenix · Ciudad
Sin suficientes valoraciones
108 Chs

MCMM 98

Apakah aku mencintainya?

⭐⭐⭐⭐

Happy Reading ❤

Jam menunjukkan pukul 10.00 waktu setempat. Gladys bersiap-siap akan tidur. Malam ini Salma memilih tidur sendiri di kamarnya. Salma mendadak menjadi seorang kakak setelah melihat umminya melakukan USG. Gladys tersenyum mengingat bagaimana excitednya Salma saat melihat layar USG 4D yang menampilkan adik bayi yang berada di perut Intan.

Tiba-tiba ada panggilan video masuk. Tanpa melihat nama yang menelpon Gladys tahu siapa yang menghubunginya. Gladys sengaja memasang ringtone khusus untuk Banyu. Awalnya itu dilakukan untuk menghindari Banyu. Namun lama kelamaan bila mendengar ringtone itu jantung Gladys mulai berdegup kencang, seperti saat naik roller coaster.

"Assalaamu'alaykum sayang."

"Wa'alaykumussalaam. Kamu habis shalat subuh mas?" Inilah panggilan pertama yang Banyu lakukan setelah dua minggu pulang ke Indonesia. Dua minggu yang ternyata menyiksa Gladys. Setiap malam ia mengecek ponselnya untuk mengecek siapa tahu ada miss call tapi Gladys selalu kecewa. Bahkan dua hari terakhir ini fantasinya mulai liar memikirkan berbagai hal yang mungkin terjadi selama Banyu di Indonesia. Apalagi bila mengingat cerita Qori tentang kehadiran Senja di Indonesia. Apakah Banyu sibuk menghabiskan waktu bersama mantannya itu?

"Iya sayang. Tadi habis dari masjid ngobrol sebentar dengan pak ustadz. Makanya jam segini baru bisa telpon. Kamu mau tidur?"

"Iya." Lama Gladys tak berkata apapun. Perasaan kangen, kesal, cemburu, senang semua bercampur menjadi satu.

"Hey, kenapa diam saja?" tanya Banyu.

"Ngantuk."

"Salma mana? Dia nggak tidur sama kamu?"

"Dia lagi belajar menjadi kakak." Gladys menceritakan dengan antusias pengalaman saat di rumah sakit tadi. Banyu tak menyela sedikitpun. Ia hanya mendengarkan seraya memandangi Gladys. Senyum terus mengembang di wajah Banyu. Akhirnya Gladys menyadari Banyu tak berkomentar apapun selain memandangi dia.

"Kamu ngapain ngeliatin aku kayak gitu?"

"Aku kangen." Hanya itu jawaban dari Banyu.

"Apaan sih. Lebay banget."

"Memangnya kamu nggak kangen?"

"Buat apa aku kangen sama kamu? Apa hak ku kangen sama kamu?"

"Kamu berhak kok kangen sama aku. Kamu kan calon istriku," jawab Banyu kalem.

"Aku nggak percaya kamu kangen sama aku. Kalau memang kamu kangen, kenapa selama dua minggu ini kamu nggak pernsh menghubungiku? Hmm... sepertinya kamu terlalu sibuk. Sibuk reuni mungkin?"

"Maksud kamu?" Kening Banyu mengernyit saat mendengar ucapan Gladys.

"Aku nggak ada maksud apapun."

"Kamu menunggu kabar dariku? Lalu kenapa kamu nggak menghubungiku? Apakah kamu sedemikian gengsinya sehingga kamu lebih memilih menanggung rindu yang sangat berat itu?"

"Siapa yang kangen? Biasa aja sih. Lagipula aku nggak mau mengganggu kesibukan kamu. Di sana ada orang yang lebih membutuhkan perhatian kamu dibandingkan aku."

"Kok kamu tahu sih kalau aku disini sedang sibuk mengurus ..... Hey Princess, kamu menangis?" Banyu terkejut saat melihat Gladys membuang muka, tak lagi menatap ponselnya. Namun Banyu masih bisa mendengar samar isakan Gladys. "Sayang, ada apa? Kenapa kamu menangis?"

Gladys langsung mematikan kamera ponselnya. Dengan demikian Gladys tak perlu repot menyembunyikan air matanya.

"Princess, tolong katakan ada apa?"

"Nggak papa. Aku hanya merasa bodoh kembali terhanyut dengan perasaanku dan berharap semuanya akan berubah."

"Maksudmu?"

"Seharusnya aku tahu kalau sampai kapanpun aku nggak akan pernah menjadi prioritas utamamu. Sampai kapanpun aku hanyalah orang ketiga di antara kalian." Gladys setengah mati menahan isakannya. Ia tak ingin terlihat lemah di hadapan Banyu.

"Orang ketiga? Siapa orang ketiga? Tak ada orang ketiga di antara kita... Oh my god aku baru mengerti sekarang. Apakah maksudmu Senja? Astaghfirullah. Kamu bukan orang ketiga sayang. You're the one and only."

"Halah! Kamu nggak usah ngegombal melulu. Basi!"

"Sayang, aku berkata jujur. Tidak ada orang ketiga di antara kita. Senja? Dia memang pulang ke Indonesia untuk melihat mamanya yang sedang sakit. Aku pun hanya sekali bertemu dengannya yaitu saat kami berkumpul di kafe Erick. Aku sengaja mengajak mereka berkumpul untuk reuni sekaligus mengumumkan pada mereka bahwa aku akan menikah denganmu. Kamu bisa menanyakan hal itu pada Gibran."

"Tapi kamu foto bersebelahan dengan dia."

"Ya tuhan.. itu hanya foto sayang. Dan hanya sekali itu saja. Apakah kamu melihat langsung fotonya. Kalau kamu perhatikan walau kami foto bersebelahan tapi tetap ada jarak di antara kami. Nih, aku kirimkan foto yang tadi kamu bicarakan." Tak lama foto yang dimaksud muncul di pesan WA Gladys. Memang Banyu nggak bohong tentang hal itu.

"Sayang, tolong nyalakan kembali kamera ponselmu. Kamu tahu, disini aku hampir gila karena tak bisa melihat wajahmu langsung. Hanya fotomu yang dapat kujadikan penawar rindu." Di kamarnya Gladys hanya bisa tersenyum malu. Wajahnya terasa menghangat. Seketika AC di kamar dan cuaca dingin di London tak terasa lagi. Untunglah kameranya belum aktif sehingga Banyu tak melihatnya. Bisa ge-er dia kalau melihatku begini.

"Lalu buat apa kamu menyimpan foto itu? Biar bisa kamu pandangi foto dia?"

"Kamu cemburu?" Astaga Gladys, kenapa lo tadi ngomong kayak gitu? Elo mau dia besar kepala karena tahu kalau elo itu cemburu, omel hati Gladys. .

"Sayang ....."

"Nggak, siapa juga yang cemburu. Biasa aja sih. Lagipula ngapain aku cemburu? Aku nggak berhak cemburu."

"Princess, tolong aktifkan kameramu. Jangan membuatku tambah gila. Kamu tahu dua minggu ini aku benar-benar merasakan beratnya rasa rindu itu. Please." Akhirnya Gladys menuruti keinginan Banyu.

"Sayang, tolong dengarkan aku. Jangan potong ucapanku. Kamu sangat berhak untuk cemburu. Memang salahku selama ini tak menghubungimu. Ada beberapa alasan untuk itu. Pertama ada pekerjaan penting yang menuntutku untuk konsentrasi penuh. Kedua aku harus mempersiapkan beberapa hal untuk masa depan kita. Eit.. jangan potong dulu ucapanku. Salah satunya adalah menemui keluargamu. Yang ketiga aku harus mengurus surat-surat Nabila yang mendapat beasiswa melanjutkan pendidikan ke Yordania. Yang terakhir, aku ingin menguji diriku sendiri."

"Maksudnya?"

"Ya aku ingin menguji diriku, lebih tepatnya bagaimana perasaanku yang sesungguhnya saat jauh darimu. Dan aku menyerah. Aku tak sanggup bila harus berjauhan darimu. Beberapa kali dewan direksi menengurku karena melamun saat meeting. Bahkan aku kena tilang karena menerobos verboden. Itu semua karena aku terus memikirkan dirimu." Kembali wajah Gladys memanas karena malu.

"Kamu berlebihan," ucap Gladys tidak lagi dengan nada tinggi. Banyu tertawa renyah di belahan bumi lain.

"Aku jujur sayang. Bahkan saat ini kalau saja bisa aku ingin terbang ke London untuk menjemputmu pulang. Aku ingin memelukmu, aku ingin menciummu. Namun aku sadar kali ini aku harus menunggu hingga hubungan kita menjadi halal dan sah. Atau aku boyong keluargamu ke London lalu kita langsung menikah di sana?" Gladys tertawa untuk menutupi rasa malunya. Debaran jantungnya semakin tak karuan. Namun ia masih tak ingin menunjukkan perasaannya yang sebenarnya pada Banyu. Biarlah aku memastikan diri dan perasaanku kembali sebelum aku mengambil keputusan.

"Gladys Mariana Praditho, I really miss you."

"Lebay." Hanya kata itu yang mampu Gladys ucapkan. Dan Banyu tak membutuhkan kata-kata lain. Ia dapat membaca raut wajah Gladys yang menceritakan apa yang sesungguhnya gadis itu rasakan. Itu saja sudah mampu membuatnya bahagia.

"Sayang, kalau nanti kamu mau tidur tolong berdoa pada Allah supaya kita dipertemukan di alam mimpi. Ada seseorang yang pernah bilang padaku setidaknya di dalam mimpi aku bisa mencintaimu dan dicintai kembali oleh dirimu. Satu lagi, saat kamu shalat malam nanti tolong selipkan namaku di doa-doamu. Tolong minta sama Allah supaya Dia menyatukan kita."

Malam itu Gladys tertidur dengan senyum terukir di bibir. Segala keraguan dan kekhawatiran yang selama ini menggelayutinya seakan sirna dan menguap begitu saja bagaikan embun pagi yang terkena sinar matahari.

⭐⭐⭐⭐

"Dys... Gladys.... bangun!!" Terdengar gedoran di pintu kamar Gladys. Karena hari ini hari Minggu, maka setelah shalat subuh Gladys kembali bergelung di dalam selimut. Apalagi semalam Banyu mengajaknya ngobrol hingga menjelang subuh.

"Apaan sih Ntan?" tanya Gladys sambil membuka sedikit pintu kamarnya. Itu ia lakukan karena ia tak sempat memakai jilbab.

"Biarin gue masuk. Gue mau ngomong sama elo. Ini penting!" Intan merangsek masuk ke kamar. Wajahnya tampak penuh kekhawatiran.

"Ada apa sih? Ini hari Minggu. Masih jam 8. Please let me sleep at least until 9 0'clock."

"Jangan tidur lagi. Di depan ada Aidan."

"Aidan? Ada apa?" Kini giliran Gladys yang merasa cemas. "Sita mau melahirkan? Ibu sakit?"

"Banyu."

"Banyu? Banyu kenapa?" Tiba-tiba muncul rasa takut di hati Gladys. Apa yang terjadi pada Banyu?

"Dan, apa yang terjadi pada mas Banyu?" Tanpa basa basi Gladys langsung mengajukan pertanyaan.

"Mas Banyu dan Nabila kecelakaan kak."

"Kecelakaan? Tapi tadi malam dia ngobrol sama aku hingga menjelang subuh. Apakah dia pergi ke suatu tempat?"

"Tadi malam kak Adis ngobrol sama mas Banyu?"

"Iya, sepulang dia dari masjid kami ngobrol."

"Kak Adis tahu nggak mas Banyu sedang menyiapkan apa? Apakah dia lembur?"

"Dia cerita sedang mengurus dokumen pengalihan kepemilikan resort yang di Bandung menjadi milik tante Berli. Sebenarnya dokumen sudah hampir siap, tapi tante Berli minta resort di atas namakan Daffa. Makanya sejak kemarin mas Banyu sibuk urus itu."

"Apakah dia kecapekan ya? Karena siang ini ba'da dzuhur waktu Indonesia mas Banyu harus menjemput Nabila. Menurut info mas Banyu nggak mau pakai supir saat menjemput Bila."

"Ya Allah, lalu bagaimana kondisi mereka Dan?" Gladys merasa seluruh tulang dan persendian tubuhnya lemah tak sanggup menopang tubuhnya.

"Om Agus belum mengabari detailnya kak. Beliau hanya minta kami semua pulang ke Indonesia. Mungkin beliau takut mas Banyu..... Kak.. Kak Adis!!" Gladys tak tahu lagi apa yang terjadi selanjutnya. Tiba-tiba semuanya menjadi gelap.

Nggak! Jangan! Aku nggak bisa! Semua kata itu berputar di kepala Gladys. Ia merasa seolah tesedot ke dalam lubang hitam tak berdasar. Ia mencoba berteriak namun tak ada suara yang keluar. Ia mencoba berjalan namun tak ada tanah yang bisa ia pijak. Ia berputar dan terus terhisap ke dalam lubang tersebut.

"Dys.. Adis.. Bangun Dis!" Sayup terdengar suara lirih memanggil Gladys. Ia mencoba mencari arah suara tersebut, namun ia hanya melihat cahaya putih. Ia mencoba mendekati cahaya tersebut dengan langkah berat.

"Dys.. Adis.. Nak Adis.. Bangun nak!" Perlahan semua semakin jelas terlihat. Cahaya putih itu mulai memudar dan membentuk sosok-sosok. Suara-suara itu semakin jelas dan jelas. Dengan berat Gladys membuka matanya. Orang pertama yang dilihatnya adalah Aminah. Lalu Aidan dan Intan. Bagai orang linglung Gladys melihat sekelilingnya

"Bu.. ibu.. ini di-ma-na?" Gladys berusaha bangun, namun dunia kembali berputar.

"Kamu rebahan saja dulu. Jangan buru-buru bangun. Nanti malah tambah pusing. Ini di kamarmu."

"Apa yang terjadi? Mas.. Banyu? Mas Banyu... Adis mau ketemu mas Banyu... Mana mas Banyu?" Gladys mulai berteriak histeris sehingga terpaksa diberi obat penenang oleh dokter langganan yang dipanggil oleh Intan.

Setelah beberapa saat, Gladys mulai bisa tenang walau air mata terus saja menetes membasahi pipinya. Ya Allah, jangan ambil dia. Selamatkan dia. Aku nggak mau kehilangan dia. Aku tak mau hidup tanpa dirinya. Maafkan aku yang terlalu malu mengakui perasaanku.

"Nak Adis, bagaimana perasaanmu? Apakah kamu sudah lebih tenang?" tanya Aminah yang terus menemani Gladys.

"Bu, bagaimana keadaan mas Banyu? Adis mau ketemu mas Banyu. Adis belum bisa tenang kalau belum bertemu mas Banyu, walau mungkin hanya bertemu ... jasadnya." bisik Gladys pelan. "Apakah sudah ada kabar dari om Agus?"

"Agus menyewa pesawat untuk membawa kami pulang. Kamu mau ikut bersama kami pulang ke Indonesia?" Gladys langsung mengangguk.

"Gladys mau ikut. Gladys harus ikut untuk bertemu mas Banyu."

⭐⭐⭐⭐

Beberapa jam kemudian mereka semua sudah duduk manis dalam pesawat mewah yang sengaja Agus sewa. Sepanjang perjalanan Gladys tak banyak bicara. Intan dan Haidar yang ikut menemani hanya mampu menatapnya prihatin. Sejak tadi Intan membujuk Gladys untuk makan, namun Gladys tak mau.

"Nak Adis cobalah untuk makan walau sedikit," Kali ini Aminah yang membujuk. "Bahkan untuk berdoapun butuh tenaga. Banyu pasti akan sedih bila melihat nak Adis nggak mau makan."

"Apakah mas Banyu akan senang bila Adis makan?" Aminah mengangguk.

"Kamu tahu kan kalau Banyu nggak suka calon istrinya jatuh sakit karena skip makan. Cobalah paksakan dirimu untuk makan. Sesampainya di Indonesia banyak yang harus kita urus dan itu semua membutuhkan tenaga."

"Bu, benarkah Adis calon istri mas Banyu?"

"Kamu satu-satunya calon istri Banyu. Kamu satu-satunya calon menantu yang ibu dan ayah inginkan. Kamu satu-satunya calon kakak ipar yang diidamkan oleh Aidan dan Nabila."

"Tapi Adis nggak akan bisa menjadi istrinya kalau mas Banyu sudah....." Tangis Gladys pecah di dalam pelukan Aminah. Yang lain ikut merasakan sesak di dada saat melihatnya.

"Mommy please don't cry. Daddy will be alright." Salma menghampiri Gladys dan menepuk-nepuk lengannya. Gladys langsung merengkuh dan memeluknya erat.

"Yes dear, uncle Banyu.. no.. daddy Banyu will be alright. Let's hope and pray for him, okay."

"Bu, Adis janji kalau mas Banyu selamat maka Adis nggak akan menunda lagi. Adis akan menjawab lamarannya dan mengajaknya menikah. Adis nggak perlu acara yang mewah. Cukup menikah di KUA seperti rencana kami dulu," ucap Gladys di sela isakannya. Aminah tersenyum seraya mengelus kepala Gladys.

"Aamiin.. Insyaa Allah kalian bisa bahagia. Seperti katamu tadi kita terus berharap hal baik terjadi dan menyambut saat kita tiba nanti."

⭐⭐⭐⭐