Happy Reading
"Dek, kamu sudah setuju dengan konsep yang abang kasih kan? Abang bikin konsep itu sesuai dengan keinginanmu." Ghiffari dan Gladys serta Cecile tampak serius membahas acara pernikahan yang akan dilaksanakan bulan depan.
"Dys, kamu benar-benar hanya akan mengundang 200 orang saja? Memangnya jeng Meisya setuju?" tanya Cecile cemas. "Kamu tau kan kalau jeng Meisya dari awal sangat menginginkan pernikahan putra tunggalnya itu diadakan dengan mewah."
"Mas Lukas sudah setuju kok, Mi. Malah om Bram juga nggak keberatan kalau kami tidak mengundang banyak tamu."
"Tapi Dys, relasi kami, orang tua Lukas dan bahkan Lukas sendiri kan tidak sedikit. Kalau hanya mengundang beberapa orang saja, pasti akan ada yang tersinggung."
"Memangnya mami mengenal semua relasi papi dan apakah papi mengenal semua teman arisan mami? Pasti nggak kan," Gladys. balik bertanya "Lagipula kalau mengundang lebih dari 500 orang, nggak sesuai dengan konsep yang Adis inginkan, Mi."
"Memangnya konsepnya nggak bisa dirubah?"
"Mami mulai deh. Kan waktu itu mami setuju kalau kami yang akan menentukan konsep acaranya. Mami setuju untuk tidak ikut campur terlalu jauh. Bagian mami adalah menyetujui wedding dress dan makanan yang akan disajikan nanti."
"Iya sih mami pernah ngomong kayak gitu, tapi lama-lama mami pikir kok ada yang kurang sreg ya dengan konsep yang kamu inginkan. Apalagi yang diundang terlalu sedikit."
"Terlalu sedikit menurut mami. Kalau buat Adis itu sudah banyak, Mi. Teman Adis kan nggak terlalu banyak. Adis pengen acara pernikahan yang terasa intim, syahdu dan penuh makna. Bukan pernikahan yang seperti konser musik dengan tamu yang membludak. Kalau mau yang kayak gitu sekalian aja kita undang komedian dari stand up comedy. Biar Adis nggak stress liat tamu yang membludak."
"Tapi Dys... "
"Kalau mami tetap memaksa, ya mami aja yang nikah sama mas Lukas," sahut Gladys pedas. Ghiffari yang sedari tadi menahan tawa melihat perdebatan keduanya kali ini tak sanggup lagi menahannya. Ia tergelak sambil memegang perutnya.
"Ada apa sih? Kok rame banget?" tanya Eyang Tari yang sepertinya baru datang ditemani oleh Robert.
"Ini lho Mi, masa Gladys hanya mengundang 200 tamu. Nggak mungkinlah. Relasi kita kan banyak. Apalagi ini pernikahan putri Hadinoto-Van Schumman dengan Putra tunggal keluarga Bramantyo Prawira. Coba deh mami bujukin Gladys biar mau merubah pendiriannya."
"Eyang tau kan kalau Adis paling nggak suka berpura-pura di depan banyak orang. Kalau mengundang semua relasi, bisa eyang bayangkan berapa lama Adis harus berpura-pura manis, padahal Adis nggak kenal orang tersebut."
"Oalah Dys.. kamu dan mamimu tuh sama saja. Sama-sama keras kepala." celetuk Robert sambil mengambil singkong goreng dari meja.
"Memangnya om Robert senang pura-pura bersikap manis kepada orang yang om nggak kenal?" tanya Gladys dengan wajah jutek.
"Ya nggak sukalah."
"Tuh kan, kita semua tuh setipe. Paling malas berbasa-basi."
"Tapi Dys, kamu juga nggak bisa mengabaikan pentingnya menjaga hubungan baik dengan relasi. Brama's Corp dan HV Corp bukan perusahaan kecil. Belum lagi relasi Van Schumman yang ada dimana-mana. Mengadakan pesta dan mengundang relasi adalah salah satu cara menjaga hubungan baik dan bahkan bisa melancarkan bisnis kita." Robert mencoba menjelaskan.
"Tapi om, ini kan bukan pernikahan bisnis. Kami menikah bukan karena papi dan om Bram ingin mengembangkan perusahaan. Kami menikah karena Lukas memang ingin menikahi Adis."
"Tunggu dulu.. kayaknya ada yang nggak pas deh," potong Robert. "Kamunya juga mau kan menikah dengan Lukas?
"Apanya yang nggak pas om? Konsep acara? Jumlah tamu atau WO nya?" Gladys balik bertanya tanpa menjawab pertanyaan Robert.
"Yeee.. kenapa jadi bawa-bawa WO. Kamu itu klien yang paling menyebalkan. Bolak balik merubah konsep, minta discount gede pula."
"Bang Ghif nggak ikhlas nih bantuin adek?" tanya Gladys sambil pura-pura merajuk.
"Ikhlas kok dek, masa nolongin adek sendiri nggak ikhlas. Oh iya, gimana nih keputusannya? Mau tetap dengan konsep 200 tamu atau berubah?"
"Tetap."
"Tambah!" Cecile tak mau kalah.
"Nggak mau!" tolak Gladys
"Harus mau!" Cecile tetap ngotot.
"Sudah.. sudah..! Kalian ini kok kayak anak kecil sih?!" Akhirnya eyang Tari angkat bicara setelah melihat anak dan cucunya berdebat mempertahankan keinginan masing-masing.
"Mami tuh... yang mau menikah kan Gladys, bukan mami. Kenapa juga mami maksain kemauannya." Wajah cantik Gladys terlihat jutek.
"Lho, kamu itu jadi anak harus nurut dong apa kata orang tua. Bukan mau-maunya sendiri!" balas Cecile tak mau kalah dari putri semata wayangnya. Wajah cantik keduanya semakin terlihat mirip saat sama-sama jutek.
"Adis kan sudah menuruti keinginan mami untuk menikah dengan Lukas. Kenapa sekarang mami juga memaksakan keinginan untuk mengadakan pesta besar-besaran?! Kalau mami masih memaksakan kehendak, mendingan Gladys kawin lari aja sama mas Lukas. Sekalian nggak usah pake pesta dan tetek bengek yang bikin ribet!!" ucap Gladys dengan nada ketus.
"GLADYS MARIANA PRADITHO!" Praditho yang baru keluar kamar menegur dengan suara keras. "Papi nggak suka kamu ngomong ke mami kamu dengan nada seperti itu. Biar bagaimanapun dia itu mami kamu. Hormati dia!!"
"Tapi pi...."
"Nggak ada tapi-tapian. Kalian ini sering banget berdebat. Kamu itu anak perempuan satu-satunya. Seharusnya kamu bisa bersikap lembut sama mami kamu. Bukan malah berdebat terus." tegur Praditho tajam. Gladys yang sudah siap membalas ucapan sang ayah langsung menutup mulutnya saat melihat pandangan tajam sang eyang.
"Ndhuk, apa yang papimu bilang itu benar. Kamu sebagai anak harus bisa menjaga nada bicaramu kepada orang tua, terutama kepada mamimu. Eyang mengerti perasaan kamu, tapi tetap ada adab saat kamu berbicara dengan orang tua," Eyang Tari berbicara dengan nada lembut namun tajam sambil membelai tangan Gladys yang kini duduk di sampingnya. "Kalian ini memiliki sifat keras kepala yang sama. Kalau tidak ada yang mau mengalah, maka tidak akan ada kata sepakat untuk setiap masalah yang kalian hadapi."
"Tapi eyang, mami kan sudah memaksakan calonnya kepada Adis. Sekarang giliran mami mengikuti keinginan Adis." Gladys memeluk manja eyang Tari dengan harapan sang eyang mau berpihak kepadanya.
"Kalau menuruti kalian, sampai tahun depan Gladys nggak akan menikah. Belum lagi kalau nanti calon mertuanya ikut campur. Menurut eyang, mengundang 500-700 orang masih wajar. Kalau memang Gladys ingin upacara yang lebih intim, untuk akad nikah hanya dihadiri sahabat dan keluarga saja."
"Tapi eyang...."
"Dys, jangan membantah eyangmu," tegur Praditho. "Keputusan papi kita akan mengundang 700 tamu saja. Bukan hanya kolega kami yang harus diundang, tapi juga para tetangga. Atau kalau kamu memang ingin acara yang lebih sederhana, terpaksa kita mengadakan 2 sampai 3 kali acara. Bagaimana? Kamu siap capek?" tanya Praditho. Gladys bergidik membayangkan betapa lelahnya harus berkali-kali menjalani resepsi. Sekali saja capeknya bisa berhari-hari. Bagaimana kalau berkali-kali.
"Sudahlah dek, manut aja apa kata orang tua. Meskipun kamu yang akan menikah, tapi pendapat dari keluarga tak boleh diabaikan," sambung Ghiffari.
"Eyaaang...." Gladys menggelendot manja pada eyang Tari berharap mendapat dukungan.
Tapi sepertinya eyang Tari tidak tergoyahkan. Dengan kesal Gladys terpaksa menerima usulan orang tuanya. Sementara itu Cecile tersenyum penuh kemenangan. Ia pun mengerling pada Gladys sambil tersenyum meledek.
"Tapi mami maupun tante Meisya nggak boleh ikut campur urusan konsep acara," sahut Gladys keras kepala. "Adis nggak mau merubah konsep."
"Iya, papi jamin mami mu nggak akan ikut campur untuk urusan itu. Kamu percaya sama papi kan?" tanya Praditho pada putri bungsunya. Gladys mengangguk.
"Berarti venue berubah ya, dek?" tanya Ghiffari. "Kamu tetap mau acaranya outdoor?"
"Kalau hujan gimana?" potong Cecile sebelum Gladys menjawab.
"Diajeng, sudah nggak usah ikut campur. Biarkan Gladys dan Ghiffari yang mengurus. Lebih baik kita yang tua-tua mengobrol di taman belakang." Praditho mengingatkan.
"Iyo, Cil. Biar saja Gladys menentukan mau konsep seperti apa. Mami yakin, Ghiffari akan mengaturnya dengan baik," ucap eyang Tari menguatkan ucapan Praditho. "Kamu ini kayak nggak pernah menikahkan anak saja."
"Kalau Ghiffari dan Khansa nggak banyak intrik begini, mi. Sejak awal mami meminta dia menikah saja sudah penuh drama. Yang maunya menikah dengan tukang sayurlah. Yang menolak calon-calon yang Cecile ajukanlah, bahkan awalnya dia nggak mau menikah dengan Lukas. Cecile sampai malu waktu jeng Meisya bolak balik menanyakan keseriusan Gladys."
"Yang akan menikah kan anak-anak. Kenapa kamu malah merasa tidak enak terhadap Meisya. Mami sendiri kurang sreg punya besan kayak dia. Kalau mami boleh jujur, mami lebih menyenangi kepribadian Banyu. Entah kenapa mereka tidak melanjutkan hubungan mereka." Pikiran eyang Tari tampak seperti mengawang-awang saat mengingat hubungan cucunya dengan Banyu yang kandas di tengah jalan.
"Sadar diri mungkin, Mi," sahut Cecile. "Baguslah, Cecile nggak perlu malu menghadapi pertanyaan teman-teman arisan kalau mereka sampai jadian. Memang sih anaknya sopan dan keliatan bertanggung jawab, tapi yang namanya tukang sayur ya tetap tukang sayur."
"Mami kok jadi merendahkan Banyu sih? Memang apa yang salah dengan tukang sayur? Salah satu pengusaha dan pemilik supermarket, awalnya juga cuma jualan sayur," balas Gladys ketus. "Heran deh, mami kok senang banget membeda-bedakan manusia."
"Bukan membedakan Dys, tapi itu realita kehidupan. Ada yang kaya ada yang miskin. Ada yang sukses ada yang gagal. Ada yang cantik ada yang jelek. Kamu ngapain juga masih membela si Banyu yang jelas-jelas menolak kamu?" Gladys terkejut mendengar perkataan Cecile. "Nggak usah heran mami tau darimana. Pakai logika saja, kalau dia mau sama kamu pasti kamu nggak akan minta Lukas melamarmu. Padahal dari awal eyangmu meminta kamu menikah, kamu jelas-jelas menolak Lukas. Lah ini, balik dari Malaysia kok tiba-tiba meminta Lukas untuk melamar."
"Banyu ini siapa?" tanya Robert bingung. "Memangnya Adis punya pacar selain Lukas? Om kok jadi bingung. Tadi Adis sempat bilang kalau Lukas yang ingin menikahi dia, lalu bagaimana dengan perasaannya sendiri? Apakah Adis benar-benar ingin menikah dengan Lukas? Padahal tadi kata mami ada yang namanya Banyu."
Semuanya terdiam mendengar ucapan Robert. Semua mata memandang Gladys seolah meminta penjelasan. Memang tak banyak orang tahu apa alasan Gladys merubah keinginannya. Ghiffari yang mengetahui alasan tersebut dari Khansa hanya diam saja. Ia pun tak pernah menanyakan langsung hal itu kepada Gladys. Baginya apa yang dialami oleh Gladys adalah proses pendewasaan yang harus dilalui. Mengalami kegagalan dan penolakan dalam percintaan akan membuat seseorang menjadi lebih kuat. Toh dari awal ia memang menyangsikan keduanya bisa menjalani hubungan. Terlalu banyak perbedaan antara keduanya.
"Banyu itu pemuda yang menjadi pendamping Gladys saat pernikahan Erick dan pernikahan Ghiffari. Kowe eling tho, Bet?" Eyang Tari menjelaskan saat Gladys hanya diam saja.
"Ooh.. dia itu yang waktu itu menggendong Adis ya? Oalah, dia itu pacarnya Adis. Om pikir Adis selama ini nggak punya pacar. Karena kemana-mana selalu ditemani pak Dudung dan Endah atau sahabat-sahabatnya. Memangnya dia itu tukang sayur? Om pikir dia itu model lho. Malah tantemu mikirnya si Banyu itu CEO muda."
"Nanti aku ceritain mas. Pokoknya buat aku yang penting itu menantuku bukan tukang sayur, tapi dokter spesialis Jantung pemilik rumah sakit. Nggak kebayang sama aku kalau keluarga kita punya menantu tukang sayur," ucap Cecile ketus. Ia masih sedikit kesal karena Gladys tak ingin bantuannya dalam menyiapkan pernikahan.
"Diajeng, jangan begitu dong. Nggak usah diungkit lagi masalah Banyu. Mungkin mereka memang nggak berjodoh. Sebenarnya nggak ada yang salah dengan memiliki menantu seorang pedagang. Kamu lupa suamimu yang ganteng ini juga hanya seorang pedagang?" Praditho berusaha menengahi karena dilihatnya wajah Gladys yang semakin bete.
"Iya schatz. Tapi kamu kan bukan pedagang keliling seperti si Banyu itu. Saat mas mendekatiku, mas sudah punya kios di pasar."
"Sudahlah nggak usah membahas masalah si Banyu ini. Yang penting sekarang adalah persiapan pernikahan cucuku yang cantik ini. Siapapun calon suaminya, selama dia bisa mencintai dan menyayangi dengan tulus, buat eyang itu cukup," potong eyang Tari sebelum Cecile melanjutkan ucapannya. "Kamu dulu juga kurang lebih ya seperti Gladys ini. Merengek hanya mau menikah dengan Ditho. Padahal papimu sudah menyiapkan calon, Edward Scholz, anak rekan bisnisnya. Bahkan keluarga Scholz sudah mempersiapkan kedatangan mereka ke Indonesia, tapi batal gara-gara kamu jatuh cinta pada anak pedagang batik langganan eyang. Kamu sendiri juga sudah punya pacar, anak juragan kayu itu tho. Tapi akhirnya kamu memilih Ditho."
Cecile langsung menutup kembali mulutnya yang sudah siap membantah ibunya. Wajahnya langsung cemberut karena diingatkan kepada kisah masa lalunya. Sebenarnya ia pun memiliki kisah yang tak jauh berbeda dengan Gladys. Bahkan ia nekat minta dinikahi oleh Praditho dengan wali hakim. Untunglah hal itu tak terjadi karena sang papi akhirnya mau mengalah. Yang lain tergelak melihat raut wajah Cecile saat cemberut.
"Cil, kamu kalau cemberut mirip banget sama Gladys," ledek Robert. "Kelakuan kalian juga mirip. Aku masih ingat waktu kamu membujukku untuk menjadi wali nikahmu dengan Ditho."
"Sudah deh mas, nggak usah meledek aku. Oke, aku nggak akan memaksakan kehendakku. Kali ini aku mengalah, daripada anakku nggak jadi menikah."
"Nah, gitu dong mi. Kalau dari awal mami dan adek sepakat, abang nggak akan mumet," imbuh Ghiffari. "Nanti abang akan rancang ulang konsepnya. Oh ya dek, kamu nggak bikin foto prewedding?"
"Nggak tau nih. Mas Lukas lagi sibuk banget. Bahkan minggu depan dia harus ke Austria untuk mengikuti pertemuan tahunan para spesialis jantung dunia," jawab Gladys.
"Kenapa kamu nggak ikut saja? Nanti sekalian kalian foto prewed disana," usul Cecile.
"Ih, mami gimana sih? Aku dan mas Lukas kan belum sah. Masa disuruh pergi ke luar negeri berdua. Memangnya mami mau aku pulang dari Austria membawa calon cucu?"
"Iiih... amit-amit deh. Mami memang pengen banget punya cucu dari kalian. Tapi kalau kamu hamilnya di luar nikah, mami ogah deh. Mau ditaruh dimana muka mami kalau sampai teman-teman arisan mami dengar kamu hamil sebelum menikah." Cecile bergidik membayangkan bagaimana para sosialita itu berghibah di belakangnya kalau sampai ada kejadian seperti itu.
"Makanya, mami nggak usah usul yang aneh-aneh. Foto prewednya nanti aja kalau mas Lukas sudah balik dari Austria. Kalau nggak sempat ya nggak usah pake foto prewed segala. Ribet," sahut Gladys. "Yang penting menikah kan?"
"Iya, buat eyang, yang penting kamu segera menikah. Mau hanya di KUA juga nggak masalah. Yang penting sah." Ucapan eyang Tari menutup perdebatan hari ini. Para lelaki yang ada di dalam ruangan menghela nafas lega. Hampir setiap hari mereka harus menyaksikan perdebatan antara keduanya. Dan lagi-lagi eyang Tari yang harus menengahi.
⭐⭐⭐⭐