webnovel

MENGEJAR CINTA MAS-MAS

Gladys Mariana Pradito "Sudah deh mi... aku tuh bosen dengar itu lagi itu lagi yang mami omongin." "'Makanya biar mami nggak bahas masalah itu melulu, kamu buruan cari jodoh." "Santai ajalah. Aku kan baru 24 tahun. Masih panjang waktuku." "Mami kasih waktu sebulan, kalau kamu nggak bisa bawa calon, mami akan jodohkan kamu dengan anak om Alex." "Si Calvin? Dih ogah, mendingan jadian sama tukang sayur daripada sama playboy model dia." **** Banyu Bumi Nusantara "Bu, Banyu berangkat dulu ya. Takut kesiangan." "Iya. Hati-hati lé. Jangan sampai lengah saat menyeberang jalan. Pilih yang bagus, biar pelangganmu nggak kecewa." "Insya Allah bu. Doain hari ini laku dan penuh keberkahan ya bu." "Insya Allah ibu akan selalu mendoakanmu lé. Jangan lupa shodaqohnya ya. Biar lebih berkah lagi." "Siap, ibuku sayang." **** Tak ada yang tahu bahwa kadang ucapan adalah doa. Demikian pula yang terjadi pada Gladys, gadis cantik berusia 24 tahun. Anak perempuan satu-satunya dari pengusaha batik terkenal. Karena menolak perjodohan yang akan maminya lakukan, dengan perasaan kesal dan asal bicara, ia mengucapkan kalimat yang ternyata dikabulkan oleh Nya.

Moci_phoenix · Ciudad
Sin suficientes valoraciones
108 Chs

MCMM 76

Happy Reading ❤

Lukas POV

Hari ini aku merasa bahagia karena untuk pertama kalinya Gladys mau diajak jalan tanpa ditemani oleh Endah. Biasanya kemana-mana Endah selalu menemani. Kebahagiaan ini diawali saat seminggu sebelum ke Malaysia, Gladys mengajakku bertemu. Dalam pertemuan itu Gladys menanyakan keseriusanku untuk melamarnya. Suatu hal yang sangat tak diduga karena selama ini Gladys selalu menghindari bahasan mengenai pernikahan.

Flashback On

"Mas, bisa ketemu malam ini?" tanya Gladys melalui telpon.

"Bisa sayang. Kebetulan aku sudah selesai. Aku jemput kamu?"

"Nggak usah mas. Kita ketemuan di resto yang kemarin itu ya."

Tak sampai satu jam mereka sudah duduk berhadapan. Seperti biasa Endah duduk di meja yang tak jauh dari meja mereka.

"Sweetheart, apakah kamu harus selalu mengajak dia setiap kita bertemu?" tanyaku sambil menunjuk Endah.

"Mas, aku dan Endah kan baru pulang dari butik. Jadi ya wajar saja kalau dia selalu menemaniku. Dia kan juga asisten pribadi yang tinggal serumah denganku. Kenapa? Kamu keberatan?"

Aku menghela nafas kesal sebelum akhirnya tersenyum. "Aku bukan keberatan, tapi aku ingin ada privasi saat kita berkencan."

"Mas, kita kan cuma makan malam. Masa kita makan malam, tapi dia nggak."

"Ya tapi kamu kan nggak perlu menyuruh dia ikut makan di sini. Kamu bisa menyuruh dia makan malam bersama pak Dudung di warung seberang jalan sana."

"Mas, aku nggak bisa seperti itu. Aku nggak suka membeda-bedakan. Apa yang dia makan malam ini, sama dengan apa yang kumakan."

"Tapi sayang..."

"Mas, ada hal penting yang mau aku bicarakan sama kamu." potong Gladys. "Mengenai perjodohan kita."

"Ada apa sayang? Kamu mau membatalkannya?" Gladys menggeleng. Reaksi yang sangat tak kusangka. Selama ini aku berpikir Gladys menolak perjodohan mereka.

"Apakah kamu serius ingin menikahiku?"

Aku meraih tangan Gladys dan mencium punggung tangannya dengan mesra. "Bagaimana lagi aku harus meyakinkanmu tentang keseriusanku? Apa aku harus meneriakkan kepada dunia betapa aku mencintaimu dan tak sabar ingin menikahimu?"

"Ya nggak gitu juga mas. Aku hanya ingin memastikan saja."

"Apa perlu besok pagi kita langsung melaksanakan pernikahan di hotel?"

"Minggu depan aku akan ke Malaysia. Ada beberapa pekerjaan yang harus aku selesaikan. Sekembalinya aku dari sana, kamu bisa mengajak orang tuamu untuk datang ke rumah."

"Kamu serius sayang? Kenapa tidak besok saja mereka ke rumahmu?"

"Mas lupa, kalau beberapa hari ke depan mas ada jadwal operasi? Aku pun akan sibuk mempersiapkan keberangkatanku ke Malaysia."

"Wah, kamu sekarang hafal jadwalku."

"Bagaimana nggak hafal kalau, sekretarismu selalu mengirimkan jadwal mingguanmu." Aku tergelak melihat wajahnya yang kesal.

"Baiklah aku akan sampaikan pada papa mama mengenai kabar gembira ini."

Flashback off

Kini mereka duduk berhadapan di sebuah resto steak yang terkenal di kota mereka. Aku telah memesan makanan untuk kami berdua. Lalu aku tawarkan wine kepada Gladys. Karena menurutku makan steak itu paling nikmat bila dilengkapi dengan wine.

"Wine? Nggak mas. Aku nggak minum yang kayak begitu." tolak Gladys lalu kembali fokus pada ponselnya. Gladys tersenyum lebar saat memperhatikan ponselnya. Entah apa yang dilihatnya.

"Kamu sibuk lihat apa sih, sayang? Aku nggak suka kalau sedang makan malam begini, kamu lebih fokus pada ponselmu." tegurku tak suka.

"Maaf." Moodnya langsung berantakan setelah kutegur. Aku menyadari perubahan mood Gladys. Aku langsung pindah duduk di sampingnya.

"Sayang, maafin aku ya. Aku nggak bermaksud seperti itu. Aku cuma nggak suka kamu lebih memperhatikan ponselmu daripada aku. C'mon honey, tonight is our date. Please don't ruin it." Aku peluk lembut bahu Gladys dan mencium puncak kepalanya.

Setelah itu kami menikmati makan malam sambil ngobrol ringan tentang bagaimana konsep pernikahan nanti. Selama ngobrol aku berusaha mempelajari raut wajah kekasihku. Namun aku tak melihat sesuatu yang mencurigakan. Bahkan Gladys sepertinya tak lagi terlihat ragu dengan pernikahan kami.

Ditengah pembicaraan mereka, Gladys berpamitan ke kamar mandi. "Mas, aku mau ke kamar mandi sebentar ya."

"Jangan lama-lama ya sweetie. Aku nggak bisa terlalu lama berpisah denganmu," godaku sambil mengedipkan sebelah mata dan mencium punggung tangannya.

"Nggak usah lebay ah. Biasanya juga jarang ketemu."

"Sejak kamu menerima lamaranku, aku semakin merana kalau nggak lihat kamu. Untung saja di ponselku banyak foto dirimu." Gladys hanya tersenyum tipis mendengar ucapanku yang dianggapnya absurd.

Selama 15 menit aku menanti Gladys. Aku mengamati sekitar sambil sesekali menyesap gelas berisi wine di tangan. Lalu kulihat jam tangan. Keningku langsung berkerut. Sudah lebih dari 15 menit Gladys berpamitan ke kamar mandi. Apakah dia sakit perut atau terjadi sesuatu, pikirku cemas.

Akhirnya kuputuskan menyusul Gladys ke kamar mandi. Namun aku sangat shock tatkala kulihat calon istriku berpelukan dengan pria lain. Wait.. wait... itu bukan sekedar berpelukan tapi mereka.. berciuman. Apa?! BERCIUMAN. Dan aku dapat melihat bagaimana Gladys menikmati ciuman itu dan bahkan membalas ciuman pria tersebut.

Nanti dulu... bukankah itu pria yang waktu itu ada di rumah sakit saat Gladys pingsan?

"GLADYS MARIANA PRADITHO!! APA YANG KAMU LAKUKAN?!" Suaraku menggelegar dipenuhi kemarahan saat melihat hal tersebut. Gladys tampak terkejut saat melihat kehadiranku

Tanpa banyak bicara aku langsung tarik kerah baju pria itu dan menghajarnya, setelah sebelumnya menarik Gladys untuk menjauh dari pria tersebut. Tentu saja pria itu langsung terjengkang jatuh. Tanpa ampun aku kembali menendang, saat pria itu mencoba berdiri. Gladys berusaha menghentikan dengan cara memeluk tubuhku. Dapat kulihat betapa ia sangat mencemaskan pria itu. Hatiku sakit melihat hal tersebut.

"Mas, cukup!" jerit Gladys dengan air mata berderai. "HENTIKAN!!"

"KENAPA AKU HARUS BERHENTI MEMUKUL SI B******K INI? APAKAH AKU HARUS DIAM SAJA MELIHATMU DICIUM OLEHNYA?! DAN KAMU... WANITA MACAM APA KAMU YANG MAU SAJA DICIUM OLEH PRIA LAIN DISAAT KAMU SUDAH MEMILIKI CALON SUAMI?!" Aku meluapkan amarah. Dengan kasar kutarik Gladys. Gladys tak bisa menolak. Ia hanya bisa memandang prihatin pria itu sambil menangis.

Para pengunjung lain memperhatikan saat aku menarik paksa Gladys yang menangis. Pihak security mencoba menghentikanku namun mereka langsung mundur saat aku memandang mereka tajam.

"JANGAN IKUT CAMPUR. DIA INI KEKASIH SAYA!" Ucapku dingin dengan pandangan menusuk. "LEBIH BAIK KALIAN URUS SI BA*****N ITU."

⭐⭐⭐⭐

Dengan perasaan marah aku mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi layaknya berada di sirkuit. Untunglah malam itu jalanan sepi. Tak ada yang bicara, baik diriku maupun Gladys. Aku tau kalau Gladys takut dengan caraku menyetir mobil, namun gadis itu memilih diam. Sementara itu di kepalaku masih terbayang-bayang gambaran saat calon istriku berciuman dengan pria lain.

Untunglah kami berhasil sampai dengan selamat di rumah yang telah kupersiapkan sejak beberapa tahun lalu untuk istriku kelak. GLADYS. Ya, sejak jatuh cinta pada gadis itu, aku telah memimpikan menikah dengan Gladys. Sayangnya selama bertahun-tahun aku tak berani mengungkapkan perasaannya kepada Gladys. Apalagi saat itu Gladys menjalin hubungan dengan seorang pria yang kini telah menjadi mantannya. Aku hanya berani mencintai dan mengharapkan gadis itu diam-diam. Aku follow semua akun medsosnya. Ku like semua postingannya, bahkan postingan yang menurutku unfaedah. Selain itu saat dia ke Paris untuk kuliah, aku masih suka bertandang ke rumah keluarganya. Bahkan beberapa kali aku masuk ke kamarnya hanya untuk menghirup aroma gadis itu. Tentu saja aku selalu diawasi oleh Endah, pelayan pribadinya yang selalu mengintili kemanapun Gladys pergi.

Setelah memarkirkan mobil di halaman rumah kami. Ya aku menyebutnya rumah kami. Itu tempat suci kami. Tak pernah sekalipun aku membawa wanita laain ke rumah ini. Aku tak ingin wanita lain menginjakkan kaki mereka di rumah ini.

Setelah mematikan mesin mobil kutanyakan apa maksud sikapnya tadi dan apa hubungannya dengan pria tadi. Gladys tak banyak menjawab. Ia hanya meminta maaf dan mengatakan semua itu tak disengaja. Aku sungguh geram mendengar jawaban yang menurutku tak memuaskan itu. Dengan paksa aku menarik Gladys turun dari mobil. Tak kupedulikan segala pertanyaannya. Kemarahan telah menghilangkan akal sehatku. Yang ada dalam otakku hanya ingin membalas perbuatannya tadi.

Kutarik Gladys ke dalam kamar. Sekali lagi kucoba menanyakan siapa pria itu dan apa hubungan mereka. Kembali Gladys menyangkal mereka memiliki hubungan khusus. Kudekati dia. Dapat kulihat sinar ketakutan di matanya. Namun aku tak peduli. Kucium paksa gadis itu dengan kasar. Tapi tetap dia tak membalas ciumanku. Hal itu membuat emosiku meledak. Kuangkat tubuh mungilnya ke atas ranjang king size yang kupersiapkan untuk malam pertama kami. Yang ada dalam pikiranku adalah membalas perbuatannya dan mengambil apa yang menjadi hakku. Ya, hakku. Aku lebih berhak merasakan tubuhnya karena dia adalah calon istriku. Peduli setan dengan status kami yang belum sah. Peduli setan apabila aku harus memperkosanya. Kalau itu bisa membuat Gladys menikah denganku, maka akan kulakukan apapun risikonya.

Gladys terus melawan saat aku mencium dan meraba tubuhnya. Ya tuhan, berapa lama telah kutahan keinginan ini. Keinginan yang selalu muncul saat berdekatan dengannya. Bahkan gilanya lagi aku sering menjadikannya obyek fantasi liarku yang akhirnya berakhir dengan aku memuaskan diriku sendiri. Berbeda dengan dulu saat keluarga kami belum ada niatan menjodohkan kami. Saat aku melakukan hubungan dengan pacar-pacarku, maka yang kubayangkan adalah dirinya yang mendesah, mengerang saat berada di bawah tubuhku. Namun sejak aku tahu keluarga kami berniat menjodohkan kami, maka aku berusaha sekuat tenaga menahan segala syahwatku. Kuputuskan pacar terakhirku yang sudah bersama selama setahun terakhir ini. Aku benar-benar mempersiapkan diriku hanya untuk dia. Namun malam ini aku tak ingin lagi menahannya. Terlebih setelah melihat bagaimana dia membalas ciuman pria itu. Hal itu benar-benar membuatku kalap.

Gladys terus melawan, namun tubuh mungilnya tentu saja bukan tandingan untukku. Dengan mudah aku mengukungnya dan mencoba menyetubuhinya. Di tengah nafsu yang memuncak tiba-tiba kurasakan tendangan kaki mungilnya mendarat di juniorku. Tendangan yang bisa membuatku melupakan keinginanku dan menyurutkan nafsuku. Aku langsung menjatuhkan diri ke sampingnya dan menahan sakit pada juniorku. Sumpah serapah kukeluarkan karena marah sekaligus sakit yang menyengat. Rupanya kesempatan itu Gladys gunakan untuk melepaskan diri dan kabur dari kamar. Aku tak sanggup menahannya. Pikiranku fokus pada bagaimana meredakan rasa sakit ini. Entahlah bagaimana cara dia pulang. Aku sudah tak peduli sama sekali apakah dia bisa pulang dan sampai dengan selamat.

⭐⭐⭐⭐

Keesokan harinya aku merasa tak bersemangat menjalani praktikku. Aku mencoba menghubungi Gladys namun telponku selalu ditolak. Bahkan beberapa jam terakhir ini aku sama sekali tak bisa menghubunginya. Ada perasaan bersalah karena telah melakukan hal itu namun di saat bersamaan aku masih tak bisa memaafkan perbuatannya. Harga diriku sebagai seorang lelaki benar-benar diinjak-injak oleh Gladys. Tapi aku juga tak ingin melepaskan dirinya. Dialah tujuan hidupku selama ini.

"Dok, pasien terakhir sudah selesai. Tapi ada yang ingin bertemu dengan dokter." Suster Ira masuk ke ruangan dan memberitahuku. "Apakah bisa diterima dok? Atau saya suruh pulang saja? Sepertinya bukan pasien sih, dok."

"Siapa sus?" Belum sempat suster Ira menjawab, tiba-tiba masuklah seorang wanita cantik dengan pakaian yang cukup menggoda mata pria. Termasuk aku. Bagaimana tidak menggoda bila wanita setengah bule yang merangsek masuk ke ruanganku memakai dress tanpa lengan yang panjangnya tidak bisa menutupi paha mulusnya.

"Kak Lukas," sapa wanita cantik itu dengan suaranya yang manja.

"Dok....?" Suster Ira terlihat bingung. Aku tersenyum padanya dan menyuruhnya keluar dan menutup pintu.

"Sus, kalau sudah nggak ada pasien lagi suster boleh balik ke pos. Tugas kamu hari ini membantu saya sudah selesai. Terima kasih ya." Suster Ira memandang tamuku dengan pandangan heran, tapi ia tak berkomentar lagi. Ia segera keluar dan menutup pintu.

"Kak, masih ada praktik lagi nggak malam ini?" Wanita cantik itu duduk di ranjang periksa yang ada di ruanganku.

"Nggak, kenapa Ge?" Ya, Geraldine lah yang mendatangiku. Sebenarnya kami sudah beberapa kali bertemu dan biasanya Geraldine minta nasihat mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kuliahnya.

"Kak Lukas ada janji dengan kak Adis?" Aku menggeleng sambil tersenyum masam karena teringat kejadian tadi malam. "Kak Lukas berantem sama kak Adis?"

"Nggak. Kenapa kamu tanya hal itu?"

"Nggak apa-apa. Cuma nanya aja. Tapi kayaknya tebakan Ge benar. Itu tangan kak Lukas kenapa diperban?"

"Ah, sok tau kamu. Tangan ini? Nggak papa. Cuma tadi malam kena pecahan gelas. Oh iya, ada apa kamu kesini? Tumben nggak telpon dulu?" Aku mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Kak, temani Ge yuk. Aku malam ini ada undangan party nih di club. Aku butuh pendamping."

"Kenapa nggak pergi dengan dokter Vincent?" tanyaku penasaran sambil berdiri dari kursiku dan melepas jas praktikku. Lalu kubuka dasi yang sedari tadi kupakai dan kubuka dua kancing baju yang paling atas. Setelah itu kugulung lengan kemeja hingga ke siku. Aku melakukan itu semua dengan kesadaran penuh bahwa Geraldine memperhatikan semua gerak-gerikku. Entah kenapa aku merasa agak sedikit gelisah dengan kehadirannya. Ah, mungkin ini karena aku habis bertengkar dengan kakak sepupunya, batinku.

"Gimana? Kak Lukas bisa kan malam ini temani Ge?" tanya Geraldine tanpa menjawab pertanyaanku. Aku menoleh ke arahnya, dan... Ya tuhan, sejak kapan cara duduknya menjadi seksi dan menggoda begitu. Shit, kenapa tubuhku bereaksi saat melihatnya. Tahan boy. Jangan berulah, aku mencoba menasihati diri sendiri.

Karena aku sedang suntuk maka ku iyakan ajakan Geraldine. Sudah lama aku nggak clubbing. Apalagi sejak dijodohkan dengan Gladys. Aku benar-benar mencoba meninggalkan kebiasaan burukku. Tapi untuk malam ini aku akan melupakan segala permasalahanku.

⭐⭐⭐⭐