webnovel

MENGEJAR CINTA MAS-MAS

Gladys Mariana Pradito "Sudah deh mi... aku tuh bosen dengar itu lagi itu lagi yang mami omongin." "'Makanya biar mami nggak bahas masalah itu melulu, kamu buruan cari jodoh." "Santai ajalah. Aku kan baru 24 tahun. Masih panjang waktuku." "Mami kasih waktu sebulan, kalau kamu nggak bisa bawa calon, mami akan jodohkan kamu dengan anak om Alex." "Si Calvin? Dih ogah, mendingan jadian sama tukang sayur daripada sama playboy model dia." **** Banyu Bumi Nusantara "Bu, Banyu berangkat dulu ya. Takut kesiangan." "Iya. Hati-hati lé. Jangan sampai lengah saat menyeberang jalan. Pilih yang bagus, biar pelangganmu nggak kecewa." "Insya Allah bu. Doain hari ini laku dan penuh keberkahan ya bu." "Insya Allah ibu akan selalu mendoakanmu lé. Jangan lupa shodaqohnya ya. Biar lebih berkah lagi." "Siap, ibuku sayang." **** Tak ada yang tahu bahwa kadang ucapan adalah doa. Demikian pula yang terjadi pada Gladys, gadis cantik berusia 24 tahun. Anak perempuan satu-satunya dari pengusaha batik terkenal. Karena menolak perjodohan yang akan maminya lakukan, dengan perasaan kesal dan asal bicara, ia mengucapkan kalimat yang ternyata dikabulkan oleh Nya.

Moci_phoenix · Ciudad
Sin suficientes valoraciones
108 Chs

MCMM 45

Happy Reading ❤

"Bang, habis sarapan kalian mau kemana?" tanya Gladys pada Ghiffari dan Khansa saat mereka sarapan. "Sa, ngapain sih mepet-mepet terus sama abang gue?"

"Yee.. abang lo kan suami gue. Gak papa dong gue mepet dia terus." jawab Khansa tak mau kalah. "Sirik aja lo, Dys."

"Kenapa sih dek? Dari tadi protes melulu? Ngiri ya liat kita?"

"Nggak. Biasa aja. Cuma geli aja lihat kalian berdua." sahut Gladys ketus.

"Kok geli? Memangnya kita berdua badut?" balas Khansa.

"Tadi pagi bang Ghiffari. Sekarang gue lihat leher lo nggak jauh beda sama bang Ghiffari. Kalian berdua tuh habis ngapain sih? Biasa aja kali nggak usah ninggalin kissmark dimana-mana," omel Gladys. Endah yang duduk di samping Gladys hanya terkikik geli.

"Yang, adik kamu kayaknya perlu buru-buru dinikahin deh. Biar tahu gimana enaknya nikah, jadi nggak ngomel melulu."

"Benar juga sayang. Iya dek, kamu mau nikah? Kemarin mami telpon abang."

"Mami bilang apa, bang? Jangan bilang abang disuruh jadi WO pernikahan adek."

"Memang iya. Mami minta abang menyelipkan tanggal pernikahan kamu dan Lukas di agenda abang."

"Mami suka gitu deh. Adek kan belum mengiyakan untuk menikah dengan Lukas. Malahan adek agak takut sama Lukas."

"Lho, memangnya Lukas kenapa? Dia ganteng, tajir, dokter, berasal dari keluarga yang cukup terpandang. Nggak kalah dengan keluarga Van Schuman."

"Dia aneh. Freak. Egois. Mesum."

"Apakah Banyu nggak begitu?" tanya Ghiffari. Gladys terdiam. "Kok diam? Kamu masih mengharapkan Banyu?"

"Yang, sudahlah jangan menekan Adis terus."

"Memang kenapa kalau adek masih mengharapkan Banyu? Apa salah bila memilih orang yang membuat adek nyaman? Abang kenapa memilih Khansa? Jangan bilang karena Khansa cantik. Basi!"

"Dys, jadi menurut lo gue nggak cantik?" tanya Khansa.

"Ya cantiklah. Kalau elo nggak cantik mana mungkin abang gue ngejar-ngejar elo, sejak elo kelas 6 SD. Cuma gue yakin bukan kecantikan lo yang bikin dia milih elo jadi istrinya. Karena kalau cuma cantik, banyak cewek-cewek cantik yang mengejar dia. Bahkan ada yang nekat datang ke rumah sambil nangis-nangis demi menarik perhatian bang Ghif."

"Yang mana tuh Dys? Beib, kamu kok nggak pernah cerita?"

"Masa elo lupa sih Sa. Itu lho si Andin, kakak kelas kita yang cantik dan seksi itu. Masa elo lupa. Kan elo ada disitu pas tuh cewek datang ke rumah."

"Kok gue lupa ya?"

"Lo ingat nggak cewek yang pakai mobil pink, yang datang ke rumah gue terus tiba-tiba peluk bang Ghif sambil menangis, memohon bang Ghif terima dia."

"Oh iya, gue ingat sekarang. Yang datang pakai rok pendek banget itu, terus pakai baju atasan agak kurang bahan gitu kan? Tapi cuma sekali itu kan dia datang ke rumah?"

"Bang, boleh gue ceritain nggak ke Khansa soal si Andin?" tanya Gladys meminta persetujuan Ghiffari.

"Memangnya kalau nggak boleh, kamu bakal nurut?" tanya Ghiffari pasrah. "Tapi gue yakin istri gue bakal ngerti kok."

"Kenapa sih Dys?"

"Sini gue bisikin," Gladys membisikkan sesuatu ke telinga Khansa yang langsung terbelalak dan menutup mulut dengan tangannya. Tak percaya ia mendengar cerita Gladys.

"Beneran, Beib? Kalian melakukan itu di bioskop? Waktu itu kita sudah jadian belum?"

"Lo cerita yang mana sih, dek?" tanya Ghiffari penasaran.

"Memangnya ada berapa cerita, Beib? Ada berapa cewek yang begitu ke kamu?" tanya Khansa galak.

"Ya nggak gitu juga, sayang. Waktu itu kamu kan baru masuk SMP sementara aku sudah kelas 1. Kamu waktu itu belum mau jadi pacarku."

"Tapi waktu itu Andin kan juga baru kelas 9, Beib. Kok kamu mau-mauan sih begituan di bioskop. Memangnya nggak malu dilihat orang?" cecar Khansa galak. "Elo tau dari mana cerita ini Dys?"

"Bang Gibran dan Erick yang cerita. Gue aja nggak nyangka bang Ghif melakukan itu di bioskop."

"Ya ampun Yang. Waktu itu aku nggak tau kalau si Andin bakal begitu. Aku kan dari awal taunya mau diajak nonton. Rencananya juga nggak berduaan saja, tapi bareng Gibran, Erick, Lukas, Grace dan Fajar. Eh pas pesan tiket nggak taunya aku duduk terpisah sama mereka. Gibran, Erick dan Fajar duduk bersebelahan. Lukas dan Grace mojok. Lalu aku dan Andin."

"Lukas?"

"Iya calon suami lo malah lebih parah. Dari awal emang sudah niat mojok sama Grace." Jawab Ghiffari.

"Tetap fokus ke cerita kamu, Beib," Khansa mengingatkan. "Aku mau tau kelanjutannya."

"Nggak usah dilanjutin ya, Yang. Kamu pasti bakal marah kalau dengar kelanjutannya." Ghiffari dengan wajah memelas. Gladys menahan tawa melihat abangnya serba salah.

"Ceritain gimana kejadiannya. Kalau kamu nggak mau ceritain, nanti malam aku tidur di kamar Gladys."

"Yang, masa kamu tega ninggalin suami kamu yang ganteng ini tidur sendirian. Nanti kalau diambil cewek lain gimana?"

"Ooh kamu memang niat cari cewek lain ya?"

"Nggak sayang. Suer deh, aku nggak pernah niat cari cewek lain. Cuma ada kamu di hatiku."

"Ya sudah, ceritain gimana detail kejadiannya. Kalau kamu nggak mau cerita, berarti memang masih ada cerita lain selain Andin."

"Beneran nggak ada cerita lain. Cuma sama Andin aja."

"Ya sudah, ceritain!"

"Dek, gara-gara kamu nih," omel Ghiffari pada Gladys. "Tanggung jawab dong!"

"Sa, gue tinggal ya. Gue mau ke gym dulu ya. Bang, gue tinggal ya." Dengan cueknya Gladys mengajak Minah pergi meninggalkan pasangan pengantin baru itu.

"Yang....." Ghiffari masih berusaha membujuk Khansa.

"Lanjutin atau aku akan menelpon bang Gibran dan Erick untuk tahu kelanjutannya. Dan kamu tahu kan apa yang terjadi kalau aku minta mereka yang menceritakan. Bukan hanya kisah Andin yang akan mereka ungkap," ancam Khansa. Ghiffari terdiam. Waduh, bisa gawat kalau mereka bercerita. Bakal banyak bumbunya.

"Gimana?"

"Hmm.. oke aku ceritain. Tapi please jangan marah. Itu semua hanya masa lalu." Ghiffari bingung harus mulai dari mana.

"Mulai dari saat kalian mulai nonton. Film apa?"

"Aku lupa judulnya, tapi film horor gitu. Kamu tau kan film horor Indonesia suka ada selipan adegan 17 tahunnya. Awalnya aku biasa aja nontonnya. Tau-tau Andin mulai pegang tanganku. Ya kubiarin aja. Kupikir wajarlah kalau orang pdkt, jalan bareng terus pegangan tangan. Lalu dia mulai bersandar di bahuku. Aku juga masih biasa saja. Tau-tau tangan dia mulai mengelus-elus pahaku dan dadanya mulai ditempelkan ke lenganku. Karena aku terlalu fokus nonton, aku nggak sadar kalau tangan dia mulai grepe-grepe bagian...." Gihffari tak melanjutkan.

"Bagian apa?" desak Khansa sambil memasang wajah galak. Ghiffari ragu untuk melanjutkan ceritanya. Bisa kacau kalau aku ceritakan semuanya, batin Ghiffari.

"Yang, sudah cukup ya ceritainnya."

"Nggak. Lanjutin ceritanya sampai selesai."

"Tapi, Yang....." Ghiffari pasrah saat melihat wajah galak sang istri. Wajah galak yang membuatnya jatuh cinta. "Oke-oke aku lanjutin. Tangannya grepe-grepe pegang bagian 'ini'."

"What?! Serius?!" Ghiffari mengangguk. "Kamu diam saja?"

"Aku berusaha menghentikan tangannya, tapi dia malah menciumku."

"Lalu?"

"Ya gitu deh."

"Gitu deh gimana?" desak Khansa lagi. "Kalian nggak sampai ML di dalam bioskop kan?"

"Ya nggaklah. Saling raba sambil ciuman aja kok. Nggak lebih."

"Emangnya nggak nafsu?"

"Nafsu sih nafsu, tapi untungnya masih pake logika. Kebayang gimana marahnya papi dan eyang kalau sampai tahu," jawab Ghiffari malu karena terpaksa membuka aib masa lalunya.

"Itu sebelum Andin datang ke rumah sambil nangis-nangis? Itu sebabnya kamu mepet aku terus? Untuk menghindari dia?" Ghiffari mengangguk.

"Setelah kejadian di bioskop itu, besoknya dia tambah agresif mendekati aku. Bahkan dia nggak segan-segan minta diajak ke hotel. Dia bilang, punya hotel sendiri kenapa nggak dipakai buat bersenang-senang." Khansa geleng-geleng kepala mendengar cerita itu.

"Astaghfirullah. Gila benar tuh cewek. Nggak ada malunya, ya. Anak SMP sudah berani ngajak begituan di hotel. Gila!!"

"Makanya aku pilih mendekati kamu, sayang."

"Sebagai pelarian? Atau sebagai bemper supaya nggak dikejar Andin?"

"Ya nggak gitu juga sayang. Aku kan memang sudah suka sama kamu sejak aku SMP. Tapi waktu itu kamu masih bocah banget. Boro-boro diajak pacaran. Kalau ketemu aja yang dibahas masalah kalah main karet lawan Susan dan Prita. Kamu masih ingusan, dan benar-benar ingusan kalau lagi menangis. Kalau sudah gitu kamu dan adek pasti langsung minta digendong di belakang sama aku dan Gibran."

"Iih kata siapa aku ingusan?" wajah Khansa memerah mendengar cerita Ghiffari tentang masa kecilnya. "Nggak sih. Kamu suka melebih-lebihkan."

"Justru sikap polosmu itu yang bikin aku sayang banget sama kamu. Aku juga baru naksir kamu pas kamu kelas 6 SD. Saat itu kamu mulai terlihat seperti seorang gadis remaja. Bukan bocah lagi. Masih ingat nggak waktu pertama kali dapat menstruasi? Kamu nggak sadar kalau rok sekolahmu ada bercak darahnya. Waktu itu kamu hampir lulus SD ya. Justru aku yang kasih tau kamu dan meminta mami mengajarkanmu memakai pembalut."

"Ih, malu-maluin banget ya."

"Kamu malu-malunya cuma pas hari itu saja. Besoknya kamu ya bersikap biasa aja seolah tidak ada yang terjadi. Bahkan kamu dan adek masih suka berkeliaran di rumahku hanya pakai celana pendek dan kaos dalam saja. Padahal saat itu, dada kamu sudah mulai tumbuh. Kadang kala aku suka kalang kabut sendiri kalau kamu tiba-tiba melompat ke punggungku dan meminta digendong. Kamu nggak tau ya saat itu aku kan bukan bocah lagi. Tapi sudah kelas 10. Aku sudah mengalami pubertas. Dan kamu dengan seenaknya minta digendong di belakang sementara dadamu yang sudah mulai tumbuh itu menempel di punggungku. Bisa dibayangkan bagaimana setengah matinya aku menahan reaksi tubuhku."

"Kenapa nggak protes?"

"Gimana mau protes kalau nanti adek dan kamu malah ngambek dan akhirnya malah aku yang ditegur mami." Khansa hanya nyengir mendengar cerita suaminya.

"Jadi alasan kamu dulu memilihku apa?"

"Entahlah. Aku hanya mengikuti kata hatiku. Yang pasti aku mencintaimu dan menyayangimu. Mungkin juga karena aku sudah mengenalmu sejak kecil sehingga aku merasa nyaman berada di dekatmu, ingin melindungimu dan juga hidupku memiliki arah yang jelas dan lebih teratur. Kamu mampu membawaku kepada kebaikan. Walau ada beberapa temanku yang bilang kalau aku terlalu menurut padamu." Ghiffari menarik Khansa ke dalam pelukannya.

"Apapun alasanku menikahimu, yang pasti kamu adalah masa kini dan masa depanku. Aku tak bisa menjanjikan kebahagiaan untukmu tapi aku ingin mengajakmu bersama-sama meraih kebahagiaan itu. Kamu bersedia kan menjalani ini bersamaku?"

"Kok baru sekarang nanyanya?"

"Memangnya kenapa?"

"Telat ah, sudah dinikahi, sudah dibikin nggak perawan, baru ditanya bersedia atau nggak."

"Memangnya kamu ada rencana menolak diajak menikah kalau waktu itu aku menanyakan kesediaanmu?"

"Iyalah. Aku akan menolak..."

"Kok baru bilang sekarang kalau mau menolak aku? Kenapa nggak bilang sebelum aku melamarmu?"

"Dengar baik-baik sayang. Coba dari awal kamu menanyakan hal itu, aku nggak akan menolak menikah secepatnya sama kamu, beib. Bahkan kalau bisa lebih dulu daripada Wina."

"Uuh.. nakal ya istriku. Bilang dong kalau mau cepat-cepat menikah."

"Ya nggak mungkinlah bang aku yang minta buru-buru dinikahin. Nanti kamu malah menjauh dan takut sama aku. Nanti kamu pikir aku kegatelan lagi."

Ghiffari tertawa dan mengecup puncak kepala istrinya. "Kupikir kamu sama kayak Gladys yang nggak mau buru-buru nikah. Nggak taunya..."

"Kalau kita nikahnya lebih duluan daripada Wina, pasti saat ini kita sudah punya momongan ya, bang."

"Kalau cuma masalah momongan kita bisa segera proses kok. Balik ke kamar yuk."

"Iih.. nanti Gladys ngomel lho kalau aku menghilang di kamar terus sama kamu. Aku ikut kesini kan karena mau menemani dia selama fashion week."

"Adek nggak bakalan marah. Dia sudah ada yang menemani."

"Endah maksudmu? Endah kan cuma pelayan pribadi. Masa ke acara resmi bawa-bawa pelayan."

"Bukan Endah, tapi Banyu."

"Banyu? Kamu tahu dari mana bang?"

"Tadi sebelum breakfast Banyu chatting aku. Minta ijin menemani Gladys."

"Terus kamu ijinin?" Ghiffari mengangguk.

"Kalau dipikir-pikir Banyu pantas-pantas saja kok menjadi pendampingnya adek. Dia ganteng, pendidikannya juga lumayan, anaknya tau tata krama, agamanya juga bagus. Bahkan sebenarnya berasal dari keluarga yang berkecukupan. Hanya masalah pekerjaan saja yang dia belum beruntung."

"Kamu setuju kalau nanti Gladys memilih Banyu."

"Kenapa tidak."

"Lalu kenapa waktu itu kamu menyuruh Banyu menjauhi Gladys?"

"Apa?! Abang meminta Banyu menjauhi adek? Abang kok jahat sih?" Tiba-tiba sepasang tangan mungil mencubit keras lengan Ghiffari.

"Adeeek.. sakit tau.." Ghiffari berusaha menghindari cubitan Gladys, bahkan dia sampai berlindung di balik tubuh mungil istrinya. Tapi rupanya Khansa lebih berpihak pada Gladys daripada suaminya.

"Yang, kamu kok ikut-ikutan sih?" Keluh Ghiffari setelah akhirnya kedua perempuan mungil itu menyudahi serangan mereka.

"Kamu tega sih sama adik sendiri. Kamu nggak peduli ya kalau Gladys kelimpungan sendiri gara-gara Banyu tak membalas chat dan tak mengangkat telpon." omel Khansa sambil memeluk Gladys yang tubuhnya gemetar akibat shock, marah dan sedih.

"Abang jahat," bisik Gladys sedih.