webnovel

MENGEJAR CINTA MAS-MAS

Gladys Mariana Pradito "Sudah deh mi... aku tuh bosen dengar itu lagi itu lagi yang mami omongin." "'Makanya biar mami nggak bahas masalah itu melulu, kamu buruan cari jodoh." "Santai ajalah. Aku kan baru 24 tahun. Masih panjang waktuku." "Mami kasih waktu sebulan, kalau kamu nggak bisa bawa calon, mami akan jodohkan kamu dengan anak om Alex." "Si Calvin? Dih ogah, mendingan jadian sama tukang sayur daripada sama playboy model dia." **** Banyu Bumi Nusantara "Bu, Banyu berangkat dulu ya. Takut kesiangan." "Iya. Hati-hati lé. Jangan sampai lengah saat menyeberang jalan. Pilih yang bagus, biar pelangganmu nggak kecewa." "Insya Allah bu. Doain hari ini laku dan penuh keberkahan ya bu." "Insya Allah ibu akan selalu mendoakanmu lé. Jangan lupa shodaqohnya ya. Biar lebih berkah lagi." "Siap, ibuku sayang." **** Tak ada yang tahu bahwa kadang ucapan adalah doa. Demikian pula yang terjadi pada Gladys, gadis cantik berusia 24 tahun. Anak perempuan satu-satunya dari pengusaha batik terkenal. Karena menolak perjodohan yang akan maminya lakukan, dengan perasaan kesal dan asal bicara, ia mengucapkan kalimat yang ternyata dikabulkan oleh Nya.

Moci_phoenix · Ciudad
Sin suficientes valoraciones
108 Chs

MCMM 29

Happy Reading❤

"Nyu, ibu mau ngomong serius sama kamu."

"Tentang apa bu? Tentang si gadis manja itu? Atau tentang adik-adik? Oh ya, Banyu juga mau kasih tau ibu kalau 2 minggu lagi Banyu akan maju sidang. Doain lancar ya, Bu."

"Alhamdulillah kalau kuliah kamu sudah mau selesai. Ibu doakan semuanya berjalan lancar dan kamu dapat hasil yang baik." Aminah mengambil tempat di samping Banyu yang sedang menikmati makan malam.

"Nyu, ini tentang ayahmu." ucap Aminah hati-hati. "Kamu benar-benar nggak mau bertemu ayahmu? Dia menanyakan kamu terus lho."

"Ibu masih menemui lelaki bajingan itu?"

"Nyu, dia itu ayahmu. Darah dagingmu. Tolong jangan menyebutnya dengan ucapan yang buruk. Apa yang terjadi di masa lalu biarkan berlalu."

"Nggak bisa bu. Dia sudah menyakiti ibu." Aminah terdiam mendengar ucapan Banyu. "Dia bukan hanya senang mabok dan memukul kita, tapi dia juga senang main perempuan. Pelacur itu hanya satu di antara sekian pacar-pacarnya."

"Nyu, itu hanya masa lalu. Hapus dendam dan sakit hatimu."

"Nggak semudah itu bu. Banyu masih ingat bagaimana dia memukul ibu di hadapan pelacur itu. Padahal saat itu ibu sedang sakit."

"Ibu ingat bagaimana perlakuan ayahmu terhadap ibu. Bahkan ibu nggak bisa melupakan hal itu. Tapi bukan berarti ibu tidak bisa memaafkan dia."

"Hati ibu terbuat dari apa sih? Kok gampang banget maafin tuh orang?"

"Hati ibu sama seperti hati kamu, Nyu. Tapi ibu selalu ingat nenekmu dulu bilang jangan membalas kejahatan dengan kejahatan. Balaslah orang yang mendzalimimu dengan mendoakan yang baik untuk orang tersebut. Kejadian yang menimpa ibu hanyalah sedikit ujian yang Allah berikan kepada ibu. Allah saja mau memaafkan hambanya, masa ibu yang hanya manusia biasa dengan sombongnya nggak mau memaafkan." Banyu terdiam mendengar ucapan Aminah. Dia menyadari apa yang diucapkan ibunya adalah benar, tapi tetap tak mudah baginya untuk memaafkan lelaki bajingan itu.

"Ayahmu sakit keras, Nyu. Dia mau bertemu denganmu sebelum dia meninggal. Dia juga meminta bertemu dengan adik-adikmu. Saat ini ayahmu bolak balik ke Malaysia untuk mengobati penyakitnya. Berikan dia kesempatan untuk bertemu dengan anak-anaknya."

"Banyu belum siap memaafkan dia, Bu. Tidak untuk saat ini."

"Bagaimana dengan adik-adikmu? Mereka ingin bertemu ayahmu." Banyu terdiam.

"Kalau memang ibu mengizinkan mereka bertemu dengan lelaki itu dan mereka juga memiliki keinginan itu, Banyu tak berhak melarang mereka. Walaupun Banyu tetap nggak suka mereka bertemu dengannya."

"Ibu mengerti dan dapat memahami perasaanmu. Ibu hanya berharap kamu mau segera berdamai dengan masa lalu dan dendam-dendammu," ucap Aminah. "Termasuk melupakan segala kisahmu dengan Senja dan mulai membuka hatimu untuk wanita lain."

"Kok jadi ngebahas masalah itu sih bu?" protes Banyu. "Banyu sudah move on kok bu."

"Yang benar? Lalu kenapa belum ada yang menggantikan Senja?" tanya Aminah hati-hati. "Usiamu terus bertambah, Nyu. Demikian juga usia Ibu. Terkadang Ibu suka iri lihat bu ustadz yang usianya di bawah ibu, tapi sudah punya 2 orang cucu."

"Ibu main saja sama Zahra dan Syahnaz. Anggap mereka cucu ibu." Jawab Banyu santai.

"Nyu, gimana pendapatmu tentang Gladys?"

"Kok tiba-tiba membahas si gadis manja itu? Memangnya ibu mau punya mantu kayak dia? Dia itu ibarat bintang di langit bu. Tak terjangkau oleh Banyu."

"Tapi sepertinya bintangnya mau turun tuh, Nyu."

"Gadis model dia nggak cocok dapat suami kayak Banyu, Bu."

"Lalu cocoknya yang seperti apa?"

"Yaaa.. yang sekelas dengan dialah. Yang kaya dan ganteng. Bukan tukang sayur kayak Banyu, Bu. Dekil dan miskin."

"Anak ibu ganteng kok. Kebetulan saja anak ibu yang ganteng ini pekerjaannya sebagai tukang sayur. Memangnya kamu mau terus menerus menjadi tukang sayur? Nggak pengen kerja di kantoran? Apalagi sebentar lagi kamu lulus kuliah. Sayang lho kalau hanya jadi tukang sayur."

"Ada yang salah bu dengan menjadi tukang sayur?" tanya Banyu.

"Nggak ada yang salah Nyu, tapi sayang aja gelar kamu kalau hanya menjadi tukang sayur keliling."

"Maksud ibu gimana?"

"Bagaimana kalau tukang sayurnya naik kelas? Sekarang ini kan kamu sudah mulai merambah menjadi supplier di restonya ambu Vina. Nah, kenapa nggak sekalian menjadi tukang sayur online? Kamu kan sudah punya pelanggan, bahkan biasa menerima pesanan melalui WA. Nah, kamu kembangkan saja menjadi bisnis yang lebih besar. Pakai ilmu kamu untuk memperluas usaha kamu. Gimana?"

"Ibu malu punya anak tukang sayur?"

"Ibu nggak pernah malu, Banyu. Apapun yang kamu lakukan, selama itu halal, buat ibu nggak jadi masalah. Tapi menurut ibu, kalau kamu mau mengumpulkan biaya untuk mensupport adik-adikmu ada bagusnya kamu kembangkan bisnis sayuran ini. Selain usaha berkembang dan memberikan hasil yang lumayan, kamu juga bisa membuka lapangan pekerjaan untuk orang lain."

"Apa hanya itu alasannya bu?" selidik Banyu. "Apa bukan karena ada faktor lain yang membuat ibu mengusulkan hal ini?"

"Nyu, kalau ibu boleh jujur. Ibu lebih sakit hati saat Senja meninggalkanmu karena pekerjaanmu. Ibu lebih sakit hati saat ada orang yang merendahkan anak ibu. Siapapun wanita yang nanti mendampingi kamu, bisa dipastikan orang tuanya akan mempertanyakan pekerjaan kamu."

"Apakah ibu melakukan ini karena ada seorang gadis kaya yang 'melamar' anak ibu?" Aminah memandang ragu pada Banyu sebelum akhirnya mengangguk. Banyu hanya mampu menghela nafas. "Ibu nggak perlu mengkhawatirkan hal-hal seperti itu. Kalau memang di luaran sana tidak ada wanita yang bersedia menerima pekerjaanku sebagai seorang tukang sayur, Banyu nggak keberatan. Mungkin memang bukan disini Banyu akan menemukan jodoh."

"Maksudmu? Kamu mau pindah kota? Ibu nggak setuju. Ibu nggak mau pisah kota dengan anak-anak ibu."

"Kalau nanti adek diajak suaminya pindah gimana? Ibu akan menolaknya?"

"Itu beda, Nyu. Seorang wanita harus menuruti suaminya. Kalau ibu boleh meminta, ibu mau anak-anak lelaki ibu tinggal satu kota setelah menikah nanti."

"Ibu doakan saja supaya Banyu bisa cepat bertemu jodoh yang bisa menerima diri Banyu apa adanya dengan pekerjaan seperti ini. Doakan Banyu bertemu calon mertua yang tidak memandang sebelah mata pekerjaan dan keluarga Banyu."

"Ibu selalu mendoakan yang terbaik untuk anak-anak ibu. Tapi Nyu, kayaknya nak Gladys serius tuh."

"Wah, ibu sekarang sudah mulai matre nih. Kan tadi Banyu sudah bilang kalau dia terlalu tinggi untuk digapai oleh Banyu. Kalaupun dia mau menerima pekerjaan Banyu, apakah orang tuanya juga akan menerima? Banyu nggak yakin bu. Sudahlah, ibu nggak usah memikirkan hal ini. Suatu saat nanti hati Banyu pasti akan terbuka dan menemukan calon istri yang mau menerima Banyu apa adanya."

Banyu memeluk sayang ibunya. "Sekarang ibu istirahat saja. Banyu juga mau tidur cepat. Biar besok nggak kesiangan belanjanya."

⭐⭐⭐⭐

Jam 6 pagi Banyu sudah berkeliling dengan motornya. Mendatangi para langganannya.

"Mas Banyu, kemana aja dua hari kemarin nggak jualan?" Tanya Astuti saat Banyu sudah memarkirkan kendaraannya.

"Biasa mbak. Ada urusan kuliah yang nggak bisa ditinggal." jawab Banyu sambil tak lupa menebar senyum ramah kepada para pelanggannya.

"Mas, bawa terong nggak?" tanya teh Nia sambil melihat-lihat barang yang dibawa Banyu.

"Ada teh. Ambil saja disitu. Saya lagi bersihin ikan pesanan bu Adi nih."

"Mau dimasak apa teh terongnya?" tanya Eyang Tuti yang pagi itu diantar belanja oleh Rahmi, cucunya.

"Kata bu Ine sih mau dibalado. Anak-anaknya bu Ine doyan banget makan yang pedas-pedas. Padahal mereka masih SD." Jawab Nia. "Mas, aku ambil 2 bungkus terong ya. Oh ya, ini aku beli nanas tolong dikupasin. Udang pesanan bu Ine ada, mas?"

Banyu yang sudah selesai membersihkan ikan, langsung mengambilkan barang yang diminta teh Nia. Lalu ia membersihkan nanas seperti yang diminta teh Nia.

"Pagi mas Banyu. Selama pagi ibu-ibu." sapa seorang gadis cantik. Sontak semua mata memandang gadis itu dengan rasa heran. Bagaimana nggak heran kalau putri bungsu pak Praditho mau keluar dari peraduannya dan mendatangi mereka. Biasanya jangankan menegur, menoleh pun tidak.

"Eh, pagi Dys. Habis olahraga?" Balas Banyu sambil menatap sekilas ke arah gadis itu.

"Iya mas. Tadi habis shalat subuh iseng-iseng jogging ke taman." jawab Gladys sambil melihat-lihat sayuran dan buah yang dibawa Banyu.

"Sendirian?" Banyu balik bertanya. "Berani? Kenapa nggak minta temani sama Gibran atau bang Ghiffari? Bahaya, anak gadis jogging sendirian."

"Mas Banyu kenal sama nak Gladys?" tanya Eyang Tuti memecah kebisuan yang mendadak terjadi di antara pelanggan.

"Kenal eyang. Kebetulan saya berteman dengan kakak-kakaknya." jawab Banyu sopan. "Eyang sama siapa? Cucunya ya?"

"Iya. Ini Rahmi yang waktu itu eyang ceritain. Cantik kan? Gimana? Kamu mau nggak terima tawaran eyang waktu itu?"

"Kasihan dek Rahmi kalau harus berjodoh dengan tukang sayur seperti saya Eyang. Belum lagi selisih usia kami cukup jauh. Dek Rahmi mungkin baru 17-18 tahun, sementara saya sudah 26 tahun. Lagipula dek Rahmi juga pasti masih ingin melanjutkan pendidikannya." Tolak Banyu dengan sopan. "Banyu yakin, dek Rahmi pasti sudah punya pacar. Lah wong dek Rahmi cantik begini."

Sementara itu Gladys memperhatikan interaksi antara Banyu dengan para pelanggannya. Dia memperhatikan ada satu wanita yang dari tadi terus-terusan memepet Banyu.

"Mbak Gladys mau belanja apa? Tumben bukan mbok Siti yang belanja," tanya Astuti sambil mendekati Banyu yang sedang sibuk dengan pelanggan lain.

"Nggak mau belanja, tante." sahut Gladys. "Cuma mau ketemu sama mas Banyu. Ada yang mau diomongin sama mas Banyu."

"Kok tante sih? Umur kita nggak beda jauh kok. Memang sih umur saya sedikit di atas mas Banyu. Tapi ya belum pantas juga dipanggil tante. Kok kesannya tua banget. Iya kan, mas?"

"Hehehe.. iya mbak As. Mbak As masih muda kok."

"Tuh dengar. Banyu saja memanggil saya pakai mbak. Kamu juga harusnya begitu."

"Mbak As mukanya lebih dewasa dari umurnya sih." celetuk teh Nia.

"Bilang aja lebih tua, teh Nia." sambar Jeng Mita yang memang sering ribut dengan Astuti.

"Eh Jeng Mita kalau ngomong jangan sembarangan ya. Umur saya saja masih dibawah Jeng Mita, kok seenaknya aja bilang muka saya lebih tua. Gini-gini saya perawatan pakai diamond gitu lho. Memangnya Jeng Mita yang perawatan cuma pakai produk endorse." Astuti sewot.

"Tapi saya nggak ngaku-ngaku muda lho, mbak As. Saya juga nggak protes kalau dipanggil tante sama mbak Gladys." Balas Jeng Mita tak mau kalah.

"Eh, ibu-ibu kok malah bertengkar sih? Ayo damai.. damai ... Malu lho dilihat sama mbak Gladys." Eyang Tuti berusaha melerai. Untunglah keduanya menurut. Gladys hanya bisa menatap ngeri pelanggan-pelanggan Banyu.

"Mas, nanti selesai jam berapa?" tanya Gladys pelan pada Banyu yang dari tadi tidak memperhatikannya. "Liat sini dong kalau aku ajak ngomong."

"Nggak mau. Takut dosa," jawab Banyu singkat. Gladys baru menyadari kenapa dari tadi Banyu tidak mau melihat ke arahnya.

"Maaf."

"Kalian ngapain sih bisik-bisik begitu?" tanya Astuti curiga. "Kalau lagi rame begini nggak boleh bisik-bisik. Kamu juga jangan dekat-dekat sama mas Banyu. Dia itu akan menjadi calon suamiku."

Gladys terkejut mendengar ucapan Astuti. Ia tak menyangka bahwa Banyu sudah memiliki calon istri.

"Ah, mbak As bisa saja. Bercandanya jangan begitu. Nggak enak sama yang lain. Nanti disangka mbak As serius." elak Banyu.

"Lho, aku serius lho mas. Kalau mas Banyu mau, bulan depan kita nikah."

"Waah, mbak As gercep nih. Nggak sabaran banget ya mbak." ledek bu Adi.

"Maklum bu, perawan tua," bisik Jeng Mita. Bu Adi tertawa ditahan mendengar ucapan Jeng Mita. Astuti yang mendengar mereka bisik-bisik dan cekikikan langsung menoleh dengan garang. Banyu melihat gelagat akan terjadi perang dunia langsung menengahi.

"Maaf mbak, saya nggak bisa menjadi suami mbak As. Saya sudah punya pacar."

"Yang benar mas?" tanya para pelanggan tak percaya, terutama Astuti.

"Baru pacar kan mas? Belum jadi istri kan?" kejar Astuti penasaran.

"Sudah jadi calon istri mbak. Tapi nunggu saya lulus dulu baru kami akan membicarakan rencana pernikahan kami." jawab Banyu.

"Waaah.. mbak As patah hati dong." ledek para pelanggan lain. Astuti langsung memberengut mendengar jawaban Banyu. Setelah membayar belanjaannya ia langsung pergi tanpa banyak bicara.

"Mas Banyu serius?" tanya bu Adi yang masih penasaran. "Padahal kalau sama mbak As, mas Banyu nggak usah repot jualan kayak gini. Mas Banyu tinggal duduk manis dan menikmati hidup."

"Wah, kayak benalu dong bu. Saya nggak bisa bu numpang hidup sama istri. Malu."

Gladys dari tadi hanya diam mengamati kejadian tadi. Diambilnya hp dari kantong celana pendeknya dan dikirimnya pesan kepada Banyu.

>>"Habis ashar aku mau ke rumah."

Banyu langsung mengeluarkan hpnya saat merasakan getaran di kantongnya. Dibukanya pesan yang masuk. Dengan kening berkerut ia menoleh ke arah Gladys berdiri, tapi gadis itu sudah tak nampak.

"Cari mbak Gladys ya, mas?" tanya teh Nia. "Sudah pulang setelah melihat drama mbak Astuti tadi. Tumben ya mbak Gladys mau keluar dari istananya. Biasanya dia keluar rumah harus pakai mobil dan diikuti pelayan pribadinya. Atau jangan-jangan Endah sudah dipecat ya."

Banyu hanya tersenyum tanpa berkomentar. Setelah ibu-ibu selesai dengan urusan belanjanya, Banyu meninggalkan tempat itu.

⭐⭐⭐⭐