webnovel

Sakit Hati

.

.

Preinan POV

.

Aku mengeratkan pelukanku lagi, bukan karena Raiga membawa motor dengan kencang, tapi gara gara gerimis yang turun pagi ini. Udaranya sedikit menusuk kulit.

Bbrrrr...

Anginnya sangat dingin. Tapi rasanya tetap hangat kalau memeluk orang lain. Maksudnya Raiga, karena aku tidak yakin rasanya akan sama kalau aku memeluk orang selain dia.

Ah, tidak terasa sudah sampai gerbang sekolah. Aku kadang kesal, kenapa kalau bareng Raiga jarak sekolah rasanya seperti sangat dekat.

Buru buru aku turun dari motornya dan menepi ke dekat pos satpam. Aku tidak mau bajuku tambah basah lagi.

....

Setelah memarkirkan motor, dia berjalan menghampiriku, lalu melepaskan helm dari kepalaku dan merapikan tatanan rambutku yang sedikit berantakan. Meski ini adalah yang kesekian kalinya, tapi rasanya tetap canggung dan aneh.

"Pipi kamu merah, kamu kedinginan, ya?." tanya Raiga yang tiba tiba menyentuh kedua pipiku.

Aku membulatkan mata dan seakan menahan napas karena jarak wajah kami menjadi sangat dekat.

"Kalo dingin, kenapa tadi nggak pake jaket?." lanjutnya.

"Ah, aku... nggak tau kalo tiba tiba bakal hujan." jawabku sedikit gugup.

"Tapi, baju kamu jadi basah. Kalo masuk angin, gimana?."

"Nggak apa apa, nanti ada kelas olahraga, kok. Aku bisa ganti baju dari sekarang."

Dia lalu tersenyum dan mengusap usap pipi merahku lagi dengan lembut. "Bagus kalo gitu. Sekarang biar aku anter kamu ke kelas, ya."

Eh?...

Aku sedikit tertegun. Tapi dengan cepat aku mengangguk mengiyakan. "Mm."

Dia melepas sweater abu abu yang dia kenakan, lalu membentangkannya diatas kepala kami berdua. Dengan sigap aku masuk kedalam peneduhannya. Dan berjalan beriringan dengan langkah kakinya.

Beberapa kali bahu kami beradu karena sempitnya lingkup baju yang melindungi kami, membuat kami sesekali saling menoleh dan memandang satu sama lain.

Benar benar situasi yang kikuk.

Sampai di ambang pintu kelasku, barulah dia melangkah sedikit menjauh dan berhenti. Aku memalingkan wajahku ke arahnya dengan senyuman yang tersimpul di bibir.

"M... makasih."

"Iya...." dia tersenyum lalu mengacak rambutku dengan jahil.

"Tapi Prei, pulang sekolah hari ini, aku nggak bisa anter kamu. Aku ada tugas tambahan dari pak Burhan." kata Raiga yang membuatku mendadak lesu.

"Begitu, ya? Ng... nggak apa apa, kok. Biar aku suruh pak Eko buat jemput."

"Good boy... yaudah, sana masuk." ucapnya yang beralih mengelus pipiku sekilas.

Tanpa membalasnya, aku hanya tersenyum kecut dan langsung masuk ke dalam kelas. Yang baru aku sadari kalau suasananya begitu sepi.

Kemana orang orang?...

"Prei ....!" Abi menyambutku dengan teriakan yang terdengar kesal.

"Apa?."

"Kenapa baru dateng?."

"Diluar hujan, tuh liat! Bajuku basah." sahutku sembari mengulurkan lengan bajuku padanya.

"Bukannya, kamu pake mobil?."

Ah, iya... aku lupa memberi tahu Abi.

"Sekarang nggak lagi. Aku naik motor bareng temen."

"Oke, what ever. Sekarang mending kamu buruan ganti baju, deh. Semua orang udah pergi ke aula."

Dia mendorong dorong punggungku ke ruang ganti yang ada di belakang kelas. Lalu, dengan tak sabaran menungguku berganti pakaian.

Ah, dasar Abi.

....

Karena hujan sudah reda, guru olahraga memutuskan untuk kami pergi kelapangan daripada di aula. Aku dan Abi yang datang terlambat, tidak sempat mengikuti pemanasan terlebih dulu. Alhasil, kami hanya menunggu giliran untuk praktek lari jarak menengah.

Tak berselang lama, giliranku dan seorang anak bernama Panji bersiap untuk berlari dan menunggu aba aba dari pak guru.

"Siap!."

"Sedia!."

Prriittt!!...

Priwit ditiup kencang. Aku berlari dengan penuh semangat mengitari sisi lapangan yang luas. Panji pun sama halnya denganku, dia juga terlihat sangat bersemangat, bahkan kini dia berada beberapa meter di depanku.

Aku tak mau kalah.

Aku menarik napas dalam lalu berusaha berlari lebih kencang lagi. Ini baru tiga putaran, masih ada dua putaran yang tersisa. Tapi, tubuhku mendadak terasa aneh.

Aku memperlambat langkahku sembari memegangi perut bawahku yang mulai terasa kencang. Rasanya tiba tiba perih dan nyeri. Aku masih tetap berusaha berlari. Hingga beberapa meter, rasa perihnya bertambah parah.

Hah, aku tidak kuat lagi.

Aku menghentikan langkahku dan memilih berbaring di salah satu sudut lapangan. Dengan meringis kesakitan aku mencoba meringkukan badanku ke sebelah kiri berharap rasa sakitnya cepat menghilang.

Tapi, sial! Perutku malah bertambah sakit saja ketika aku meremasnya dengan kuat.

Pak guru dan beberapa murid lain terlihat berlari ke arahku dengan panik. Terutama Abi yang berhasil sampai lebih dulu dan langsung memegang tanganku. Wajahnya terlihat khawatir.

"Hei! kenapa?." suara Abi terdengar gemetar.

"Preinan... hei! Dengerin bapak. Coba lurusin kaki kamu dulu. Pelan pelan." Kata pak guru yang berusaha terlihat tenang.

Beliau memegangi kedua kakiku yang menekuk lalu perlahan mulai meluruskannya. Tapi seiring diluruskan, perutku bertambah nyeri dan melilit. Rasanya seperti ususku ditarik dan diremas dengan paksa. Begitu menyiksa hingga air mataku menetes dengan sendirinya.

Hiks... "Nggak bisa, pak. Sakit...." lirihku parau.

"Sedikit lagi, ayo paksain! Nanti perut kamu tambah keram."

Dengan sedikit terisak aku berusaha menuruti titah pak guru. Dan melentangkan tubuhku dengan lurus. Beliau menekan nekan titik tertentu di perutku, yang sontak membuat rasa sakit yang luar biasa. Tubuhku menegang. Napasku menjadi payah dan terengah engah. Di selang perasaan yang menyiksa ini. Aku meremas tangan Abi dengan kencang.

Untuk sesaat aku pikir, kalau aku akan mati.

******

Raiga POV

"Aaaa... Rai, ayolah!." Rengekan Erik terus menggangguku hingga aku harus menutup kedua telingaku.

"Rik! Please, deh. Kamu tau kan kalo aku disuruh beresin gudang sama pak Burhan? Terus gimana bisa aku bantuin kamu ngerjain tugas!." timpalku tegas.

Lagipula, salah dia sendiri. Patah hati berhari hari sampai tidak mengerjakan tugas apapun.

"Malemnya kan bisa ...."

"Ogah! kecuali kalo dibayar."

"Mata duitan banget, sih." wajahnya mendadak berubah kesal.

"Nggak mau, ya... nggak maksa."

Dia mengdengus dengan kesal, dan terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menyerah. "Yaudah, oke!."

"Nah, gitu dong." sahutku sedikit menahan tawa. "Pulang sekolah, beliin nasi uduk bu Ema, ya."

"Ck, iya iya. Terserah."

Haha...

Hari paling menyenangkan adalah hari dimana kau bisa memanfaatkan sahabatmu sendiri. Untuk kepuasan pribadi.

*******

Preinan POV

"Tuan!." panggil pak Eko yang baru saja sampai di ambang pintu dengan napas terengah engah.

Dia buru buru menghampiri aku dan Abi yang duduk di bangku kelas kami. Aku memutuskan menelponnya saat pelajaran olahraga selesai tadi. Aku merasa, sebaiknya aku pulang lebih awal hari ini.

"Pak, tolong bawain tasku, ya. Aku mau pulang."

"Tuan nggak apa apa? Apa perlu saya gendong?." dia memegangi lenganku saat aku berdiri dan berjalan.

"Nggak perlu, udah nggak apa apa, kok." ucapku lembut sambil menepis tangannya pelan.

"Prei... aku anter sampe depan, ya." kini giliran Abi yang beralih memegangiku.

Ahh, sebenarnya itu tidak perlu. Tapi melihat tatapan matanya aku jadi tidak tega menolak. "Mm."

Aku dan Abi berjalan terlebih dulu, dengan pak Eko yang terlihat sengaja berjalan dibelakang. Aku celingukan di sepanjang jalan mencari seseorang yang aku harap bisa melihatnya sebelum pulang. Tapi, Raiga tidak terlihat dimana pun.

"Prei, kalo kamu sakit berarti... kamu nggak bisa ikut ke party Dareen malam ini." kata Abi tiba tiba dengan wajah kecewa.

Ck, aku kira dia tidak serius soal party itu. "Kalo pun nggak sakit, aku tetep nggak bisa dateng, Bi."

"Kenapa?."

"Aku ada janji sama Papah malem ini. Nggak mungkin aku batalin gitu aja."

Mendengar jawabanku wajahnya mendadak murung. "Oh ...."

"Udah sampe, kamu mending balik ke kelas, deh."

Dia mengangguk pelan dan memberiku senyuman yang dipaksakan. "Hati hati ya."

......

Seperti dugaanku, saat dirumah, rasanya sangat membosankan. Aku hanya tidur sepanjang hari dan duduk melukis di dekat jendela kesukaanku. Sebenarnya tidak ada objek yang menarik, tapi guratan abstrak juga masih termasuk seni, kan?.

Ini masih sore, dan janji makan malam dengan Papah masih dua jam lagi. Ah, apa yang harus aku lakukan dua jam ke depan.

...

"Pak Eko!." teriakku dengan nada tinggi.

Tak lama suara langkah kaki yang tergesa gesa mendekat ke arah pintu kamarku. "Iya, tuan."

"Pak, coba duduk di sofa." titahku sambil menunjuk sofa yang jaraknya paling dekat denganku.

Dia terlihat heran, tapi tidak bertanya apapun dan langsung duduk sesuai permintaanku.

"Jangan gerak ya, pak. Aku mau lukis bapak."

"Eh, lukis saya? Kok, tiba tiba." dahinya berkerut bingung.

"Nggak apa apa. Aku cuma lagi bosen. Jadi, bapak nurut aja, ya." kataku dengan lembut dan tersenyum manis padanya.

"Terserah tuan saja."

Aku mulai fokus mengukur dan menentukan presisi yang pas saat mengguratkan cat pada kanvas. Agar skala lukisannya seimbang dan tepat. Pak Eko ini, orangnya benar benar serba guna.

"Pak, jangan gerak!" ucapku saat dia terlihat sedikit bersandar karena mengantuk.

Buru buru dia mengeratkan jasnya dan duduk tegak seperti semula. "Maaf, tuan. Punggung saya sedikit pegal."

"Sebentar lagi kok pak, tahan ya."

Sentuhan terakhir hampir selesai, hanya tinggal merapikan sudut background yang belum rapi.

Tapi, belum sempat semua selesai, ponselku berdering dengan nyaring. Aku menaruh kuas di tepian valet dan langsung mengangkatnya saat tahu kalau itu dari Papah.

"Hallo... pah,"

"Prei... Papah minta maaf. Malem ini papah nggak jadi pulang. Maaf, ya."

"Tapi, Papah udah janji...." sahutku mengingatkan.

"Papah bener bener minta maaf... Ada rapat penting yang nggak bisa Papah tinggal."

Aku mendengkus dengan kesal dan langsung mematikan ponsel saat itu juga. Marah, dan sakit hati. Semua perasaan memuakkan itu kini menindih dadaku.

Rapat penting katanya! Seberapa pentingnya itu dibanding janji dengan anak sendiri!

Aaarrrrggghhh....

Aku menendang dudukan kanvas yang ada di depanku, lalu berteriak dengan brutal, melampiaskan semua kekesalan yang memenuhi hati. Cat dalam valet berceceran di lantai. Dan beberapa diantaranya menetes pada lukisan yang baru saja aku buat.

"Tuan. Tenang ...." pak Eko menghampiriku dan mengusap punggungku perlahan.

"Minggir!." aku menepis tangannya dan berjalan ke luar kamarku dengan kesal.

"Tuan! Mau kemana!."

"Pak Eko nggak usah ngikutin aku!"

Setelah keluar dari rumah, aku menyetop taksi yang lewat persis setelah aku berjalan ke depan jalan. Aku mencoba menenangkan napasku yang masih terengah karena marah. Lalu menekan nomor seseorang di ponselku.

"Bi, kamu dimana?."

Siguiente capítulo