webnovel

Makan malam

.

.

.

.

.

Preinan POV

Raiga menghentikan motornya tepat di bahu jalan, di depan sebuah toko perhiasan. Aku melepaskan pelukanku dan turun dari motornya. Sementara Raiga menurunkan standar motor terlebih dahulu, lalu melepaskan helm yang aku pakai.

"Rai, kita ngapain ke sini? Ini kan toko perhiasan cewek." tanyaku saat helm yang bertengger di kepalaku sepenuhnya terlepas.

Raiga mengusap tepian rambutku dengan ujung jarinya dan menatapku dengan senyuman. "Aku mau beli kado buat Mamah. Temenin aku, yah."

Aku tertegun sesaat. "Kado? Mamah kamu ulang tahun?!."

"Iya ... Makanya aku ajak kamu ke rumah. Aku mau kita rayain ulang tahun Mamahku sama sama. Kamu nggak keberatan, kan?." tanyanya dengan sorot mata yang berbinar dan penuh harap.

Bagaimana mungkin aku bisa menolak ajakannya. Terlebih sekarang, kami berdua sudah menjadi sepasang kekasih.

"Nggak keberatan, kok."

------------

"Mah ... Rai pulang."

Raiga mendorong pintu depan rumahnya dan langsung berjalan masuk tanpa melepaskan genggaman tangannya pada tanganku.

Aku mengikuti setiap kemana kakinya melangkah. Tanpa bertanya dan tanpa perlawanan. Rasanya menjadi sangat canggung sekarang, bahkan lebih buruk dari pertama kali  saat aku menginap di rumah ini.

Raiga melepas tanganku dan membiarkan ku duduk di sofa ruang tamu, sementara dia pergi masuk ke dalam. Aku mencoba mengatur napas agar terlihat normal saat hatiku sebenarnya masih tidak tenang. Karena begitu gugup, perutku sepertinya jadi ikut mulas.

Tak lama, Raiga kembali bersama seorang wanita setengah baya yang sudah ku kenali. Wajahnya begitu datar saat melihatku dan itu benar benar membuatku bertambah tegang. Aku memilih menatap ke arah Rai yang berjalan di samping Mamahnya. Dan duduk di bagian sofa yang lain.

"Mah, Rai bawa Preinan buat makan malem di rumah kita juga. Nggak apa apa, kan?." Tanya Rai yang terlihat biasa. Berbeda denganku yang kini mulai berkeringat dingin.

Mamahnya menatap ke arahku, dan memberikan seutas senyuman tipis. Yang langsung ku balas dengan menundukkan badan. Untuk mengisyaratkan rasa hormat.

"Nggak apa apa." sahutnya yang kini ikut duduk di samping Raiga. Sementara aku, masih mematung. "Tapi kalian harus ganti baju dulu, ya." lanjutnya. Dari caranya bicara, sepertinya dia tidak marah kepadaku. Aku sedikit merasa lega.

"Ah, iya ya. Hampir lupa. Yaudah ... Ayo Prei, kamu pake baju punyaku aja." ucap Rai yang tiba tiba menarikku untuk turut mengikutinya. Meninggalkan Mamahnya yang masih duduk di sofa dengan mata yang masih memandangi kami.

Huh... rasanya masih begitu canggung.

...

"Rai ... aku mau tanya sesuatu." seruku yang duduk di tepi ranjangnya. Menunggu dia yang sedang bergantian pakaian tepat di depan mataku.

"Apa ...," sahutnya dengan nada yang mendayu. Sembari melirikku ke arahku sekilas.

"Mamah kamu ... apa, dia nggak marah sama kita? Maksud aku soal yang waktu itu."

"Awalnya iya." sahutnya cepat yang seketika membuatku terdiam. Raiga terlihat begitu tenang, dan menyelesaikan semua kancing kemejanya sebelum akhirnya melanjutkan bicara. "Tapi, siapa sih yang nggak marah kalo tahu anaknya ngelakuin hal yang nggak senonoh kayak gitu. Mamah aku juga begitu, awalnya dia marah. Dan bahkan sempet nampar pipiku." tuturnya sembari terkekeh pelan. Sementara dahiku mengkerut bingung. "Tapi, setelah aku bilang, kalo aku emang suka sama kamu, mamah jadi sedikit lebih luluh."

"Jadi, mamah kamu nggak marah kamu suka sama ... cowok?."

Raiga spontan menaikan kedua bahunya. "Entah. Aku rasa sih Mamah nggak marah, tapi ... bukan berarti kita di kasih restu juga, loh." sahutnya sembari menggoyangkan alisnya dengan usil. Dan seketika membuatku tertawa.

"Kamu ini. Kita itu baru pacaran beberapa hari. Jadi belum waktunya ngomongin restu orang tua." timpalku dengan melempar sebuah kaos yang sedari tadi aku pegang.

"Ya, siapa tahu kita punya niat buat menikah muda." sahutnya, menggodaku lagi.

"Rai, udah deh." bisa bisa wajahku memerah karena terlalu banyak mendengar gombalan.

Dia masih terkekeh kekeh tapi tidak lagi berniat menggodaku. "Iya Iya ... Kamu jadi ganti baju nggak, nih. Aku udah selesai, loh."

"Aku ganti di kamar mandi aja. Kebetulan, perutku juga tiba tiba sakit."

"Eh, tapi nggak apa apa, kan?."

"Nggak ... cuma sakit perut biasa. Kamu keluar duluan aja. Nanti aku nyusul."

"Bener nggak apa apa?." Tanyanya memastikan.

Aku menghela napas dan mendorong punggungnya menuju pintu. "Nggak apa apa. Sana cepet, nanti Mamah kamu nunggu lama, loh."

"Iya iya ... aku bisa jalan sendiri, kok. Jangan lama lama, ya."

"Iya ...."

......

Akhir akhir ini, perutku sepertinya sedikit bermasalah. Kadang aku merasa sakit tanpa sebab. Terkadang mual, atau sembelit. Padahal aku yakin kalau aku selalu makan dengan benar. Apa mungkin gara gara hal lain? Entahlah.

Aku berpakaian dengan cepat, lalu pergi berjalan ke arah ruang makan. Saat Raiga dan Mamahnya sedang sibuk menata makanan di atas meja, aku berjalan menghampiri mereka.

"Rai ... ada yang bisa aku bantuin nggak?." seruku sembari mengambil gelas dari atas wastafel. Aku berniat menatanya di atas meja, tapi Raiga buru buru mengambil alih itu dari tanganku.

"Nggak usah. Udah beres, kok. Sini ... biar aku yang bawa gelasnya. Kamu duduk aja, ya."

Uh, perlakuannya malah membuatku bertambah canggung dan kikuk. Tapi, aku hanya bisa menuruti perintahnya dengan pasrah.

Kami bertiga menikmati makan malam bersama. Awalnya terasa tidak nyaman bagiku. Tapi, setelah Raiga memegangi tanganku secara diam diam di bawah meja, hatiku sedikit lebih tenang. Dia dan Mamahnya membicarakan banyak hal saat makan, sementara aku hanya menjadi penyimak yang baik, yang hanya melempar senyuman di kala Raiga melayangkan pertanyaan sederhana.

Mamahnya terlihat begitu ramah padaku. Hanya, mungkin saja kami belum terlalu terbiasa satu sama lain. Jadi rasanya tetap sedikit canggung.

Setelah selesai memakan makanan penutup, Raiga mengajakku duduk di depan TV. Dia bilang, dia akan menunjukan beberapa klip video saat dia masih kecil dulu. Aku mengikutinya dengan antusias dan duduk bersebelahan dengannya.

"Itu waktu aku belajar naik sepada. Liat! Aku gendut banget sampe bikin ban sepedanya jadi kempes. Haha. Aku nggak tahu kalo Mamah masih nyimpen semua video ini." serunya dengan wajah yang begitu ceria, menunjuk dengan semangat ke arah layar TV.

Tawaku juga terlepas begitu saja, melihat anak lelaki gendut yang kami tonton jatuh menabrak semak semak. Mamahnya yang terlihat masih muda mencoba menenangkan dia dan menyingkirkan semua daun dan ranting yang menempel di rambutnya.

"Waktu kecil, kamu jelek banget, Rai." ucapku sedikit menggodanya.

Raiga mengalihkan pokusnya dari layar TV dan menatap mataku. "Tapi sekarang, aku jadi ganteng, kan." sahutnya penuh percaya diri.

Aku tersengih geli dan meninju bahunya dengan pelan.

Raiga, benar benar orang dengan tingkat kepedean yang selangit.

Perlahan tangannya mengusup ke punggungku dan seketika menarik tubuhku ke arahnya. Aku mencubit pahanya sambil melotot. Bagaimana jika Mamahnya melihat kami lagi? Apa dia benar benar sudah tidak takut?...

"Rai!." protesku dengan suara yang rendah.

"Cuma duduk deketan, emang nggak boleh?."

"Ish, tapi tangannya jangan begini." ucapku yang berusaha menyingkirkan rangkulannya.

"Yaudah iya ...." sahutnya lesu sembari menarik kembali tangannya dari pinggangku. "Pacarku ini galak banget, sih."

"Sutttt." apa dia lupa kalau Mamahnya masih ada di dapur. Bagaimana kalau nanti dia mendengar ucapan kami? Ih, Raiga benar benar membuatku geram.

"Rai ... bantuin Mamah nyuci piring, ya." panggil Mamahnya dari arah dapur. Yang membuatku seketika menoleh.

Semoga saja dia tidak mendengar pembicaraan kami barusan.

"Iya, Mah." sahut Raiga dengan suara yang lantang.

"Kamu nunggu di sini atau ikut ke dapur?."

"Aku, aku mau ke toilet dulu sebentar. Nanti aku nyusul kamu, deh."

Raiga mengangguk.

"Ya udah." sahutnya singkat lalu beranjak menuju dapur. Meninggalkanku yang mulai meringis menahan sakit.

Tidak tahu kenapa, perutku tiba tiba melilit lagi.

Siguiente capítulo