"Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri." (QS. Luqman:18)
***
Gunawan bergegas ke luar mobil setelah menerima telepon dari perusahaan. Akan ada rapat besar esok pagi, ia diminta turut andil dalam konsumsi karena daerah rumahnya banyak terdapat restoran dan catering.
Jam pulang kantor sudah tiba. Seperti Jakarta di sore hari pada umumnya, jalanan mulai ramai dan padat. Ia tidak bisa berlama-lama karena harus menyiapkan berkas-berkas untuk keperluan rapat. Dan jika harus membeli makanan esok pagi, mungkin juga tidak akan sempat.
Ia memperlambat mobilnya, melihat ke kanan dan ke kiri barangkali ada restoran yang sudah buka.
...
Nihil, ia baru ingat bahwa semua restoran yang ada di sekitar rumahnya buka pada malam hari.
Apa yang ada di pikirannya saat ini?
Ia berjalan menuju seorang pemuda penjual putu keliling yang sedang ramai pembeli.
Mungkin ini cocok untuk jadi makanan pembuka. Banyak pembeli. Hmm... Mungkin enak. Sedikit cemilan untuk rapat besok mungkin cukup. Batinnya.
Seorang lelaki dewasa turun dari mobil dengan pakaian rapi dan rambut tertata wangi.
"Sssttt... Ssstt... Bisa dijadiin sugar daddy, nih..." Bisik para pembeli yang kebetulan para remaja tanggung. Seperti biasa, mereka selalu mampir ke dagangan pemuda itu, bukan untuk membeli, hanya karena ingin melihat wajahnya yang tampan.
"Permisi Mas, saya mau pesan 15 porsi bisa? Tapi saya sedang buru-buru. Nanti malam bisa tolong antar ke alamat rumah saya? Nanti ongkosnya saya bayar juga, deh. Ini kartu nama saya." Pintanya setelah melihat ramainya pembeli di sana dan ia tidak dapat menunggu lama.
"Oh, iya.. Insyaa Allah bisa, Pak." Pedagang itu menyanggupinya.
"Alhamdulillah. Kalau begitu saya permisi dulu. Wassalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam warahmatullah..."
***
Rumah besar berlantai dua dengan halaman yang luas menambah kesan mewah pada rumah itu. Lampu-lampu taman yang menghiasi sisi kanan dan kiri jalan, suara percikan air mancur dengan design antik seakan menyuarakan kekayaan dan kemewahan tanpa batas bagi setiap orang yang melihatnya.
Seorang lelaki datang dengan kaos oblong menekan bel rumah itu dengan hati-hati.
Kemudian...
Bagaimana Kira tidak terkejut? Di depannya ada seorang pedagang aneh yang hampir ditabraknya siang tadi.
Apa dia datang untuk meminta pertanggungjawaban? Tapi, dari mana dia tahu alamat gue??? Batinnya sembari menatap tajam pedagang itu dari bawah hingga atas.
"Astaghfirullah..."
Lagi. Pertemuan kedua dengan Kira menyisakan kalimat istighfar sebagai pembuka yang terucap di mulut pedagang tersebut. Ia langsung menunduk.
"Lo yang tadi siang, kan? Ngapain ke sini? Mau minta pertanggungjawaban? Kan udah gue bilang bukan gue yang salah. Tahu alamat gue dari mana? Haaa... Lo ngikutin gue, ya?" Jari telunjuk Kira berada tepat di depan wajah lelaki itu.
"Maaf, Mbak. Bisa turunkan telunjuknya?" Pintanya.
Kira kemudian melipat kedua tangannya di depan dada.
Seakan tak menghiraukan beribu pertanyaan darinya, pedagang itu langsung mengajukan sebuah pertanyaan, masih dengan kepala menunduk. "Apa benar ini rumah Pak Gunawan Wijaya?"
"Ya, benar. Ada perlu apa lo ketemu Bokap gue?"
Tiba-tiba Gunawan muncul. "Siapa, Ra?"
Kira memajukan bibirnya yang tertuju ke arah pedagang itu.
Gunawan melirik, "Eh... Mas penjual putu, kan? Ngantar pesanan saya, ya?"
"Iya, Pak. Ini pesanannya. Semuanya 75 ribu. Ongkosnya tidak perlu dibayar karena kebetulan rumah saya tidak begitu jauh dari sini." Kata pedagang itu.
Ha??? Papa beli makanan ginian? Sejak kapan? Batin Kira kesal.
Ia berontak. "Pa, apaan sih beli makanan ginian? Tidak steril, banyak kuman, eewwhhh. Terus pasti banyak pengawetnya." Kira menyela.
"Nuwun sewu, Mbak. Walaupun saya menjualnya hanya di gerobak bukan berarti ini tidak bersih. Insyaa Allah ini halalan thoyyiban. Jangan menghina makanan, Mbak. Rasulullah tidak menyukai hal itu. Jika beliau tidak suka, beliau hanya diam dan meninggalkan makanannya. Jadi alangkah baiknya kita sebagai umatnya mengikuti sunnah beliau, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam." Jelas pedagang itu dengan sopan.
Kira hanya diam, namun hatinya protes. Gak ada angin gak ada hujan kena ceramah deh gue. Sama tukang putu lagi. Dih! Sok paling bener. Kalau saja tidak ada Papa di sini, sudah gue remet-remet ni orang, gue jadiin adonan putu!
Gunawan terlihat kagum dengan penjual putu yang terlihat dewasa dalam berargumen.
"Ini Pak pesanannya. Kalau begitu saya permisi dulu, ya. Wassalamu'alaikum."
"Oh, iya, Mas. Maaf merepotkan ya. Maafin atas sikap anak saya juga. Wa'alaikumussalam."
Pedagang itu hanya mengangguk kemudian tersenyum dan pergi meninggalkan rumah itu.
...
Gunawan menyiapkan putu yang dibelinya untuk kemudian di simpan di kulkas. Sambil berbenah, ia membuka obrolan. "Ra, tidak boleh begitu. Tidak boleh memandang rendah orang lain dari profesinya. Bagaimana pun juga dia dan kita sama-sama makhluk Allah. Hanya amal yang membedakan. Bukan harta."
"Kan... Papa mulai ketularan nih sama tukang putu. Sok paling benar sedunia. Udah ah, Ra mau telpon temen-temen dulu. Gak datang-datang." Kira beranjak dari sofanya dan pergi menuju ruang tamu.
NIIITTT... NIIITTT...
"Halo Ca, lo sama yang lain mana sih? Jadi datang, gak?"
"Iyaaa, jadi. Sabar dikit, dong. Satu perempatan lagi sampai nih."
"Yaudah. Cepetan!"
...
15 menit kemudian...
TING NUNG!
"Ra... Ki... Raa.." Terdengar suara panggilan dari luar.
"Nah.. Tuh mereka sudah datang, Pa.."
"Ya sudah, Papa tunggu di ruang tamu."
Kira pergi membukakan pintu. "Lo semua lama banget, sih? Udah ditungguin Papa gue noh."
"Memang mau ngapain sih, Beb?" Tanya Ivan.
"Gak tahu, Beb. Masuk aja dulu." Kata Kira sembari menggandeng lengan Ivan.
Di ruang tamu dengan lampu hias berwarna gold terlihat dengan jelas lelaki paruh baya sedang menunggu mereka di sana.
"Eh.. Calon mertua..." Sahut Ivan sembari mencium punggung tangan Gunawan yang kemudian diikuti yang lain.
Gunawan menatap sinis ke arah Ivan, ia melanjutkan, "Om mau tanya sama kalian semua. Sudah berapa lama kalian pergi ke klub?"
"Yaaa... Kurang lebih setahun lah, Om..." Jawab Luna sembari menaikkan satu kakinya.
"Kalian apain anak saya hingga dia mau ikut ke jalan sesat itu? Ha?!" Volume suara Gunawan mulai meninggi.
"Siapa juga yang menghasut? Anak Om aja tuh yang tiba-tiba datang ke klub. Kami jumpa di sana. Ya bukan salah kami dong. Ya kan, Ra?" Jawab Pika polos.
Mata Kira membulat melihat Pika. Emosi Gunawan sedikit mereda karena sebuah kalimat, Anak Om saja tuh yang tiba-tiba datang ke klub. Seketika hal itu terngiang di pikirannya dan membuatnya berpikir keras. Kenapa Kira kesana? Bukankah aku selalu melarangnya? Angin apa yang membawanya ke tempat haram itu? Batinnya bertanya-tanya.
Gunawan hanya diam. "Lalu, kenapa tiap malam kalian pergi?" Lanjutnya.
"Kira yang minta. Nih ya Om, waktu pertama kali Kira ke sana dan kenalan sama kita, dia bilang kami tuh asyik, ngilangin 'beban'nya, terus, tiap malam katanya wajib ke klub untuk refreshing. Kami sih oke-oke aja karena memang hampir tiap malam kami ke sana. Makanya kami turuti kemauannya. Ya kan, Ra? Guys?" Lagi. Dengan kepolosannya Pika menjawab dengan santai sembari mengunyah apel yang sebelumnya sudah tersedia di meja.
Semua pandangan tertuju pada Pika. "Apaan sih lo. Jaga dikit napa tu mulut. Bocor amat kaya ember pecah." Bisik Ivan yang duduk di sebelah Pika.
"Lah... Memang kenyataannya gitu, kan?" Pika hanya menaikan bahunya sekali.
Kini pikiran Gunawan beralih ke salah satu kata yang membuatnya berpikir keras lagi. Beban??? Ngilangin beban? Apa sebab yang kuat sampai Kira pergi ke tempat itu? Beban apa?
"Ya sudah. Kalau begitu Om minta kalian jauhi anak saya dari sekarang. Jangan ajak dia ke tempat itu lagi. Kalau bisa putuskan saja lingkar pertemanan kalian."
Kira terkejut, "Pa? Kok gitu, sih?"
Gunawan menatap Ivan, "Kamu pacar Kira?"
"I-iya, Om. Baru dua bulan."
"Putuslah."
"Pa?!" Kira berontak.
"Pikirkan baik-baik permintaan saya. Putuskan sesegera mungkin. Kalau tidak, kalian akan saya serahkan ke polisi!!!" Tegasnya.
"I... I... Iya Om." Jawab mereka dengan gemetar.
"Tapi kan tetap saja bukan kami yang salah? Kenapa kami yang harus tanggung jawab? Anak Om sendiri tuh yang mau gabung sama kami." Dara menyanggah.
"Tidak ada basa-basi lagi. Keluar dari rumah saya sekarang!"
Melihat Gunawan dengan emosi yang memuncak, mereka keluar dengan tergesa-gesa. Lain halnya dengan Pika, ia mengambil keranjang buah dan ikut membawanya pergi.
"Eh.. Eh. Kamu ngapain? Letakkan keranjang itu." Kata Gunawan.
"Lah... Om... Gak boleh di bawa pulang juga? Jarang-jarang loh makan buah segar begini."
"Le-tak-kan!"
"I... Iya Om. Jangan galak-galak napa. Ntar gantengnya hilang, loh..."
Mata lelaki itu menatap tajam ke arahnya dengan penuh emosi.
"Iya, Om... Iya. Ini juga mau keluar."
...
Beberapa saat setelah semua teman-temannya pergi, kini giliran Kira yang diintrogasi. Rasanya seperti ada peluru yang siap membunuhnya saat itu juga.
"Pa, Ra ke kamar dulu ya, ada tugas kuliah." Ia mencoba mengelak.
"Kira..." Sahut Gunawan.
"I...I... Iya, Pa?"
"Duduk." Gunawan mengintruksikan Kira agar duduk tepat di depannya.
"Kamu mau begini terus?"
Kira memang nakal, usil, keras kepala. Namun, ia tidak pernah berani melawan papanya jika sudah serius dan menetapkan keputusan.
"Maksudnya, Pa?"
"Kenapa kamu bisa ke klub itu? Beban? Beban apa? Papa tidak pernah ngajarin kamu buat pergi ke tempat haram! Kita memang hidup sangat berkecukupan, semua keinginan kamu Papa turuti, tapi ini balasan kamu ke Papa?! Kalau kamu seperti ini terus, pergi ke klub malam dan membuang-buang uang, Papa akan bertindak sesuka hati tanpa persetujuanmu."
Kira hanya diam mendengarkan. "Kamu pilih, Papa kirim kamu keluar negeri yang tidak akan pernah kamu duga atau menikahkan kamu dengan laki-laki pilihan Papa? Pilih. Ayo pilih!"
Kira sudah memendam emosinya sedari tadi. Kini ia siap meledakkan semuanya. Layaknya gunung yang siap meletus mengeluarkan lahar.
Orang tua memang tidak pernah mengerti. Batinnya