webnovel

FIND OUT

"Aku pulang.." Makoto membuka pintu ruang inap Naoki dengan lesu. Langkahnya berhenti di ambang pintu. Pandangannya langsung tertuju pada satu titik di dalam keremangan ruangan, lampu utama sengaja dimatikan, Makoto hafal betul si pemilik kamar tak suka terlalu terang saat malam. Yaitu Naoki.

Naoki sedang tertidur di atas ranjang. Begitu tenang seakan sedang bermimpi indah. Makoto tidak ingin mengganggunya. Ia masih memikirkan apa yang terjadi pagi tadi. Sepanjang hari ia tidak fokus mengajar pelajaran di beberapa kelas, hingga akhirnya ia di tegur kepala sekolah. Ceramah yang cukup panjang untuk ukuran sebuah teguran, itulah alasan kenapa ia harus pulang selarut ini. Karena waktu yang terbuang sia-sia mendengar ocehan kepala sekolah, ia jadi tak punya banyak kesempatan untuk mengoreksi hasil ujian hari ini dan kemarin. Makoto mendengus pelan.

Dengan sangat hati-hati ia merebahkan diri di sofa. takut-takut suara gesekan kemeja dengan kain sarung sofa akan membangunkan tidur Naoki. Ia menghela nafas panjang, entah sudah berapa puluh kali ia lakukan hari ini. Makoto merenggangkan seluruh tubuhnya, merasakan setiap beban luruh dari pundaknya yang berat untuk sementara.

'Apa arti Naoki bagimu?!' suara Kakeru bergema di ruang kepala Makoto. Tidak membiarkan ia tenang di dalam keremangan malam ini.

"Makoto-sensei, kau sudah pulang?"

Sebelum Makoto bangkit dari posisi nyamannya, Naoki sudah duduk di sampingnya. Langkahnya cepat persis anak anjing yang gembira ketika majikannya kembali dari bekerja, "Maaf aku ketiduran, jadi tidak mendengar suaramu."

"Istirahatkan matamu. Aku tahu kau begadang semalaman membaca novel" Makoto meraih tas kecilnya yang tergeletak di meja. Mengobrak-abrik isinya mencari sesuatu.

"Apa yang kau cari, sensei?"

"Ponselku."

"Ponselmu kan ada di sakumu." Naoki menunjuk saku kemeja Makoto.

"Ya Tuhan! kenapa aku ini?!" ia mengumpat lalu bangkit. Frustasi dengan pikirannya sendiri

"Apa yang terjadi?"

"Tidak ada."

"Aku ini bukan anak SD, Sensei. Aku bisa tahu kau berbohong."

"Aku tidak pernah menganggapmu anak SD, Naoki. Tidak sama sekali. Oh! kecuali sifat jahilmu yang benar-benar menyebalkan."

"Jangan mengalihkan pembicaraan!" tatapan Naoki tajam, mata coklatnya seakan menyala dalam keremangan kamar, cahaya dari jendela yang minim menyorot langsung padanya bagai lampu sorot polisi yang menangkap pencuri. Membuat perasaan Makoto semakin tidak tenang.

"Ini tentang ayahmu." akhirnya ia mengalah dan mencoba mengambil resiko dengan mengatakannya.

"Kenapa dengannya?"

"Sebenarnya ayahmu selalu datang menemuiku dan berharap bisa menemuimu juga."

"Lalu kenapa tidak menemuiku sejak awal? dari dulu dia tak pernah datang menjenguk. Aku kira aku sudah terbiasa," Naoki menunduk, mencoba menghindar dari tatapan Makoto.

"Naoki.. Ayahmu itu-"

"Apa yang ia bicarakan denganmu sensei? apakah itu tentang aku?"

"Dia ingin kau tinggal bersamanya."

Mata Naoki membulat. Makoto yakin melihat kerlingan air mata di sudut mata Naoki sebelum akhirnya ia berpaling.

Pernyataan tadi. Sekejap hatinya seakan diremas, selama ini yang ia tahu ayahnya tidak pernah mengharapkan keberadaan Naoki. Tapi, kalimat yang Makoto ucapkan tadi.

'Apakah itu benar?'

Naoki tahu betul bahwa setelah perceraian ayah dan ibunya, hak asuh jatuh pada ayahnya. Tapi selama beberapa tahun ini, Ayahnya tidak pernah datang untuk menjenguknya, bahkan untuk menyapanya. Ia hanya menelpon, mengirimkan uang yang sejujurnya tidak Naoki butuhkan.

Hanya berbasa-basi 'apa kabar?', 'bagaimana sekolahmu?', 'apakah kau minum obat teratur?' lalu 'jaga dirimu'.. kalimat-kalimat itu yang selalu ayahnya ucapkan saat menelponnya. Hingga ia bisa menghafalnya. Tidak ada sedikitpun sikap yang ditunjukan ayahnya, bahwa ia menginginkan Naoki berada di sekitarnya,

Lalu hari ini telinganya mendengar kalimat itu dari Makoto.

'Ayah menginginkan aku'

Ia beberapa kali mengusak kasar matanya, ia tidak ingin air mata itu menetes dan mempertegas kecengengannya di depan Makoto. Naoki bahkan tidak tahu perasaannya saat ini, ia menangis karena apa. Bahagia? karena akhirnya sang ayah menyadari eksistensi nya, atau sedih karena baru sekarang ia muncul kepermukaan?

Tidak tahu.

Hatinya tidak tenang.

"Sensei, bisakah aku memperoleh waktu privasiku sekarang? besok aku akan pulang dari rumah sakit, sensei tidurlah di rumah ya. Aku ingin disini sendirian," tanpa menoleh sedikitpun pada Makoto Naoki berjalan pelan menuju ranjang besinya, menyibak asal selimutnya dan mulai merebahkan tubuhnya.

"Aku tidak mau kau sendirian sekarang."

Naoki langsung menoleh pada Makoto yang suaranya tadi terdengar sedingin es. "Lho? kenapa?"

"Ingat? aku ini bukan pelayanmu. aku punya pemikiran ku sendiri jadi aku akan melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang seharusnya aku lakukan. Bukan karena keinginanmu."

"Tunggu. Aku tidak berpikir sensei adalah pelayan bagiku. Bukankah tadi aku meminta dengan baik?"

Makoto mendekat kearah ranjang dan mengusak puncak kepala Naoki. Ia tahu Naoki sedang gundah, ia bahkan tahu selangkah saja Makoto pergi dari pintu ruangan, Naoki akan menangis sendirian. Makoto tidak ingin hal itu terjadi.

Keegoisannya, memaksanya untuk tahu segala hal yang terselip pada lipatan-lipatan hati Naoki, memaksanya untuk melihat langsung air mata Naoki jika itu diperlukan.

Keegoisannya memaksa nalar Makoto untuk berpikir, ia akan lebih berguna jika Naoki bisa menangis di depannya.

"Apa yang kau pikirkan?"

"Aku bingung."

"Kenapa?"

"Aku harus senang atau sedih mendengar apa yang Makoto-sensei katakan tentang ayahku." Naoki menunduk, mengusap sedikit air matanya yang meleleh di pipinya yang memerah. "Aku selalu berpikir kalau aku tidak pernah diharapkan."

"Tidak ada seorang anak pun yang tidak diharapkan oleh dunia. Bahkan sekalipun orangtua membuangnya, seisi dunia akan menampungnya." Makoto menepuk punggung Naoki, ia tidak yakin dengan kalimat yang ia ucapkan. Tapi, ia tidak memiliki kalimat lain untuk menghibur muridnya itu.

Naoki tertawa pelan, "Ada keraguan di wajah sensei."

"Eh?! mana?! bisakah kau mengusirnya?! aku takut jika nanti dia menyengat wajah tampanku!" Makoto kira leluconnya itu lucu.

"Aku tidak mengerti. Aku kira aku mengatakan 'keraguan' bukan 'lebah' kan?"

"Aku sedang mengucapkan lelucon. Tertawalah sedikit demi menghargaiku."

"Tapi itu tidak lucu, sensei."

"Kau ini!" Makoto mengacak-acak rambut pirang Naoki tanpa ampun, Naoki mencoba menghentikannya. Tawa mereka pecah, hanya sebentar.

"Apa yang sebenarnya kau inginkan?" pertanyaan itu meluncur begitu saja. Merusak suasana.

Tidak dipungkiri Makoto menginginkan kebaikan bagi Naoki. Tapi, berada di rumah ayahnya dengan ibu tiri disana bukanlah sebuah kebaikan meski itu adalah keinginan Naoki sendiri. Dalam lubuk hatinya, ia berharap bahwa Naoki tidak pernah sedikitpun berpikir ikut dengan ayahnya.

"Aku ingin semuanya berkumpul bersama."

Kalimat itu.. menyakitkan bagi Makoto. Entah kenapa ..

"Begitu ya?"

"Tapi kurasa itu tidak mungkin kan?"

"Kenapa bertanya padaku?"

"Karena sensei yang paling tahu faktanya." Mata Naoki yang cemerlang menatap dalam netra kelam Makoto. Seakan menelisik kebohongan yang ditutupi secara rapat olehnya.

Makoto menyadarinya. Naoki.. sedang mencari tahu.

***

Siguiente capítulo