Jeni dengan raut wajahnya yang terlihat kecut tanpa senyuman tampak berjalan dengan terpaksa saat Jefri menarik tangannya dengan lembut namun memaksa.
Walau pun ia tidak sudi pulang bersama Jefri namun tetap saja ia tidak bisa menolak. Ia masuk ke dalam mobil Jefri dan duduk di sampingnya.
Sementara yang terjadi pada Wili saat ini. Ia tampak duduk di tepi danau. Terpaku dalam lamunannya. Ingin berteriak namun rasanya tidak mampu. Hati bagai di sayat sembilu, rasa sakitnya tak bisa tertahan lagi. Andai bisa diungkapkan dengan kata-kata, bak cermin yang jatuh dari atas langit perasaannya hancur berkeping-keping.
"Jeni benar-benar tega! Aku tidak menyangka kalau ucapan Mas Jefri itu membenarkan kenyataan tentang dirinya. Aku tidak menyangka kalau kamu sematre itu, Jen. Tega kamu, Jeni!" murka Wili. Ia berbicara sendiri di tepi danau. Semilir angin yang dingin pun nyatanya tak mampu mendinginkan perasaan Wili yang tengah panas.
Wili duduk dengan lutut ditekuk. Ia menatap tak tentu arah. Andai bisa menangis mungkin saja dia sudah mengalirkan deras air matanya, namun berusaha ia tahan dan bendung sekuat mungkin.
Tiga tahun menunggu Jeni bukanlah waktu yang sebentar. Ia yang selalu sabar menunggu hingga berhasil mendapatkan hati, Jeni. Namun, seketika perasaannya pun di porakporandakan saat Jeni memilih mengakhiri hubungannya dengan alasan lebih memilih lelaki lain. Sungguh itu sangat membuat perasaan Wili sakit dan pedih bagai tertusuk ratusan betali tajam
Wili masih termenung sendirian, sampai bulir hujan tiba-tiba menetes, satu persatu dan mulai membasahi tubuhnya. Ia masih terpaku di tempat yang sama, membiarkan air hujan membasahi tubuhnya begitu saja. Ia seakan tek perduli walau pun suara petir terdengar menggelegar memecah gendang telinganya.
Kepedihan itu sungguh membuat Wili tak tahu lagi harus berbuat apa. Sampai tak terasa matahari pun kini sudah hampir berada di ufuk barat dan Wili baru beranjak dari tempat duduknya. Pakaian yang tampak basah tak mampu mendinginkan tubuhnya walau pun terlihat menggigil rasa panas di dalam dadanya seketika menetralkan dinginnya air hujan yang meresap ke dalam tubuhnya.
Wili kini sudah berada di dalam kendaraan roda empatnya, melajukan mobil mewah itu dengan kencang tanpa perduli akan keselamatannya. Walau pun ia harus mati sekali pun mungkin tak begitu ia perdulikan. Beruntung, ia masih selalu dalam lindungan Tuhan sehingga sampai di depan rumahnya dalam keadaan selamat. Padahal, ia menginjak pedal gas begitu dalam dan mobilnya melaju kencang sekilat sampai di depan rumahnya.
Wili keluar dari mobilnya, ia berjalan terlihat lesu mendekat ke depan rumahnya. Lututnya bergetar terasa lemah, seketika tubuh Wili luruh di depan pintu rumahnya dengan pakaian masih terasa basah di kulit. Ia terlihat lemah tak bertenaga.
Saat satpam rumah itu melihat Wili yang lemah, seketika pula ia berlari dari pos gerbang dan mendekati Wili.
"Tuan Muda! Kenapa?" tanya satpam rumah Wili terlihat cemas. Namun, Wili tak menjawab apa-apa. Ia hanya membisu tanpa sepatah kata pun. Bola matanya tampak layu dengan tatapan kosong tak tentu arah.
"Tuan kenapa?" Satpam rumah Wili kembali bertanya. Ia tampak menggoyang-goyangkan tubuh Wili dengan pelan. Ia rasa ada yang tidak beres dengan majikannya. Gegas satpam itu mengangkat tubuh Wili dan membantunya berjalan masuk ke dalam rumahnya. Sementara Wili hanya mengikuti gerakan satpam dengan sedikit tenaga yang masih tersisa di dalam tubuhnya.
Wili bagaikan habis berjalan maraton sepuluh kilo sehingga tubuhnya terlihat lemas tak bertenaga.
Satpam itu membaringkan tubuh Wili di atas sofa di ruang tengah.
"Ada apa ini?" tanya Sindi tercengang saat melihat Satpam rumahnya membaringkan Wili di atas sofa.
Satpam pun menoleh ke arah majikannya. "Ini, Bu Bos. Tuan Muda melemas di depan rumah. Saya tanya pun sama sekali tidak direspon," jawab Satpam sambil berdiri kembali dengan sigap.
"Pakaiannya juga basah, Bu Bos," imbungnya dengan laporan selanjutnya.
"Apa! Kenapa, Wili? Apa yang terjadi dengan kamu?" Sindi tampak cemas. Ia segera mendekati tubuh anaknya. Memegang keningnya, serta pakaiannya yang masih terasa basah di kulit. Sindi menatap cemas anak bungsunya terlihat khawatir.
"Pak Satpam tolong ganti pakaian Wili ya. Minta Siti mengambilkan pakaiannya di kamarnya," titah Sindi yang segera dilaksanakan oleh Satpam rumahnya.
Sindi kembali menatap wajah anaknya yang terlihat layu. Wili masih membuka matanya namun ia terlihat sangat hancur sampai tak merespon pertanyaan mamahnya dan tak menanggapinya dengan baik.
"Wili! Kamu kenapa, Sayang? Kenapa kamu seperti ini, Nak?" Sindi bertanya sekali lagi sambil mengusap lembut kening Wili yang terasa dingin. Sudah bisa diduga kalau anaknya telah mandi air hujan dengan waktu yang cukup lama.
"Saya ganti pakaiannya sekarang ya, Bu Bos," ucap Satpam itu yang akan segera mengganti pakaian Wili yang basah. Ia mulai membuka sepatu majikannya dan celana jins yang terasa basah.
"Tuan Muda kenapa, Bu Bos?" tanya Siti, pembantu rumah tangga di situ. Ia pun turut serta merasa khawatir dengan majikannya.
"Saya juga tidak tahu, Siti. Tolong segera buatkan teh manis hangat untuk Wili ya," pinta Sindi.
"Siap, Bu Bos." Siti pun segera berjalan ke dapur dan akan seger membuatkan teh manis hangat untuk tuan mudanya.
Saat ini, Wili sudah duduk dan dia mulai terlihat tenang walau pun masih membisu. Pakaiannya pun sudah diganti oleh Satpan dengan pakaian yang kering.
"Sayang, Mamah siapkan makan dulu ya. Sepertinya kamu belum makan, kamu terlihat lemas seperti ini," ucap Sindi tampak begitu khawatir. Ia sambil merapihkan rambut Wili dengan sisir. Ini adalah kali pertama Sindi melihat anak bungsunya sekacau ini.
Wili menggelengkan kepala saat mamahnya menawarkan makan sore untuknya. "Aku tidak nafsu makan, Mah," jawabnya lesu. Ia baru saja membuka mulutnya setelah beberapa menit membungkam.
"Ini minumnya, Bu Bos," ucap Siti yang baru saja datang membawa minuman pesanan Sindi.
"Terima kasih, Siti," balas Sindi pada pembantu rumah tangganya.
"Sama-sama, Bu bos."
"Minum dulu ya, Nak," titah Sindi pada Wili sambil menyodorkan teh manis hangat yang dibuat Siti.
Wili tak bisa menolak. Ia menerima minuman yang disodorkan mamahnya ke hadapannya.
Teh manis hangat yang sejatinya terasa manis tak mampu merubah lidahnya yang pahitnya tak tertolong. Hanya dalam sekejap, segelas teh manis hangat itu masuk melewati tenggorokannya yang kering namun tak mampu menambahkan sedikit pun kekuatan dalam tubuhnya yang sudah lemas.
Batin Wili yang tersiksa, jasadnya pun tampak merana. Ia tidak menyangka kalau Jeni hanya menjadikan hubungannya hanya sebuah persinggahan saja dan bukan suatu keabadian. Sekali lagi, Wili tampak mengerutkan bibirnya dengan rahang yang terlihat mengeras. Ia menahan amarah bercampur sakit di dalam dadanya.