webnovel

Chapter 18

Setelah berjalan jalan di kota yang tenang dan penuh keheningan di dalam mobil karena Xela hanya menatap keluar.

"Terima kasih untuk ini, kau akan membawaku kemana?" tanya Xela yang masih terduduk di bangku mobil, rupanya Chandrea membawanya ke bukit bintang, kebetulan sudah malam dan di bukit yang gelap itu hanya bisa tersinari oleh bulan dan bintang yang sangat banyak dan tak terhitung jumlahnya.

"Itu cantik," Xela menatap sangat terkesan ketika dia keluar dari mobil dan menatap lebih dekat bintang di pagar jurang itu.

Chandrea berjalan mendekat sambil menyalakan rokoknya, kemudian mengatakan sesuatu, "tunggulah bintang jatuh, dan berharaplah sesuatu soal kehidupan mu yang masih lama," tatapnya dengan wajah agak tertekan membuat Xela hanya memandang nya kemudian menatap ke langit lagi.

"Chandrea, aku benar-benar sangat berterima kasih padamu, kau menyelamatkan ku, jika saja masih ada kehidupan lain, aku mungkin ingin mengakui bahwa kau teman ku yang selalu menolong ku, kupikir kau akan mengejek ku di akhir dan meninggalkan ku, karena itulah sulit untuk percaya padamu hingga ketika hari ini pun, aku sudah bisa percaya dengan mu, jangan khawatir, aku masih ada waktu…. Beberapa hari," kata Xela, tapi tetap saja, Chandrea tak memasang wajah apapun, dia bahkan tak lagi memasang senyuman nya.

"(Mendengar itu, aku jadi ingin mengaku bahwa aku berteman dengan nya hanya sekedar mencari sesuatu yang menyenangkan, tapi ini bukan permainan lagi…)"

"Chandrea…" panggil Xela lagi membuat Chandrea benar-benar menatapnya kali ini.

"Apa kamu, tidak pernah malu berteman dengan ku?" tambah Xela.

Chandrea terdiam sebentar dengan rokok yang perlahan menjadi abu di tangan nya. Dia hanya diam dan menjawab dalam perkataan batin nya. "Aku belum punya waktu untuk menilai hal itu, karena, pertemanan kita tak berjalan jauh…"

"Karena aku senang memiliki orang sepertimu, sebenarnya, karena sikap ku yang mudah di tindas, orang-orang di sekitarku juga mendapatkan dampaknya, seperti adik ku, dia juga pernah di tindas di sekolahnya, hanya saja, sekarang tak tahu, karena hal itu, dia membenciku dan berharap aku cepat mati… Ayahku yang merupakan mantan polisi sekaligus detektif hanya bisa menerima uang pensiunan sekarang, dengan adanya aku pergi, dia mungkin berkurang beban nya…" kata Xela.

"Jadi, Ayahmu sudah pensiun, kudengar polisi yang pensiun dan mendapatkan uang, hanya mereka yang telah berhasil menyelesaikan banyak kasus dan juga mendapatkan uang tunjangan maupun asuransi… Apakah Ayah mu dari detektif terkenal?"

"Tidak juga, dia dulu di kenal paling muda di angkatan nya, dia bernama Marito," kata Xela, tapi mendadak saja, Chandrea terkejut mendengarnya, mau bagaimana lagi, nama itu sudah sangat familiar di ingatan nya, tepatnya detektif lelaki saat itu yang memberikan nya uang, itu bukan nya membuat Chandrea terheboh, tapi dia memilih diam dengan senyum kecil. "(Rupanya dia juga punya seorang putri…)"

Tapi mendadak saja Xela mulai mimisan lagi membuatnya terkejut menutup hidung nya, hal itu juga membuat Chandrea menoleh menjatuhkan rokoknya. Namun tiba-tiba Xela akan tumbang dan Chandrea langsung menangkap nya, tak hanya sampai sana, dia menggendong Xela di dada.

"Ambilah, kain di kantung ku," kata Chandrea, lalu Xela buru-buru mengambil kain di kantung dada baju Chandrea dan menutupi mimisan nya.

"Maafkan aku… Maafkan aku…" Xela tampak putus asa dan membuang wajahnya dengan Chandrea yang masih membawanya.

Chandrea hanya diam sambil menatap ke langit. "Ini baik baik saja…"

". . . Apa yang kau inginkan, Xela…" kata Chandrea.

Xela yang mendengar itu menjadi terdiam sebentar kemudian membalas.

"Ketika aku pergi nanti, kau bisa berhubungan erat dengan keluargaku, tapi jika berhubungan dengan kampus, aku tidak ingin kamu banyak bertarung dengan orang-orang di sana, kau hanya akan di juluki penindas, sama seperti mereka… dan juga, tolong lah adik ku,"

". . . Apa keinginan mu yang sebenarnya?" Chandrea kembali bertanya.

"Tetaplah menjadi temanku, meskipun aku sudah tidak ada…"

Setelah itu dia mengantar Xela pulang ke rumah, di sisi kamar bocah lelaki tadi, sebut saja adiknya Xela, dia menatap dari jendela kamarnya, melihat samar-samar wajah Chandrea yang cantik, kemudian matanya seperti merencanakan sesuatu. Hingga kembali menutup gorden jendelanya.

Chandrea tidak menyuruh Xela jalan sendirian, dia justru menggendong kembali Xela.

"Aku bisa jalan sendiri…" kata Xela sambil masih menutupi hidung nya.

"Kau tidak bisa," Chandrea tetap menggendong nya lalu pintu di bukakan oleh Ayahnya Xela yang merupakan Marito, memang ada perubahan pada dirinya membuat Chandrea tak menyadarinya ketika pertama kali bertemu.

Hingga Chandrea meletakan Xela di ranjang nya, sebelum benar-benar pergi, dia berlutut menatap. "Jika kau ingin pergi lagi, jika kau ingin aku di sini, katakan saja padaku," tatapnya lalu Xela mengangguk.

"Sebelum aku merasa kematian ku sudah dekat, mungkin aku ingin ke kampus untuk terakhir kalinya," kata Xela menatap Chandrea terdiam, tapi ia juga perlahan tersenyum kecil. "Eheheemmm baiklah..."

"Tapi, aku juga menginginkan sesuatu," Xela menyela membuat Chandrea kembali terdiam menatapnya.

"Kau bisa melakukan apapun yang kau inginkan selagi kau senang, tapi sayangnya, aku besok ada urusan, aku tak bisa datang ke kampus..." kata Chandrea.

"Kenapa? Bagaimana jika mereka menindasku lagi?" Xela menatap takut.

"Aku akan datang, aku pasti akan datang, jadi jangan khawatir, selagi kau menghindari mereka, pastinya mereka tidak akan mengganggumu, maafkan aku… karena tak bisa datang besok."

"Ini baik-baik saja," Xela langsung membalas dengan ramah.

"Kalau begitu, aku keluar, jaga dirimu," kata Chandrea lalu Xela kembali mengangguk dan Chandrea bisa berdiri untuk berjalan pergi dari kamar Xela.

Sebelum keluar, dia bertemu dengan Ayahnya Xela. "Terima kasih atas bantuan mu itu," tatapnya mencoba mengobrol dengan Chandrea.

Tapi Chandrea tersenyum kecil dan menyilang tangan. "Apa kau tidak mengenaliku di sini?" tatapnya membuat Marito terdiam bingung.

"Kenapa? Aku belum pernah bertemu dengan mu,"

"Memang belum, tapi dulu pernah, ini aku, Chandrea yang dulu membantu kepolisian dan tugasmu itu, Tuan Marito," kata Chandrea.

Seketika Marito terkejut tak percaya. "A-apa, kau tidak bercanda kan? Tidak mungkin, kupikir gadis itu mati… ternyata… sudah sebesar ini?!"

"Eheheheeemmm tentu saja, aku senang karena kau bisa memiliki keluarga," tatap Chandrea.

Tapi Marito tampak kecewa. "Yah, seperti yang kau lihat sendiri, ini juga tak akan bertahan lama…"

"Jangan khawatir, masih ada aku…" kata Chandrea membuat Marito tersenyum kecil dan kemudian Chandrea berjalan pergi dari sana membuat Marito tampak agak senang. "Ini benar-benar gila sekali, aku tidak menyangka,"

Kemudian Chandrea kembali ke rumahnya, dia tampak masih memasang wajah kecewa, bahkan langsung duduk di sofa dan kebetulan Jangmi melihatnya.

"Hei, Chandrea, aku menemukan beberapa berita artikel dan buku tentang dirimu, termasuk seberapa kriminalitasnya Chandrea hahaha…" tatap Jangmi, tapi ia terdiam ketika melihat ekspresi Chandrea.

"Kenapa? Kamu kenapa?" dia menatap khawatir tapi Chandrea hanya menggeleng.

"Ini baik-baik saja," balasnya begitu membuat Jangmi terdiam bingung. Tidak biasanya Chandrea sepertinya menyimpan sesuatu hari ini.

Tapi kemudian ada sebuah bell pintu berbunyi membuat Jangmi berdiri dan membukakan pintu itu, tapi ia terdiam karena itu adalah dua orang pria dengan pakaian rapi.

Yang satu memakai setelan jas berwarna putih, dia juga orang kulit putih, sementara yang satunya adalah orang yang memakai setelan jas hitam, dia merupakan orang kulit hitam membuat Jangmi tampak menengadah menatap mereka. "Halo?" dengan suara yang masih tidak mengerti.

Tapi mereka yang awalnya memasang wajah serius menjadi bingung, kemudian berbisik sendirian. "Apakah dia memang orang nya?"

"Hm… Sepertinya bukan deh, padahal kita sudah mencarinya, bukankah terakhir kali apartemen ini di tempati olehnya,"

"Kau benar, sebaiknya kita pergi," mereka benar-benar aneh membuat Jangmi memasang wajah curiga, kemudian mereka kembali menatapnya.

"Maaf Nona, kami salah alamat…" kata pria kulit putih kemudian mereka berjalan pergi, tapi Jangmi masih bingung. "Hm, dasar orang aneh jaman sekarang…" ia lebih memilih kembali menutup pintu, tapi mendadak pintu terketuk lagi membuatnya bingung dan kembali membuka itu.

Siapa sangka, yang mengetuk nya adalah dua pria aneh tadi.

"Mau apa sih?" Jangmi menatap kesal sambil menyilang tangan menunggu mereka bicara.

"Kami hanya ingin bertanya, apartemen nomor 78, apakah ada di sekitaran sini?" tanya mereka.

"Haiz, ini adalah apartemen nya,"

"kalau begitu kami ingin mencari seseorang yang bernama—

"Hei," belum sempat mereka bicara, Jangmi sudah menyela. "Ini bukan urusan ku mau kalian bertanya soal seseorang di sekitar sini, karena aku baru di sini, jadi pergilah, kalian orang aneh," dia menatap kesal membuat mereka terdiam tak bersalah.

Bahkan Jangmi langsung menutupnya dan duduk di sofa, menyalakan televisi dan mulai menonton film, tapi ia masih memikirkan sikap Chandrea tadi.

"Kira-kira, apa yang membuat Chandrea begitu tidak bersemangat, bukankah ini tidak biasanya…" ia tampak khawatir.

Sementara di sisi Chandrea, dia masih ada di kamarnya, duduk di samping ranjang nya dengan tatapan datar mengingat tadi malam soal Xela.

"Kematian seseorang memanglah hal yang wajar, tapi apakah di kehidupan nya yang lebih buruk dari kematiannya adalah hal yang wajar?)" pikirnya, dia tentu saja mengamati kehidupan Xela yang bahkan tidak pernah mendapatkan ketenangan, hanya di isi dengan ketakutan dan pembullian yang bahkan tidak akan pernah dia lewatkan setiap hari.

Dia juga benar-benar sudah kesal pada dunia ini. "Dunia sialan…."

Sebelumnya, ketika mereka berdua masih ada di bawah langit malam, Chandrea bertanya sesuatu pada Xela. "Apakah pernah, kau di bela Ayah mu ketika kau di tindas?" tatap Chandrea.

Xela terdiam sebentar dan membalas. "Iya, pernah, waktu itu masuk ke SMP, aku di bully habis habisan dan menangis di hadapan nya."

"Bisa kau ceritakan padaku?"

"Entahlah, aku agak malu untuk menceritakan nya... Apakah itu harus?"

"Tentu..."

Xela menjadi terdiam sebentar, dia tampak ragu untuk bercerita. "(Mungkin percaya pada nya adalah pilihan yang tepat...)"