Ibuku kini sudah muncul dan mendekat kepadaku dengan cepat. Ia menaruh gelas teh hangat di atas meja dan duduk di sisi kasur lalu mengolesi minyak angin di bawah hidung Jihan yang bangir. Tangan ibuku juga mengoleskan minyak lagi di leher dan kening Jihan. Aku yang melihat Jihan tidak ada respon merasa sangat khawatir.
"Sebentar lagi dia akan bangun pasti," seru ibuku menatapku dengan yakin. Aku cukup lega mendengar pernyataan ibuku.
Benar saja, setelah beberapa detik mata Jihan terbuka perlahan-lahan. Aku menampakkan wajah tidak sedih agar Jihan merasa lebih nyaman. Aku berusaha memberikan dia senyuman hangat.
"Kau sekarang ada di rumahku Jihan. Tadi kau pingsan," ucapku melihat wajah Jihan seolah bertanya-tanya.
"Maaf, aku merepotkan kalian," Suara Jihan masih terdengar lemah. Ia menatap wajahku lalu ibuku dengan malu-malu.
"Tidak Jihan, kau sama sekali tidak merepotkan aku dan ibuku. Sekarang kau bisa istirahat disini dulu. Kau tidak usah sungkan-sungkan," ucapku sambil berdiri dan membuka lemari bajuku.
"Aku akan menyiapkan baju untukmu. Kau pakai bajuku dulu ya," seruku sambil memberikan piyama kaos pendek dan celana panjang bermotif kotak-kotak.
"Sementara kau pakai pakaian ini dulu, kau bisa ganti di kamar ini. Jangan lupa kau minum air teh hangatnya ya?" ucapku dengan lembut.
Aku berdiri sambil menggandeng ibuku untuk keluar dari kamarku. Aku membiarkan Jihan sendiri dulu di kamarku. Aku menutup pintu kamarku dengan rapat.
"Dia itu siapa sih, Aslan?" tanya ibuku dengan mendesak. Wajahnya menatapku dengan fokus.
Aku segera berjalan terus bersama ibu sampai ke ruang tengah. Aku berharap Jihan tidak akane dengarkan percakapan aku dengan ibuku karena aku takut Jihan masih syok dengan apa yang terjadi.
"Bu, aku akan jelaskan kepada ibu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi aku mohon ibu jangan memperlihatkan atau jangan cerita macam macam tentang Jihan kepada siapapun atau kepada Jihan juga ya, aku takut terjadi sesuatu yang buruk pada Jihan," pintaku sambil meremas kepalan kedua tangan ibu.
"Iya, iya kau ceritakan saja siapa sebenarnya Jihan," jawab ibuku dengan cepat. Wajahnya sangat penasaran.
"Bu, dia itu di aniaya oleh orang tuanya sendiri. Tadi dia berusaha kabur dari seorang pelanggan kupu kupu malam. Ayahnya itu sengaja menjadikan Jihan sebagai kupu kupu malam. Jihan kasihan sekali, Bu. Dia sering mendapat perlakuan buruk dari ayahnya," jelasku dengan membayangkan betapa menderitanya hidup Jihan.
Ibuku mengalihkan wajahnya. Dia tampak tidak suka riwayat Jihan yang sebenarnya.
"Bu, aku mohon biarkan Jihan tinggal disini dulu," ucapku dengan memohon kepada ibu.
"Lalu kenapa kau bisa tiba-tiba bersama dia?" tanya ibu seakan mengintrogasi ku.
"Aku menolong Jihan . Tadinya Jihan di ikat oleh ayah dan para pesuruh ayahnya. Jihan di ikat di gedung lalu di tinggal sendirian dan aku menolongnya sampai ke sini. Aku sudah memfoto semua kejadiannya Bu. Nanti aku akan melapor polisi," jelasku dengan yakin.
"Aslan anakku kenapa kau sampai terlibat masalah seperti ini segala, Ya Tuhan ... " ucap ibuku dengan wajah khawatir. Ia mengelus pundakku dengan lembut.
"Bu, harusnya ibu bangga. Aku bisa menolong Jihan,"
"Kau menolong seorang kupu-kupu malam. Hah, bagaimana mungkin aku bangga," ucap ibu membuatku kecewa.
Aku menatap wajah ibu yang kesal. Ia seakan ingin memarahiku. Ibu menatap lantai dengan amarah yang terpendam. Lalu ibu melihat wajahku kembali.
"Pokoknya ibu nggak mau tahu. Kau harus bereskan masalah ini dan ibu tidak mau Jihan itu terlalu lama di rumah ini," Ibu seakan memperingatkan aku dengan keras. Saat aku ingin mengatakan sesuatu pada ibu. Dia keburu pergi dengan langkah panjang.
"Huh, bagaimana mungkin ibu bersifat seperti itu," ucapku dengan lesu menatap ibu pergi.
Aku segera menuju ke kamarku kembali. Aku yakin saat ini pasti Jihan merasa lapar. Aku juga akan mengobati lukanya.
Tanganku mengetok pintu berwarna putih dengan ornamen sayap merpati yang terbuat dari kayu. Ada suara Jihan disana. Dia mengatakan kalau aku di perbolehkan masuk.
Aku tersenyum kepada Jihan. Kulihat gadis di depanku ini memakai kaos putih bertuliskan Nike. Kaosnya terlihat besar dipakai oleh tubuh Jihan yang kurus. Sementara celana panjang jeans besar membuat dia tampak lebih santai. Dia berdiri dengan seolah memperlihatkan apa yang dia pakai.
"Bagus juga di pakai olehmu," seruku dengan mendekat ke samping Jihan melihat penampilannya.
"Maaf ya, aku hanya punya baju itu yang cocok untukmu," ucapku dengan tersenyum kecil.
"Itu bukan masalah. Terimakasih ya," kata Jihan dengan lembut.
Kini aku memerintahkan Jihan untuk duduk di kasur. Karena aku takut dia masih lemas.
"Aku baik-baik saja kok," kata Jihan seolah berusaha kuat.
"kau duduk saja disitu. Aku akan mengambil kotak obat dan makanan untukmu. Ingat! Jangan kemana-mana!" seruku dengan menatapnya tajam.
"Oke, baiklah." Jihan Tersenyum manis sekali.
Aku keluar menuju dapur. Aku membuatkan dia sandwich. Tak lupa kotak obat aku juga bawa.
Saat aku memasuki kamar. Tiba-tiba Jihan berdiri di balkon. Dia melihat ke luar dengan tatapan sedih.
"Jangan bersedih Jihan. Aku akan membantumu apapun yang kau butuhkan. Jangan merasa sendirian," ucapku sambil menyentuh pundak Jihan.
Jihan melihatku setelah melihat pemandangan di luar. Ia melihatku dari ujung kaki sampai ke kepala.
"Enak sekali ya menjadi dirimu," ucap Jihan dengan memiringkan wajahnya.
Aku menghembuskan nafas perlahan menatap wajah Jihan lebih dekat.
"Jangan seperti itu Jihan. Semua yang kita miliki ini adalah ujian. Aku memiliki semuanya juga merupakan ujian. Bolehkah aku tahu apa yang membuatmu sedih?" tanyaku dengan lembut.
Aku ingin tahu apa yang di rasakan oleh Jihan.
"Aku malu sebenarnya. Sekarang kau sudah tahu kalau aku adalah kupu-kupu malam. Aku juga sedih ayahku jahat sekali denganku. Aku ingin sekali kabur dari ayahku. Aku benar-benar sudah muak dengan semuanya. Aku menyesal telah menjadi kupu-kupu malam. Aku menyesal tidak kabur sejak dulu. Mungkin aku terlalu takut dengan ayahku," Kedua mata Jihan menyiratkan cerita yang sadis.
"Aku sama sekali tidak masalah kau adalah seorang kupu-kupu malam. Intinya kau tidak menyukai hal itu dan kau ingin kabur dari ayahmu 'kan. Itu niat yang sangat bagus menurutku. Tenang saja Jihan. Aku berjanji akan selalu ada untukmu. Aku 'kan temanku. Bukankah kita berteman sejak ada di depan danau?" ucapku tersenyum miring mencoba membuat dia lebih baik.
Jihan mengangguk anggukan kepala setuju denganku.
"Sekarang ayo! Duduk di sana. Aku akan mengobati lukamu," ucapku dengan tegas seperti seorang ibu kepada anaknya yang terluka.
Jihan pun duduk di sisi kasur. Ia melihat meja kecil di samping kasur yang di atasnya ada kotak obat dan makanan.