Selamat Siang
Jangan Lupa Vote
Jangan Lupa Komen
~~~
Sepasang anak adam, Abimanyu dan Liana saat ini telah duduk bersisian di sebuah restoran Jepang.
Mereka berdua duduk di kursi lesehan ala Jepang yang biasa di sebut tatami.
Liana meremas jemari-jemarinya di atas pahanya. Matanya menatap ornamen khas Jepang yang tersusun rapi, sesekali ia melihat rak buku dan menghitung banyaknya buku yang bersandar di sana.
"Maaf"
Liana menundukkan kepalanya, menatap jari jemarinya yang saling bertaut. Satu kata yang di lontarkan Abimanyu membuat suasana yang telah canggung bertambah canggung.
"Liana" suara berat dan serak Abimanyu membuat Liana menggigit bibir bawahnya. Oh Tuhan, sungguh Liana merindukan sentuhan bibir itu. Sentuhan yang membuat tubuhnya serasa tergelitik.
Liana menoleh ke sebelah kanannya, mendapati Abimanyu tengah menatapnya sendu. Matanya penuh kepedihan dan penyesalan. Liana bisa melihat maaf yang sungguh-sungguh dari pancaran mata itu.
"Mau kan maafin Mas Abi?" sambungnya.
Liana mengerjapkan matanya. Kedipan mata itu memanas, mengumpulkan titik-titik air untuk dijatuhkan.
"Mas sayang sama kamu, Li," Abimanyu menggenggam jemari Liana yang sedang bertautan itu, "Mas janji akan perjuangin kamu. Jangan lagi hindarin Mas ya. Nggak sanggup rasanya."
Liana mengangguk kecil bersamaan dengan air yang meluncur dari kedua bola matanya, membasahi pipi dan sesekali menggenang di bibirnya.
Abimanyu merengkuh tubuh Liana yang sangat pas dalam dekapannya. Merengkuh erat seolah takut Liana akan berpaling dari dirinya.
"Aku sayang kamu, Li. Mas sayang kamu."
Liana menganggukkan kepalanya di dada bidang Abimanyu yang masih terbalut kemeja itu.
Merindukan kehangatan dekapan Mas Abi-nya. Merindukan aroma pandan di tubuh Mas Abi-nya.
Abi melepaskan dekapannya dan mengusap lembut wajah Liana yang basah akan air mata. Di kecupnya kedua kelopak mata indah itu. Tak peduli dengan tatapan mata patah hati pengunjung restoran.
"Yaudah, kita makan ya." Abimanyu mengambilkan Liana sumpit dan mulai mengisi piring Liana dengan takoyaki.
~~~
"Kamu balikan sama Abi, Mbak Li?" Leon bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel.
Liana yang sedang berada di dalam kamar mandi hanya dapat berteriak 'iya'. Leon masih menatap aplikasi hijau dengan pesan dari Abi.
"Good rest ya my dear."
Pesan yang di tambah dengan emoticon kiss bye itu membuat Leon merasa mual.
Leon melempar ponsel Liana ke arah kasur kemudian melangkah dengan wajah kesal keluar dari kamar Liana.
Waktu masih menunjukkan pukul delapan tetapi Leon sudah siap dengan kaos berwarna hitam polos dengan celana jeans selutut serta rambut berwarna pink dan abu-abu.
"Pah," Leon menyalimi orangtua yang telah di anggap sebagai Ayah kandungnya itu dengan khidmat, "Leon berangkat dulu."
Pak Hardjo hanya tersenyum singkat sambil melanjutkan membuka berkas-berkas di tab nya. Walaupun urusan kantor sudah di atur sedemikian rupa oleh anak-anaknya dan juga Devan sebagai asisten pribadinya. Tetapi Pak Hardjo tetap mengontrol semua kegiatan yang terjadi.
Leon mengambil sepatu berwarna hijau less putih. Warna yang tidak berpadu. Tapi begitulah Leon yang tidak pandai memadupadankan warna. Yang terpenting adalah, dia suka dan nyaman.
Lelaki itu mengemudikan bumblebee dengan kecepatan sedang. Matanya meneliti jalanan yang ramai dan juga warung makan pinggir jalan yang penuh dengan muda-mudi membuatnya iri.
Mengingat kembali bahwa Liana lebih memilih Abimanyu ketimbang dirinya, membuatnya penasaran. Kira-kira peristiwa apa yang akan membuat Liana pergi menjauhi Abi.
Leon yakin, Omanya Abimanyu bukanlah orang yang gampang luluh hatinya. Pasti hati Liana akan tersakiti lagi.
Leon menghembuskan napas kasar melalui hidung mancungnya.
Sudah bertekad kali ini, dia akan menjadi lelaki yang cuek di hadapan Liana. Biar Liana tau bagaimana rasanya bila Leon tak menganggapnya ada.
"Nggak naik lo?" pukulan Dafa mendarat di bahu Leon diiringi dengan suaranya yang setengah berteriak membuat Leon menatapnya dengan malas.
Leon menggeleng. Tangannya mengangkat botol flavour vodka rasa coklat. Walaupun mempunyai rasa, vodka termasuk salah satu minuman dengan kadar alkohol yang tinggi.
Dafa menatap botol minuman itu dan beralih menatap Leon yang terlihat gusar.
"Something happen?" Dafa menggerakkan telunjuknya ke arah Niko mengisyaratkan satu minuman untuk tersaji di hadapannya.
"She returned," Leon kembali menenggak minumannya dalam satu tegukan, "I'm like crazy person who hope for her love, Daf."
Dafa terdiam. Pikirannya menerawang jauh entah kemana, "So...leave her."
Leon menoleh dan memperlihatkan matanya yang mulai sayu.
Drunk.
~~~
Liana memperhatikan jam dinding. Pukul sepuluh lewat sebelas. Dan Leon sudah mabuk berat.
"Habis berapa botol?"
Liana bertanya sambil mengekori Leon yang di papah oleh Dafa dan juga Indra.
"Kayaknya sih lebih dari lima."
Dafa melangkahkan kakinya memasuki kamar Leon yang pintunya telah di tendang oleh kakak iparnya, Indra.
"Itu adikmu gak apa-apa, Li?"
Liana menoleh memberhentikan langkahnya, terlihat lah raut wajah Papanya sedang khawatir.
"Oke kok pah," Liana menganggukkan kecil kepalanya sambil tersenyum, "Papa istirahat lagi aja."
Terdengar Pak Hardjo menghembuskan napas pelan dan menatap pintu kamar Leon yang terbuka. Lelaki separuh abad itu mengintip sedikit keadaan Leon tetapi kakinya tidak melewati batas pintu kamar Leon.
Liana melangkah masuk tanpa memperdulikan Papanya yang masih berdiam di depan pintu.
"Bawa ke kamar mandi, Mas." titah Liana. Wanita itu membuka pintu lemari Leon dan mengambilkan celana dalam serta celana pendek untuk Leon.
"Kamar mandi?" Dafa mengulang perkataan Liana barusan dengan nada yang tidak percaya.
"Iya, kalo lo gak mau bawa tuh anak ke kamar mandi biar Mas Indra aja. Cepetan Mas." Liana mengibas-ngibaskan tangannya ke udara pertanda kesabarannya mulai habis.
Wanita itu mengutak-atik kotak P3K yang terletak di laci nakas samping tempat tidur. Mengeluarkan NSAID serta menyuruh Lena yang sedari tadi mematung untuk mengambilkan air minum.
Liana melihat tubuh Leon yang tergeletak di bawah shower. Wanita itu melangkah dan menyalakan shower hingga membasahi tubuh Leon.
"Lianaaa Lo gila!!!" Lena terpekik saat melihat tubuh Leon tersiram air shower tanpa jeda.
"Jangan berisik deh Len. Dah!! Sana pergi." Liana berjalan cepat ke arah semua orang yang masih berada di dalam kamar Leon.
Dafa, Mas Indra, Lena serta Papanya tak dapat berkutik saat melihat tindakan Liana.
Liana mendorong tubuh mereka semua dengan halus keluar dari pintu kamar Leon, "Nitip anak-anak ya Pah. Li mau temenin Leon dulu malam ini." Wanita cantik yang telah mengenakan baju tidur itu menutup pintu dan menguncinya. Kakinya melangkah kembali ke dalam kamar mandi dan menemukan tubuh Leon yang neringkuk kedinginan.
"Makanya, salah siapa mabuk?!!" Liana mengomel walaupun yang di omeli tak dapat mendengar perkataannya, "Nyusahin aja."
Liana merengkuh tubuh Leon dan membiarkan tubuh mereka berdua terbasuh oleh air shower yang dingin. Cukup lama seperti itu. Hingga tangan Leon bergerak memegangi kepalanya yang sakit.
"Nggghhhh" lenguhnya.
Leon memijat lemas kulit yang membalut kerangka kepalanya. Dapat ia rasakan tubuhnya seperti di hujani ribuan jarum jahit. Matanya sedikit terbuka dan menutupnya lagi saat ia rasakan tetesan air jatuh mengenai tubuh dan kepalanya. Apakah hujan? Apakah di club bocor?
Tepukan keras di dahinya membuatnya terpaksa membuka mata dan terlihatlah wajah kesal kakaknya yang siap menghujani telinganya dengan 1001 kata.
Leon bangkit, kedua sikunya bertumpu pada lutut dan jemarinya meremas pelan kepalanya. Hingga sebuah tarikan pelan di lengannya membuatnya menengadah. Tak ada lagi air shower yang berjatuhan membasahi lantai kamar mandi. Hanya wajah Liana yang selalu menjadi bunga dalam tidurnya kini menatapnya datar.
"Bangun." Liana mengangkat lengan Leon dengan kuat dan setengah menyeret Adik angkatnya itu untuk keluar dari kamar mandi. Liana mengambil handuk dari kapstok di belakang pintu, "Nih handukan. Ganti baju sama itu." telunjuk Liana mengarah ke atas nakas, "Cepetan."
Leon bingung. Dirinya memang terbiasa shirtless tapi tidak untuk membuka celana di depan Liana. Wajah Leon yang setengah merah karena mabuk kini bertambah merah ketika Liana menatapnya intens.
Sial. Otakku mandek.
Liana berdehem seolah paham akan situasi kini wanita itu mengambil pakaiannya dari dalam lemari Leon dan berjalan ke dalam kamar mandi untuk mengganti pakaian.
Leon melihat Liana sedang menggosok rambutnya dengan handuk berwarna biru itu membuatnya menelan salivanya sendiri. Tidak ada yang salah. Penampilan Liana amat tertutup karena baju tidur berlengan panjang itu hanya saja otak Leon yang tak bisa berkompromi.
Liana mulai mengeringkan rambutnya dengan hair dryer dan semua itu tak luput dari penglihatan Leon. Dia mabuk tapi masih waras.
"Nih," Liana menyodorkan sebuah pil ke arah Leon dan juga gelas yang berisikan air putih.
"Udah?" Leon mengangguk, "Baring" perintah Liana. Wanita itu mulai menggosokkan minyak angin di punggung telanjang Leon menyebarkan rasa hangat di sekujur tubuh Leon. Sentuhan jemari Liana membuat sesuatu mulai menegang. "Dah" Liana menepuk punggung bahu Leon membuat lelaki itu menatapnya dari balik bahunya, "Tidur. Jangan bantah."
Liana menaikkan selimut untuk menutupi tubuh Leon. Perhatian memang, tapi Leon ingin perhatian itu bukan sebagai adik dan kakak tetapi lebih as person.
Salam
Putri Mataram