webnovel

Chapter 7 - Kunang-Kunang Emas

"Lisa, Ropi, Pak Haris! Aku disini, kemarilah!"

Tiba-tiba terdengar teriakkan Ayi dari suatu arah hutan dengan kegelapan malam yang cukup. Mendengarnya refleks mereka bertiga menyusul si pemuda yang nekat itu.

"Entah apa yang dipikirkan dia, ngapain dia sendirian disana coba?" Ketus Ropi sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Ayi berjalan lambat, dilihat-lihat ternyata dia sedang mengikuti segerombolan kunang-kunang yang berkelap-kelip di gelapnya malam.

Tampak kunang-kunang itu terbang menunjuki suatu jalan yang mengarahkan suatu tempat, entah kemana itu dan apa serta mengapa maksudnya.

"Kita ngapain sih mengikuti kunang-kunang gak jelas itu?" Ropi bertanya dengan berisik.

"Sudah ikuti sajalah." Kata Pak Haris mencoba serius.

****

Segerombolan kunang-kunang itu tiba-tiba berhenti di suatu tempat lalu berhamburan dan pergi, mengantarkan mereka di depan sebuah tumpukan semak belukar.

Ngeri mencekam dan didukung risihan semak-semak dan kicauan burung hantu benar-benar membuat telinga menjadi pucat dan bulu kuduk berdiri. Tanpa disadari mereka telah berada di titik pusat hutan liar itu.

Heh heh heh hehhehheh!

Seketika terdengar tangisan seorang wanita menyahut di semak-semak tepat di hadapan mereka.

"Suara apa lagi itu?" Sekali lagi Ropi mengulur pertanyaan tegangnya.

"Tak salah lagi, kunang-kunang tadi berhamburan tepat di atas semak ini, kemungkinan ada sesuatu dibaliknya. Dan suara itu …" Ayi berkata, dia pun maju dan mencoba menyapa semak-semak itu dengan perasaaan sedikit gerogi.

"Hei, tunggu!" Sergap Ropi, Ayi pun terkejut. "Nih anak sok berani saja kerjanya. Apa kamu yakin ingin membuka itu?"

Ayi mengangguk.

"Hati-hatilah, Nak." Peringat Bapak penongkah itu tepat di belakang kanan si Pemberani itu.

Masing-masing bergerak siap siaga yang bermaksud refleks jika terjadi sesuatu diluar dugaan.

Setelah Ayi membuka semak-semak belukar itu, alangkah indahnya nasib.

Ternyata mereka menemukan seorang gadis yang sedang duduk bersimpu malang.

"Jihan? Jihan!" Sebut Ayi dengan nuansa penuh kesenangan, dia langsung berlonjak dan segera merangkul temannya dan keluar dari semak-semak itu, sementara yang lain tersenyum bahagia tebal.

"Apa kamu baik-baik saja, Jihan?" Ayi melontarkan pertanyaannya.

"Terima Kasih Ya Allah! Engkau telah mengabulkan doa kami." Lisa mengusap kedua tangannya ke wajah.

Hal itu benar-benar tidak disangka, dengan mengikuti kunang-kunang ternyata wujud pengabulan dari doa mereka.

"Ha, ha, hantu." Jihan mencoba menyebut dengan tersendat lemas.

Banyak luka di wajah dan tangannya, rambutnya kocar kacir, pakaiannya berlumur dengan tanah. Sepertinya gadis malang itu trauma hebat.

"Syukurlah kami telah menemukanmu Jihan." Ceria Lisa sedari tadi mengusap kedua tangannya di muka. "Ayo langsung saja kita pergi dari sini, dia harus cepat dirawat." Lisa berkata.

Dengan segera mereka pergi meninggalkan tempat itu.

"PEMBUNUH! PEMBUNUH! PEMBUNUHHH!!!"

Spontan jeritan mengerikan bertubi-tubi bergema di gendang telinga, volume yang tinggi dengan bass yang hancur membuat burung-burung yang tidur beterbangan sembrono tak terkecuali para manusia yang berada di tengah hutan itu, mereka terkejut hebat dan terhenti bagaikan seekor kijang terkepung oleh sekumpulan singa dengan perut keroncong.

"Su, su,suara apa lagi itu? Seram sekali!" Kali ini Lisa yang berucap dengan nada ketakutan.

"Sepertinya hutan ini benar-benar angker." Ayi turut berkata.

"Tidak salah lagi, itu pasti suara mereka." Sahut Pak Haris melirak-lirik ke atas, begitu juga dengan yang lainnya.

"Tapi mengapa mereka menjerit seakan-akan marah besar?" Tanya Ropi mulai gelisah.

"Butuh waktu lama untuk menjawab itu. Kita harus segera keluar dari hutan ini, ayo!" Ucap Pak Haris sekaligus mengusulkan, mereka pun tergesa-gesa mencari jalan keluar.

****

Sang waktu telah memasuki subuh. Pantai di sebuah muara sungai diguyur oleh ombak-ombak laut pasang sehingga tercipta suara gemuruh yang merdu di telinga.

Waktu demi waktu berlalu, saat pagi mulai terbangun akhirnya muncullah lima manusia dari hutan tepi pantai itu. Ternyata mereka selamat namun status mereka lelah dengan keadaan berlecak luka, khususnya seorang gadis yang dibawa pria dengan cara dirangkul itu. Dia setengah pingsan dengan keadaan lemah gemulai.

"Akhirnya! Kita keluar juga dari hutan payah itu, yeahhh!" Ketus Ropi sambil berlari dengan lembek.

Mereka langsung mampir di pondok pantai, dimana terdapat barang-barang mereka disana. Pondok itu sungguh berserakan sana-sini serta terleceti oleh lumpur.

"Kok jelek seperti ini pondoknya? Jadi begini kelakuan kalian berdua saat aku dan Jihan buang air semalam." Kata Lisa seraya menuduh Ayi dan Ropi dengan kedua tangannya bertekuk di samping pinggang.

"Eh enak aja lu menuduh sembarangan. Kayak kurang kerjaan saja kami melakukan semua ini." Sanggah Ropi. "Monyet kali, atau kucing."

"Mana ada kucing di pantai, kan ketahuan bohongnya. Dasar kau, Idiot!" Dengan marah Lisa langsung mengejarnya.

Si Ropi pun refleks lari. Kembar itu kejar-kejaran di sepanjang bibir pantai yang diselaputi kulit-kulit kerang yang telah memutih itu dan bersiram-siraman air laut meskipun dalam keadaan lemah jua. Perlahan kecerian kembali menutupi stress mereka disamping pemandangan yang leluasa asri, indah, dan segar.

Melihat itu Pak Haris menjadi tersenyum, begitu juga Ayi. Ayi dengan sangat lelah, sekonyong-konyong merebahkan Jihan yang malang ke lantai pondok. wajahnya pucat dan lebam, begitu juga beberapa bagian tubuhnya.

"Kasihan sekali Jihan." Ucap Ayi. "Apa yang harus kita lakukan sekarang, Pak?"

"Tidak ada cara lain selain menunggu para penongkah atau nelayan perdana yang lewat sini." Jawab seorang Bapak penongkah itu.

"Begitu, ya. Baiklah." Balas Ayi lega.