webnovel

Chapter 4 - Ambisi Dimulai

"Perhatian, barangsiapa menemukan dua orang anak kembar yang bernama Rina dan Rini agar melaporkan ke panitia acara segera. Mereka terpisah dengan orangtuanya karena banyaknya orang." Panitia mengumumkan informasi kehilangan orang.

"Hilang? Kok bisa? Menurutku ini masalah besar, karena disini adalah pantai lumpur yang dibuntui oleh hutan dan laut." Kata Lisa ikut khawatir seraya merespon. "Ayo kita mencarinya Yukie."

"Apa?! Kok kita yang mencarinya, Lisa. Kita kan penonton biasa. Ah gak gak, yang bener aja kamu." Yukie menggeleng-gelengkan jari telunjuknya.

"Ya ampun Yukie, apa masalahnya kita bantu mencari. Kamu kan anak Pramuka kok tak ada rasa pedulinya sih." Terang Lisa langsung menunda temannya.

****

"Benar-benar keliru disini, jangan-jangan ada hubungannya dengan penongkah aneh itu." Ayi berspekulasi.

"Itu namanya kamu su'udzon Ayi, nggak ada bukti nggak boleh asal tuduh dong." Sahut Ropi menggerutu.

"Diamlah Ropi, kamu saat ini tidak sependapat denganku." Ujar Ayi ketus.

"Apa boleh buat." Ropi pasrah, bola matanya berotasi sebab keheranan dengan tingkah laku temannya itu.

Dua pemuda itu segera beranjak dari hamparan lumpur, kemudian mereka berendam di air sekaligus mandi berenang bersama sekian para peserta nongkah. Disana juga terdapat petugas-petugas yang menyelam untuk mencari anak kembar yang hilang itu.

"Perhatian, barangsiapa yang menemukan seorang pemuda tinggi kurus berkulit hitam yang bernama Rahman agar melaporkan ke panitia acara segera." Panitia menyebarkan info hilangnya seseorang yang kedua kalinya.

"Apa?! Mustahil. Tiga orang sekaligus menghilang, ini serius sekali." Kata Ropi mulai serius, sementara Ayi terbungkam kebingungan dan setidaknya menguatkan keyakinannya itu.

"Perhatian, untuk hadirin yang menemukan dua anak kembar dan seorang pemuda kurus tinggi agar melaporkan ke panitia acara segera, ini keadaan darurat. Dan diharapkan kepada penonton maupun peserta agar segera pulang dengan hati-hati karena festival telah berakhir. Demikianlah Festival Menongkah Heritage tahun ini, semoga hari-hari anda menyenangkan. Mohon maaf jika ada kekurangan dan kesalahan dari kami karena kesempurnaan hanyalah milik Tuhan semata, kami mengucapkan terima kasih dan sampai jumpa di lain waktu!" Ucap Panitia acara itu seraya menutup acara festival manongkah tahun itu.

Orang-orang pun segera pulang memenuhi dermaga dan ponton lalu menaiki kapal dengan berisik, begitu juga kontingen sekolahnya Ayi, Lisa, dan Ropi. Pergi dengan ceria pulang dengan ngeri.

Ini masalah besar yang pertama kali aku temui dalam hidupku. Entah kenapa ini seperti alur novel. Aku berproses menulis penjelasan tentang event yang kami jalani saat ini, lalu datanglah sebuah masalah yang sangat tepat untuk dijadikan konflik cerita, bagus! Keberuntungan di pihakku saat ini.

"Hei kalian! Cepat bersih-bersihnya dan ayo pergi kembali. Guru-guru telah menunggu kalian yang peserta!" Teriak Lisa memberitahukan semua penongkah sekolah yang sedang mandi di pantai bernama Saresah Bidari itu.

"Hei, kami disini!" Ropi berteriak sambil menghampiri.

"Oh, ayo cepat, semuanya telah menunggu ki…"

"Tunggu!" Potong pemuda berketurunan Timur Tengah asal Malaysia yang berbasah kuyup itu. "Kita bertiga jangan pulang dulu."

"Ha?" Kaget si kembar itu serentak.

"Selama orang-orang yang hilang itu belum ditemukan kita harus membantu mencari mereka. Ini bukan masalah kecil karena hilangnya mereka secara misterius." Jelas Ayi dengan wibawanya.

"Stress lu Ayi!" Ujar Ropi. "Itu bukan masalah kita, kita nggak tahu dan nggak peduli karena ini adalah tugas Polisi."

"Iya, si idiot benar. Kita jangan melibatkan diri kita berlebihan seperti ini, kita ini pelajar. Aku sempat merasa sepihak namun setelah tahu jika Polisi sudah turun tangan jalan pikir aku sudah reda yang awalnya begitu." Tambah Lisa seraya turut keberatan pula.

"Aku sudah berpikir pasti kalian akan menolak. Bagaimana ya …?" Ucap Ayi sembari mempertimbangkan. "Ya sudahlah, jika kalian ingin pulang silahkan. Aku ingin tetap tinggal di desa terdekat sampai orang-orang itu ditemukan."

"Kamu serius? Pikirkan terlebih dahulu, kasus ini pasti diselesaikan oleh pihak Kepolisian. Kamu jangan repot." Lisa berkata.

"Keputusanku telah bulat, Lisa." Ucap Ayi dengan sangat yakin.

"Kalau seperti ini, kami berdua sebagai teman tidak tega meninggalkanmu. Mungkin kami berdua juga ikut denganmu." Setuju Ropi, sementara Lisa hanya berdiam layaknya mempertimbangkan pula, mungkin sebab dia seorang wanita.

Tiga pelajar itu meminta izin pada guru-guru yang bersangkutan tapi hal itu tidak terjadi dan semudah itu seperti yang diinginkan. Guru menolak keras keputusan mereka, hal itu sangat bijak tapi Ayi bersikeras meminta dan membujuknya. Dia mengatakan bahwa itu merupakan bentuk kepedulian dan anggap sajalah mereka bertiga utusan sekolah untuk menganalisa masalah itu.

Dengan upaya keras terpaksa mereka diizinkan namun dengan ancaman bahwa selama mereka pergi berketerangan alpha. Awalnya terkejut tapi mau tidak mau harus menelan habis semua itu.

Kapal kontingen sekolah berangkat meninggalkan pantai namun saat tiba di sebuah desa kecil menyinggahkan tiga muridnya, lalu berangkat kembali.

"Ancaman kita alpha lho dan sengaja secara nyata, tiga hari saja bisa berancaman fatal tapi kalau kasus ini panjang bukan tidak fatal serta lulus atau tidak lulus lagi, yang ada kita ditendang dari sekolah." Kata Ropi merasa ketakutan dengan hal itu.

"Kita kelas 12, aku yakin itu tidak akan terjadi." Balas Ayi.

"Tapi UNBK sebentar lagi, Ayi. Sungguh ini sangat berisiko." Lisa terkesan berat.

"Aku tahu itu, Lisa, tapi entah mengapa pikiranku berkata kita harus melakukan hal ini dan bisa selesai."

"Itu tak lain hanyalah hasratmu yang ingin menyelesaikan karanganmu." Gumam Lisa serius.

"Terus apa yang akan kita lakukan sekarang?" Tanya Ropi.

"Sepertinya kita harus buat perkemahan dengan meminjam peralatannya dengan warga disini, semoga ada. Masalah pakaian kita aku telah berpesan pada Jihan untuk membawanya kesini besok." Jelas Ayi.

Mereka pun mulai berjalan mengikuti jalan papan kecil dimana disokong pondasi kayu di atas air asin laut yang kuning itu. Suasana perdesaan itu riah karena selesainya sebuah festival kebanggaan masyarakat yang bermayoritas Suku Duanu yang punya, namun heboh juga karena masalah yang terjadi setelah festival berakhir.

Mereka dengan seriusnya mencari orang yang memiliki peralatan kemah. Pintu ke pintu diraungi, sekian dari orang ke orang yang di pinta bantu dan akhirnya dapatlah pada salah seorang warga yang rumahnya terletak di ujung desa itu.

Rumah yang tak jauh dari wajah hutan bebakauan dan nyirih serta rumput liar itu. Orang itu merupakan mantan pembina Pramuka, jatuhnya wajar saja tersedia peralatan kemah untuk pemuda itu.

"Terima kasih banyak, Kak!" Ucap Lisa.

"Sama-sama." Balas Kakak itu dengan datar, lalu segera dia menutup pintu.

Mereka langsung mendirikan tenda di suatu hamparan rumput yang kosong.

"Gaes, aku keluar dan tinggal dulu ya, ingin buang air kecil bentar. Kalian berjemurlah di luar supaya temperatur tubuh kalian terjaga." Pamit Lisa sekaligus menyarankan.

Sebenarnya Lisa ingin menumpang di rumah Kakak tadi tapi sayangnya dia merasa segan dan wajar karena dia seorang perempuan hingga terpaksa pergi ke belakang lapisan pepohonan di wajah hutan itu.

"Lagian aku merasa aneh dengannya, masa ucapannya itu datar tanpa ekspresi, memandang ke bawah pula seakan-akan habis melakukan dosa." Lisa berkata gumam. "Ah, masa bodohlah, gua kebelet pipis gini sempat saja mikirin hal itu."

Ritual pembuangan sisa metabolisme tepatnya buang air kecil gadis itu selesai, kaki mencoba kembali ke tenda. Akan tetapi, saat itu telinganya mendengar sayup-sayup seseorang meminta tolong dari dalam hutan itu.

"Jeritan seorang wanita. Apakah itu nyata ... atau firasat kusutku saja?" kali ini Lisa bergumam serius.

Sesungguhnya dia juga tidak berani untuk masuk lebih dalam hutan yang asing dan membara itu tapi jeritan yang terdengar semakin jelas.

Lisa mencoba dengan berani mendekat perlahan-lahan dan bersembunyi di balik pohon demi pohon dengan hati-hati. Nyatanya tidak ada masalah apapun ditemukan, hanyalah hutan kosong. Dia menyimpulkan mungkin hanyalah firasat kusut saja yang mengelabui telinganya.

Plaaak!

"Aaaa!" Pekik Lisa terkejut, ada yang menepuk bahunya dari belakang. Dia pun berbalik cepat tanpa ragu.

"Eh, Kakak, bikin aku kaget saja." Kata Lisa lega, ternyata Kakak pembina Pramuka tadi yang hampir membuat jantungnya tercopot dari sarangnya.

"Hahaha! Maaf." Seraya dia mengasak rambut belakangnya.

"Kenapa Kakak berada disini?" Tanya Lisa.

"Nggak ada, kamu sendiri ngapain?" Dia malah bertanya balik dengan memaparkan mata tajamnya, seakan-akan mata itu berisi kemisterian.

"A, aku habis ... Habis, ada deh, tiba-tiba mendengar suara minta tolong jadi aku kesini. Kakak ada dengar tidak?"

"Tidak." Jawabnya simpel lagi, entah mengapa kali ini dia tegang mengucapinya.

Setelahnya, Lisa pamit pergi untuk kembali ke tenda dengan bernafas lega.