webnovel

Chapter 2 - Festival Manongkah

Fajar terbit menjunjung gradiasi jingga dan putih kelabu. Kokokan ayam bersahut-sahutan di penjuru desa tak lain dan tak bukan untuk membangunkan pribumi.

"Ropi, bangun lah. Kita harus cepat ke sekolah, nanti telat lho." Teriak Lisa, Gadis keriting gantung dengan kebiasaan disiplinnya itu. "Banguni juga Ayi, sana!"

"Bentar lagi, aku masih ngantuk." Balas lemas Si Adik beda 5 menit itu.

Mereka kembar dengan kelamin berbeda. Meskipun begitu, mereka selalu tak selaras melebihi magnet berkutup Utara dan Selatan.

"Bangun atau aku siram dengan air!" Tegas Si Kakak sekali lagi.

Pria berambut kribo itu pun segera bangun tergesa-gesa dari sofa dan menuju kamar temannya dengan tergoyang-goyang.

Tiba di sana bukannya membangunkan, malah dia terlelap kembali di sebelah temannya, Ayi. Apalagi, Lisa melihatnya langsung bereaksi.

"Ya ampun nih bocah, buat kesal terus kerjanya." Lisa langsung ke dapur, entah apa yang ingin diambilnya.

Srassshhh!

Siram Lisa dengan air hingga mereka terbangun spontan.

"Apa-apaan sih lu!" Ropi menjadi serius dengan muka dan baju yang basah sedemikian, begitu juga Ayi.

"Dibilangin bangunkan Ayi malah tidur lagi disampingnya. Cepat kalian mandi sana! Sudah jam kurang lima belas menit." Perintah Lisa tegas.

"Oke Nyonya Lisa." Balas Ayi si pemuda tamvan dari Negeri Jiran Malaysia itu segera bergerak.

Ayi tak lain hanyalah anak pendatang dari Negara tetangga dan memilih untuk hidup di suatu Desa di Indonesia demi mencari pengalaman hidup yang berbeda dan langka, karena dia mengaku bahwa dirinya tidak menyukai kehidupan kota untuk lonjakan umurannya. Yap! Dapat disimpulkan bahwa dia berani menelan tantangan hidup dengan mandiri. Padahal keluarganya bukan orang bawah tapi di kamusnya tidak ada kata meminta. Mengapa? Karena dia bekerja sendiri, dia seorang penulis remaja yang menghasilkan uang. Cukup banyak karangannya diterbitkan populer. Wajar saja, sebab bakatnya telah terinfeksi oleh rajutan tulisan berjuta makna diatas si putih mulus. Saking parahnya bius itu, buku karangan tempat dia bercerita saja dia namai 'karangan kedamaian'. Indah bukan?

Kriiinggg!!!

Bel masuk pun berdering. Seluruh siswa-siswi masuk ke kelas masing-masing, termasuk Ayi dan Ropi. Mereka berdua duduk sekelas 12 IPA-2.

"Aku dengar nanti ada seleksi, tapi apa ya? Ada yang tahu nggak?" Tanya Ayi yang sedang berkumpul bersama teman-temannya itu.

"Oh, kalau itu aku kurang tahu, Ayi. Cuma kata anak IPA-1 nanti ada festival tapi gak tahu festival apa." Jawab salah satu temannya.

"Jangan-jangan festival band antar sekolah. Kalau gitu mantap banget tuh, bisa ikut kita. Kayak tahun kemaren, yang … Farhan sebagai gitaris malu-maluin itu lho, hehehe!" Sahut Ropi gerasah-gerusuh seraya menyindir teman di hadapannya.

"Itu mah Liga Band Antar Sekolah, bukan festival idiot! Dan masalah penampilan tahun lalu … kan aku pengganti gitaris kalian yang pengecut itu. Bersyukur kali daripada kalian tak tampil sama sekali hingga denda lima ratus ribu!" Balas Farhan pedas.

"Santai bro, tapi emang bener sih." Ucap Rizky kemaluan mengingatnya.

Bu guru nan molek pun datang untuk masuk mengajar.

Sebelum masuk jam pelajaran diinfokanlah sebuah festival budaya yang telah hadir kembali. Sebuah festival yang mempersembahkan atraksi budaya, festival yang bernama Manongkah Kerang di atas permukaan lumpur. Beberapa siswa akan diseleksi untuk ikut turun dalam festival tersebut dan beberapa lainnya sebagai penonton.

Kriiinggg!!!

Bel beralunan merdu, rakyat sekolah pun sibuk melihat daftar nama yang terpilih serta dalam festival. Ayi, Ropi, dan Lisa juga segera melihatnya, ya tentunya karena mereka ingin terpilih juga.

"Yeee! Namaku ada di sana, Ropiensyah Putera!" Teriak Ropi dengan keras. Dengan percaya dirinya dia menari-nari dengan imej di antara banyaknya murid lain.

"Aduh, biasa saja Idiot. Berisik tau, gak malu apa kayak gitu?" Ujar Lisa sambil fokus melihat namanya di daftar.

"Dasar sirik!" Balas Ropi dengan ekspresi jutek."Apa kamu bilang?!""Eh, nggak kok kak. Becanda aja." Alih Ropi seraya membujuk rayu, lalu dalam hatinya bergumam konyol "Dasar, aku sebagai laki-laki mati rasa banget dibuatnya. Untung dia saudariku, kalau tidak … ah, pasti takut jugalah."

Ayi dan Lisa masih mencari kertas demi kertas. Mata mereka berotasi, namun sepertinya Lisa tidak menemukan nama indahnya. Otomatis dia hanyalah penonton.

"Oh itu dia namaku, Ayi Tusyafirama." Sebut Ayi sampai mengalihkan pandangan dua temannya itu.

"Benarkah? Alhamdulillah. Nama pemuda yang aku kagumi ternyata ada juga." Ucap Ropi senang.

Kemudian, berbarislah para murid yang terpilih untuk mendengarkan penyampaian oleh Bapak Kesiswaan tentang apa yang dilakukan dalam festival, mengapa, tujuan, dan syarat untuk mengikuti festival itu, dan lainnya. Tentunya berdasarkan kemauan individu siswa masing-masing. Selain itu, baju kontingen festival pun diberikan.

Sepulang sekolah …

"Festival Ma.nongkah, sebenarnya aku gak tahu tentang festival yang satu ini, di telingaku asing banget. Tapi apakah itu festival tahunan desa ini?" Pemuda tamvan itu ingin tahu, seraya mereka berjalan menuju rumah.

"Iya, beberapa tahun sekali diselenggarakan tapi tidak setiap tahun sih. Itu merupakan festival budaya masyarakat Suku Duanu. Semacam berburu Kerang di atas permukaan lumpur dengan menggunakan papan selancar. Lumayan seru lho, hitung-hitung sebagai liburan dan hiburan." Jelas Lisa, sementara Ayi terangguk-angguk menyimaknya.

"Tapi apa keunikan dari festival itu?" Tanya Ayi sekali lagi. Ternyata dia belum bentrok pada masa Festival Menongkah Kerang sebelumnya.

"Festivalnya seperti ibarat selancar di laut, bedanya yang satu ini di atas permukaan lumpur sehingga disebut selancar lumpur. Permukaan lumpurnya itu di pesisir pantai hingga pantainya bukan seperti pantai pasir biasa pada umumnya." Lisa menjelaskan sekali lagi.

"Aku mengerti sekarang. Oh iya teman-teman, aku pulang ke rumahku saja hari ini, Ada hal penting yang mau aku kerjakan." Ucap Ayi menutupi percakapan dan rasa ingin tahunya.

"Silahkan bro, lanjutkan saja tulisanmu itu hingga tuh jari keriting semua kayak rambutku ini." Ropi seraya menebak.

"Hahaha! Ada-ada aja kamu, sampai jumpa besok, ya." Ucap Ayi seraya berhaluan jalan.

"Iya, hati-hati di jalan!" Ucap Lisa sambil melambai-lambaikan tangannya.

Persimpangan yang memisahkan mereka. Ayi menuju rumahnya melewati jalan raya di desa itu. Sambil berjalan di sana dia melihat baleho dan poster bernuansa festival yang sedang hangat dan akan tiba itu telah ditempelkan di tembok-tembok.

****

Di rumah ...

"Ahh, tubuhku telah mengatakan lelah dan capek." Keluh Ayi sambil menggantungkan tasnya di dinding kamar, lalu bersinggah untuk mengacakkan diri di hadapan cermin kaca.

"Yah, tapi percaya atau tidak entah kenapa aku tetap tampan pada saat lelah seperti ini."

Sebenarnya Si Tampan itu mulai dari alis mata, bentuk mata, hidung, dagu, kulit hingga tinggi badan semuanya berbumbu Timur Tengah. Akan tambah komplit jikalau berfasih bahasa Timur Tengah ya, contohnya Pakistan deh jika tidak Arab. Tapi setidaknya wajar karena dia seorang yang berasal dari Negeri Jiran Malaysia yang mana muka orang-orangnya kealaan Arab.

Tubuh pun tercampak di kasur nan empuk bermotifkan batik abu-abu. Walau bagaimanapun kemandiriannya itu yang patut diteladankan, dengan rumah dan kamarnya tertata indah dan rapi. Poster-poster Revolusi Mental karyanya sendiri berpajang keren. Begitulah keadaan lingkungan pemuda berbakatkan seni itu.

"Tapi kalau dipikir-pikir yang satu ini layak diangkat menjadi karangan baru lho, padahal belakangan ini susah sekali mendapat ide yang berbobot. Tapi akhirnya muncul juga di benakku dengan hadirnya festival yang kejutan buatku itu, terima kasih Ya Tuhan." Dia langsung membentang Karangan kedamaian-nya.

Penulis yang satu ini juga cukup terbilang unik, caranya mengarang sebuah novel tidaklah sama seperti novelis pada umumnya yang memakai kaedah-keadah tertentu yang menuntun pada tahap finishing, melainkan dengan menceritakan apa yang dia alami, ya semacam diary-lah, lalu baru dia revolusikan menjadi sebuah Karangan terutama novel. Otak dan cara kerjanya bak sulap. Mungkin karena dia seorang penulis yang unik ya.

Pena pun mencoba melukis berpuluh-puluh huruf di permukaan ...

Dan suatu ketika kamu menemukan sebuah ide berlian di benakmu, maka goreslah di karanganmu segera. Itu merupakan tips karena saat ini pun terukir sebuah ide tersebut di benakku, dan aku pun lekas menggoresnya di dalam Karangan kedamaian. Aku harap ini sesuai dengan ramalanku yang optimis, bahwa karanganku ini bakal sukses!

Braaak!

Gemuruh reruntuhan barang menghantam pendengaran dan mengagetkan Ayi yang tengah menulis.

Ketika tangan membentang jendela, mata sinis melihat arah luar, namun ternyata hanyalah gelen tua yang tumbang. Entah apa sebabnya tapi itu membangkitkan bulu kuduknya. Angin tipis menerpa siang bolong tanpa terlihat orang lintas lalu.

"Ah lupakan, hanyalah angan-angan saja" Pria tampan itu membatin lalu melupakan hal itu.