webnovel

Mau Tanya Apa?

"Makasih, ya?" Suci hanya bisa mengulum senyum manis di kedua bibir ranumnya saat mendengar apa yang dikatakan oleh Ghea barusan. 

"Everything's gonna be okay after this, trust me!" Kedua tangan Ghea lalu terulur untuk menepuk pelan kedua pundak Suci untuk mengalirkan sedikit saja kekuatan dalam diri ibu satu orang anak itu. 

"Bagaimana kalau aku tidak baik-baik saja, Ghe? Bagaimana kalau aku tidak bisa menghapus Firman dalam hati ini, hah?" Tapi semua tanya itu kini tertahan di bibir ranum milik Suci, dia tak memiliki nyali yang cukup besar untuk hal tersebut. 

Hanya satu kata yang diucapkan oleh Firman, tapi itu sudah lebih dari cukup untuk memporak-porandakan benteng pertahanan yang selama ini dibangun dengan sangat susah payah oleh seorang Suci Indah Lestari. 

"Kalau begitu aku pergi dulu, ya? Pak Malik sudah tunggu aku di ruang rapat soalnya," kata Ghea. Tanpa menunggu persetujuan dari Suci dan juga merasa sedang dikejar-kejar oleh waktu Ghea merasa tidak memerlukan persetujuan dari Suci. 

Baru dua langkah dia beranjak meninggalkan posisi sebelumnya, panggilan dari Suci lantas memberhentikan langkah istri Haris Setiawan tersebut. 

"Ghe?!" panggil Suci dengan nada yang terdengar pelan, tapi masih bisa didengar dengan sangat baik oleh Ghea.

"Iya?!" jawab Ghea dengan kedua alisnya yang saling bertautan satu sama lain. 

"Hati-hati, ya?" Ghea bisa merasakan ada kecemasan dari balik kedua manik mata milik Suci saat berkata seperti pada teman semasa SMA dan juga kuliahnya dulu.

"Hahaha … apa-apaan sih? Orang cuma di sana doang  kok," jawab Ghea sambil membawa arah telunjuknya ke arah ruang rapat mini yang berada di  ujung  koridor lantai teratas Firma Hukum Bagaskara dan Rekan. 

Ghea tidak lagi menggubris apa yang dikatakan oleh Suci, dia hanya berjalan seakan-akan tidak ada yang terjadi atau perlu untuk dikhawatirkan oleh wanita yang memiliki nama lengkap Ghea Laurensia itu. 

Wanita yang secara tidak langsung, kini menduduki jabatan Partner Muda. Walaupun sampai saat ini masih menjadi misteri untuknya kenapa dia bisa berada di posisi tersebut dengan sangat mudahnya. Bahkan dia merasa tidak melakukan atau lebih tepatnya belum memiliki jasa untuk Firma ini, tapi seenak jidat Malik Bagaskara datang memberikan jabatan yang tidak bisa untuk dipandang rendah itu. 

"Andai kamu tahu apa yang saat ini sedang dipikirkan oleh Kak Malik mungkin saja kamu akan menjadi wanita yang lebih bisa untuk mawas diri. Kak Malik adalah godaan terbesar dalam perjalanan rumah tanggamu bersama Kak Haris, Ghe. Semua semesta memberikan yang terbaik untuk kamu dan dia nantinya." 

Semua itu hanya Suci gumamkan dalam hatinya, tanpa bisa dia implementasikan lewat kata-kata, karena Suci terlalu pengecut untuk itu. 

"Aku harap jika pada akhirnya kamu jatuh cinta juga pada Kak Malik dan kamu diminta oleh salah satu pihak untuk memilih, pilihlah yang memiliki risiko paling sedikit dalam hiduupmu kelak." 

"DOR!" 

"HUAH!" 

Rasanya untuk kali ini, Suci benar-benar ingin menelan lelaki yang baru saja mengagetkannya itu secara hidup-hidup. 

"Lo, ya? Udah sakit gini aja masih resek apalagi nanti kalau lo sehat? Bisa-bisa gue dijemput oleh Malaikat Israil dengan sangat cepat," omel Suci pada sahabatnya itu. 

"Abisnya lo dia aja gitu, gue takut lo kesurupan, Ci." Mendengar apa yang dikatakan oleh Akbar, kedua manik mata milik Suci lantas membulat dengan sangat lebarnya. Mungkin jika tidak bisa dikontrol maka kedua manik mata itu akan jatuh berserakan di lantai saat ini juga. 

"Lo takut kesurupan, tapi lo nggak takut gue jantungan. Antara kesurupan dan jantungan lebih parah mana, Akbar Maulana Bagaskara?" tanya Suci dengan penuh penekanan di setiap katanya dan kedua tangannya berkacak pinggang.

"Ya, maaf. Tapi gue mau serius tanya deh ama lo." Akbar memberi jeda atas apa yang hendak dia katakan, dam melihat  setiap lekuk wajah Akbar sontak saja Suci merasa ada hal yang mungkin saja buruk yang sedang terjadi pada sang sahabat. 

Sayangnya Suci hanya sahabat Akbar bukannya cenayang yang bisa langsung membaca pikiran orang lain. Suci tidaklah sesakti itu. 

"Di ruangan gue aja?" Tanpa pikir panjang Akbar lantas menyetujui apa yang menjadi keinginan Suci. 

Keduanya memang privasi dan ruangan Suci atau pun ruangan Akbar itu adalah cara yang paling baik untuk saat ini. 

Keduanya lalu berjalan saling bersisian saat menuju ruangan Suci, tempat yang telah mereka berdua sepakati bersama. 

KREK!

"Lo duduk, gue ambilin lu minum dulu!" kata Suci, tapi cekalan dari Akbar sepertinya harus membuat Suci mengurungkan niatnya.

"Gue mau ngomong berdua ama lo, bukannya minum bareng. Sampai di sini lo ngerti 'kan, Ibu Suci Indah Lestari?" Mendengar kata demi kata yang dilontarkan oleh Akbar lantas membuat Suci  bisa merasakan atmosfer yang berbeda dari ruangannya ini. 

"Lo jangan buat gue takut, Bar!" rengek Suci, tapi apa yang dikatakannya itu hanya dianggap angin lalu oleh Akbar, masuk telinga kiri keluar telinga kanan. 

Iya, Akbar Maulana Bagaskara seperti sedang menulikan telinganya di hadapan sang sahabat. 

"Gue nggak ngerasa sedang nakut-nakutin lo, Ci. Gue cuma mau tanya sesuatu ama lo, apakah itu bisa dibilang gue ada motif buat nakut-nakutin lo? Nggak, 'kan?" 

"Tapi nada bicara lo seperti orang yang tidak sedang baik-baik aja, Bar. Oke buruan lo ngomong, lo mau nanya apaan? Gue jawab," kata Suci pada akhirnya. 

Bersambung ….