webnovel

Tuntutan

"Jadi, mau sampai kapan kamu akan mendekam di ruangan ini? Ingat, kesempatan kamu tidak banyak lagi."

Hanya perkataan bernada dingin itu yang memenuhi ruangan saat ini. Tatapan orang itu sedikit tajam menghunus ke arah putra satu-satunya yang saat ini tengah menunduk dalam.

Sejak kedatangan dirinya dengan sang istri, Mingli sama sekali belum mendapatkan jawaban yang dia inginkan dari sang anak. Berkali-kali Mingli mengembuskan napas berat karena kehilangan cara untuk membuat anaknya itu menyelesaikan tugasnya dan kembali ke kediaman mereka.

"Shua …," panggil sang Ibu dengan nada penuh kelembutan. Dia berpindah tempat duduk jadi di samping anaknya. "Kesulitan kamu apa? Kamu di sini kan sudah dipenuhi dengan segala hal agar bisa mempermudah menemukan apa yang kamu cari. Kenapa sampai sekarang belum selesai juga?"

Shua--putra Mingli--hanya bisa menarik napas dalam. "Aku sudah berusaha semaksimal mungkin, Yah, Bu. Tapi, orang yang aku butuh belum ada sampai detik ini. Aku juga nggak tahu dia akan datang ke sini menemuiku langsung atau tidak. Aku nggak tahu pasti apakah orang itu termasuk dalam daftar orang yang akan datang nanti. Yang bisa aku lakukan saat ini hanya menunggu."

Shua akhirnya mengeluarkan keresahannya setelah beberapa saat memilih diam. Dia diam karena sadar bahwa mau sebanyak apapun dia cerita keresahannya kepada kedua orang tuanya, akhirnya mereka juga tidak bisa membantu menyelesaikan masalahnya.

Mingli kembali menegakkan tubuhnya. Jika sudah begini, Shua tahu kalau pembahasan mereka akan segera berakhir.

"Itu tandanya kamu harus kerja lebih keras lagi dari ini. Ingat, hitungan umur kamu di sini beda dengan di dunia kita. Jangan terlena dan malah kendor dalam usaha."

Shua hanya bisa mengangguk lesu. Dia sangat … sangat tahu maksud ucapan ayahnya.

Sebelum dia kembali berpisah dengan kedua orang tuanya, Xiajin--ibu Shua--secara diam-diam memberikan tiga benih bunga kepada anaknya. Sebelum benar-benar pergi, dia kembali berbisik agar suaminya tidak bisa mendengar pesannya kepada sang anak.

"Rawat mereka baik-baik sampai orang yang kamu tunggu memetiknya. Hanya dia yang ditakdirkan bisa melihat bunga ini. Jangan pernah lengah mengawasi bunga ini, Shua."

Shua menatap dalam tiga benih tersebut setelah orang tuanya pergi. Ini adalah pertolongan pertama yang diberikan ibunya. Pertolongan yang memang akan memudahkan dirinya bertemu dengan orang yang dia cari selama ini.

Shua kembali menutup pintu di antara rak buku. Kakinya langsung berjalan mendekat ke meja kerjanya dan meraih ponsel yang jarang digunakan itu. Beberapa detik mencari nomor yang dituju, lalu menempelkan benda pipih tersebut ke telinga kirinya.

"Datang ke ruangan sekarang," titahnya dan kembali memutuskan panggilan tersebut tanpa mendengar sepatah katapun dari lawan bicara.

Setelah meletakkan ponselnya kembali ke atas meja, Shua langsung beralih ke deretan rak kayu yang ada di dekat jendela besar. Rak itu merupakan tempat dirinya menyimpan berbagai macam pot. Diambilnya tiga pot kecil dan dibawa ke meja sedang tepat berada di samping rak tersebut.

Tiga benih tersebut mulai diletakkan ke masing-masing pot. Diberi sedikit air dan juga ramuan khusus yang bisa mempercepat pertumbuhan bunga. Tidak sampai lima menit, biji kecil itu berubah jadi tiga pohon bunga berwarna ungu menyala dengan bentuk unik. Shua bahkan baru pertama kali melihat bunga jenis ini. Mungkin setelah ini dia akan mencari tahu bunga jenis ini di daftar bunga yang ada di ruang kerjanya.

***

Kini, tiga orang tengah berdiri di depan meja kerja Shua. Ketiganya terlihat serius mendengarkan setiap perintah Shua, orang yang sangat mereka segani.

"Penerimaan mahasiswanya dipercepat, Alvir," ujar Shua kepada orang paling dia percaya, Alvir sang kepala Asrama Wijayanto.

Alvir mengangguk pasti. Tanpa bantahan bahkan bertanya dia pasti akan langsung melaksanakan perintah Shua.

"Usahakan minggu depan sudah ada penghuni baru," lanjut Shua.

Selanjutnya, dia beralih menatap dua wanita di sebelah Alvir. Everilda dan Lynelle. Orang kepercayaan Shua, sama seperti Alvir, tapi kedudukan mereka sedikit rendah dibandingkan Alvir.

"Untuk kalian berdua, segera ganti semua tanaman yang ada di sini. Kali ini kita pake tema ungu untuk penghuni gelombang ini. Dan juga itu." Shua menunjuk ke arah meja tempatnya menanam bibit pemberian ibunya tadi.

Tiga orang itu pun mengikuti arah yang ditunjuk Shua. Mereka sedikit terpukau dengan tiga pot bunga itu. Cantik dan menawan adalah hal yang pertama kali terlintas di kepala ketiganya.

"Itu bunga apa, Shua?" tanya Alvir.

"Aku belum cari tahu itu bunga apa. Yang jelas sekarang tugas untuk Eve dan Lynel adalah membawa tiga pot itu dan letakkan di spot yang dekat dengan aktivitas penghuni asrama," jelas Shua lagi.

"Tapi, itu kelihatannya bunga langka, Shua. Apa kamu nggak takut kalau bunganya rusak?" Kali ini Everilda yang mengutarakan isi kepalanya.

"Tidak usah khawatir. Bunga itu tidak bisa dilihat sembarangan orang. Tugas kalian berdua juga adalah mengamati siapa saja yang memberi reaksi terhadap bunga tersebut," lanjut Shua.

Ketiganya mengangguk kompak. Walaupun terdengar singkat, tapi penjelasan Shua sudah bisa dipahami ketiganya dengan sangat baik. Bertahun-tahun tinggal bersama memang mengharuskan mereka untuk cepat belajar soal perintah dan perkataan Shua. Orang yang mereka segani itu memang terkesan irit bicara, tapi isi pembicaraannya sangat jelas untuk dipahami.

Pertemuan singkat itu pun berakhir. Alvir dan dua rekannya langsung keluar dari ruangan Shua dengan masing-masing membawa satu pot bunga langka tersebut.

***

Tanpa menunggu lama, tepat sekembalinya Alvir bersama dua rekannya dari ruangan Shua, saat itu juga dia langsung memberi pengumuman kepada para pengurus asrama baik putra maupun putri untuk mengikuti rapat.

Kini, ada 12 pengurus asrama sudah duduk mengelilingi meja besar di ruang staff. Alvir duduk paling ujung dan itu menandakan kedudukannya sebagai pengelola asrama Wijayanto.

Beberapa pengurus sempat saling bertanya mengenai digelarnya rapat dadakan seperti ini. Mereka juga menerka-nerka mengenai masalah apa lagi yang terjadi sampai Alvir harus membuat mereka semua menghadiri rapat di siang bolong seperti sekarang.

"Oke. Sepertinya banyak yang bertanya-tanya kenapa saya tiba-tiba mengadakan rapat," ucap Alvir sebagai pembuka rapat mereka kali ini.

"Sesuai jadwal yang ada di kalender kepengurusan, penerimaan penghuni asrama masih ada sekitar tiga minggu lagi. Tetapi, saya ingin memajukan jadwal penerimaannya jadi minggu depan," lanjut Alvir.

Seketika terdengar bisik-bisik dari sebagian besar pengurus. Mereka pasti terkejut dengan pemberitahuan yang sangat mendadak ini. Sekarang sudah hari rabu dan itu artinya, mereka hanya punya sisa empat hari lagi untuk mempersiapkan proses penerimaan tersebut.

"Tapi, Pak, bukannya itu terlalu mendesak? Kita belum terima daftar mahasiswa yang akan masuk gelomang kali ini. Mungkin di bagian kemahasiswaan kampus juga belum selesai merampungkan pendataan. Saya rasa waktunya tidak akan cukup kalau kita tetap maksa buat buka penerimaan minggu depan." Salah satu pengurus dari asrama putra mengutarakan pendapatnya.

Alvir manggut-manggut. Dia paham dan sudah menduga respon pengurus yang lainnya akan seperti ini. Tetapi, hal itu tidak membuatnya mengurungkan niatnya untuk membuka penerimaan mulai minggu depan.

"Saya tahu ini bakal kepepet. Tapi, kalian tenang saja. Saya sudah memiliki daftar mahasiswa yang bakal masuk untuk gelombang kali ini. Kita hanya perlu kasih data kita ke pihak kampus buat dimasukkan ke sistem. Untuk urusan data biar saya dan Agam yang urus. Sisanya fokus ke persiapan asrama," papar Alvir.

Everlida yang juga menjadi penanggung jawab pemeliharaan asrama memberikan beberapa hal penting mengenai penataan asrama untuk menyambut penerimaan penghuni baru kali ini. Dia juga menekankan soal tema asrama mereka kali ini sesuai dengan permintaan Shua tadi.

Siguiente capítulo