webnovel

Everything Can Be Something

Bagaimana jadinya jika sebuah kecelakaan tragis adalah sebuah pembunuhan yang disembunyikan? Bagaimana pula jika orang-orang yang terlibat berusaha menyembunyikan hal tersebut? Seorang mantan jurnalis berusaha memasuki kehidupan seorang ningrat hingga tak sengaja jatuh cinta dengan cucu terakhir yang tiba-tiba harus dinikahinya. ~~~ Tersenyum, hanya itu yang bisa dilakukan oleh wanita berjaket coklat tua yang tengah berdiri di depan sebuah mobil berwarna hitam. Ia menelan ludahnya diam-diam dan masih tersenyum menatap laki-laki dalam radius sekitar 5 meter yang juga menatapnya. Laki-laki berjas hitam itu tiba-tiba berlari dan memeluk wanita tadi, mendekapnya dengan erat. Mata berbinarnya berubah pilu, ia menyembunyikan wajahnya dan menangis dalam diam. Mendapat pelukan tiba-tiba dari laki-kali yang perlahan ia cintai itu membuatnya sedih tanpa alasan. Meski pelukan, namun jika ini yang terakhir kalinya, rasanya sangat menyakitkan. Apalagi, ia paham betul bagaimana selama ini ia membuang waktu yang terus belalu tanpa gagal, lalu kini ia hanya perlu melepas dengan ikhlas. Meski butuh waktu lama untuk air mata mengering, ia akan berusaha. "Terima kasih untuk selama ini, Salma!"

vijakkanim · Ciudad
Sin suficientes valoraciones
28 Chs

Bagian Dua Puluh Dua : Diriku Yang Sesungguhnya

~~~

Salma menuliskan beberapa angka di bank itu dan mengirimkan sejumlah uang untuk orang tuanya yang tinggal jauh di Bandung. Setelahnya, ia merapikan pakaiannya yang berupa setelan jas merah muda lalu keluar dari ruangan itu. Setelah berdiri di luar bank, ia menghembuskan napas berat. Di seberang jalan, seorang pria berjas biru muda tengah berdiri di depan mobilnya, menyilang tangan dan memperhatikannya.

Salma menyeberangi jalan dan menghampiri pria ketus itu, "Pak Rangga ngapain?" ucapnya pertama kali.

Rangga menegakkan posisinya lalu membuka kacamatanya dan memperhatikan Salma yang berdiri di hadapannya, "sudah saya bilang mulai sekarang, Salma Natalina dan saya akan berangkat dan pulang bersama, dengan mobil saya," ucapnya dengan enteng.

"Saya bilang kamu cukup jadi diri sendiri saja, kamu gak perlu jadi orang lain, karena saya akan bantu Pak Rangga gimana pun itu," ucap Salma.

"Ini diri saya yang sesungguhnya, kenapa? Kamu gak bisa apa nerima kebaikan saya?" ucap Rangga dengan ketus.

Salma terdiam sebentar, ia mengeluarkan ikat rambut di dalam tas tangannya dan mulai mengikat rambut panjangnya dalam diam.

"Kenapa gak dijawab?" ketus Rangga. "Rambut kamu gak usah diikat gitu!" ketusnya lagi.

Salma melirik Rangga sekilas, "berhadapan sama Pak Rangga itu harus dengan kepala dingin!" ucapnya singkat.

Rangga mendecih mendengar pernyataan singkat namun tajam dari gadis itu, "tetap saja kamu lebih cantik kalau digerai," ucapnya sambil mengalihkan tatapannya ke arah lain.

Salma yang masih menatap Rangga dengan tatapan datar hampir tersenyum namun ia sembunyikan hal itu. "Saya tahu kok, ayo naik!" ucapnya.

Rangga menganggukkan kepalanya lalu memasuki mobilnya lebih dulu tanpa ada niat untuk membukakan pintu kepada gadis itu, ia kemudian memasang sabuk pengaman dan siap untuk melaju.

Salma tersenyum melihat sebuah panggilan muncul di layar ponselnya. Ia duduk di mobil sambil berbicara dengan seseorang di sana dengan santainya.

Rangga memperhatikan Salma dan menghela napas malas, ia pun berinisiatif untuk memasangkan sabuk pengaman pada gadis itu. Tanpa pikir panjang, Rangga menyondongkan tubuhnya ke arah Salma dan mengejutkan gadis itu. Selama beberapa saat, ia bertatapan dengan Salma dalam jarak sedekat itu. Saat itu, ia tak percaya dirinya berdebar dan merasa canggung dengan tatapan gadis itu.

"𝑆𝑎𝑙? 𝑆𝑎𝑙𝑚𝑎...? 𝑆𝑎𝑙𝑚𝑎, 𝑘𝑎𝑚𝑢 𝑚𝑎𝑠𝑖ℎ 𝑑𝑖 𝑠𝑎𝑛𝑎?"

"Ahh i-iya Bu, tadi bilang apa?" gagap Salma.

Rangga menormalkan posisinya dan mulai melajukan mobilnya dalam diam, seolah tak terjadi apapun. Meski jauh dalam dirinya, ia cukup terkejut dengan kejadian itu.

"Ibu gak perlu ke sini, nanti Salma yang ke sana. Salma baik-baik saja kok, Ibu gak perlu khawatir. Hmm, iya," ucap Salma lalu menyelesaikan panggilan itu dan menyimpan handphone-nya pada tas tangannya. Ia melirik Rangga sekilas lalu teringat lagi kejadian barusan.

Rangga mendeham untuk menghindari canggung, "Ibu kamu tinggal di mana? Kayaknya gak tinggal di dekat sini," ucapnya.

"Ibu tinggal di Bandung," jawab Salma.

Rangga menganggukkan kepalanya, "soal itu, saya sudah bicara dengan Daniel beberapa hari lalu, dia bilang setuju kalau kamu mau jadi reporter atau jurnalis atau apapun itu," ucapnya tanpa menoleh sedikit pun.

"Benarkah? Ahh terima kasih kalau memang itu benar. Tapi gimana bisa, Pak Daniel gak bilang apa-apa," ucap Salma yang mulai terdengar bersemangat.

Rangga kembali melirik Salma sekilas dan mencibirnya, "begitu dengar nama Daniel langsung semangat," gumamnya.

Rangga menghentikan mobilnya karena lampu merah. Ia memperhatikan keadaan sekeliling termasuk melihat ke arah Salma yang nampak memfokuskan tatapannya pada berita yang diputar di layar besar di pusat kota, ia pun ikut melihat ke arah gadis itu menatap.

"Wah senyumnya cerah banget, iya 'kan Pak Rangga?" gumam Salma.

Rangga mengerutkan keningnya, "dia? Dia yang kamu maksud?" herannya sambil menunjuk seorang pria yang wajahnya ada dalam berita itu.

"Hmm, dia Kepala Jaksa Agung," ucap Salma.

"Itu Cahyo Utomo, kamu kenal?" tanya Rangga.

"Enggak juga," jawab Salma. "Cuma, dia kayaknya orang baik," gumamnya.

"Iya tentu saja, dia penegak hukum. Mana ada politikus yang jahat," ucap Rangga. "Dia dulunya junior Kakek kalau gak salah," lanjutnya.

"Junior Pak Ketua Herman?" tanya Salma.

Rangga menganggukkan kepalanya dengan yakin, "dia sering menjadi penasihat hukum Kakek sebelum pengacara keluarga Maulana hadir," jawabnya.

Salma terdiam dan pikirannya mulai melayang menghubungkan informasi barusan dengan hal-hal yang selama ini ada di otak kecilnya. "Kalau begitu Pak Rangga, saya bilang kalau saya mau bertemu Pak Ketua Herman," ucapnya.

"Itu enggak bisa, yang lain, kayak sesuatu yang bisa dibeli," ucap Rangga.

Salma mencibirnya, ia benar-benar selalu kalah jika bicara dengan Rangga. Meski begitu, ia tetap ingin bicara dengan Herman dan memperjelas suasana abu-abu yang kini dijalaninya.

~~~

Daniel merapikan meja kerjanya lalu berjalan meraih jas coklat yang ada di kursinya. "Masuk!" ucapnya agak berteriak ketika seseorang mengetuk pintu ruangannya. Meski sudah menyuruh masuk, ia tetap berjalan menuju pintu sambil memakai jasnya. "Ehh Salma? Baru saja saya mau turun," ucapnya sambil tersenyum.

Salma tersenyum, di tangannya terdapat dua gelas besar kopi dan sebuah dokumen. Tanpa diperintah, ia berjalan menuju sofa dan menaruh kedua kopi itu di sana juga dokumen yang tadi dibawanya. "Saya mau bicara sebentar," ucapnya.

Daniel mengikuti langkah Salma dengan duduk di sofa tunggal, tempatnya seperti biasa. "Saya dengar dari Rangga, kamu ingin berhenti menjadi sekretaris?" tanyanya.

"Ini jadwal Pak Daniel hari ini dan juga perintah acara dari Direktur," ucap Salma.

Daniel menganggukkan kepalanya, "selama ini terima kasih sudah bekerja keras sebagai sekretaris saya. Gak mudah 'kan bekerja di sini?" kekehnya.

Salma terkekeh canggung, "tapi jika Pak Daniel tidak keberatan, saya tetap di sini sebagai reporter. Tidak masalah 'kan?"

Daniel tertawa dan mengangguk-anggukkan kepalanya, "anggap saja kamu dan Rania bertukar peran, karena dia sudah setuju untuk menjadi sekretaris saya," ucapnya.

Salma mengangguk mengerti, "berarti ada perubahan kontrak, itu biar saya yang mengurusnya," ucapnya.

"Silakan kalau begitu, itu tugas terakhir kamu sebagai sekretaris," ucap Daniel yang disetujui oleh Salma. "Nanti malam, kamu akan datang 'kan ke makan malam perusahaan? Jenny bilang katanya kalian berdua gak akan datang," ucapnya.

"Jenny?" heran Salma.

"Iya. Dan memang, kamu sama Jenny jarang hadir di makan malam perusahaan. Kenapa ya?" tanya Daniel sambil terkekeh.

Salma hanya tersenyum, "mungkin nanti malam juga, kami berdua gak akan datang," ucapnya.

Daniel menyipit menatap Salma, penuh tanda tanya, meski begitu ia tak berniat menanyakan rasa penasarannya karena tak ingin ikut campur dalam privasi pegawainya itu.

Menyadari tatapan aneh Daniel, Salma hanya terkekeh, "saya akan datang, bersama Jenny juga," ucapnya meyakinkan.

"Bagus dong, kalian harus datang," ucap Daniel, "dan untuk Rangga, kamu pasti lelah 'kan karena sifatnya?" tanyanya.

Meski ragu Salma mengangguk dan terkekeh dengan kikuk, "Pak Daniel sudah lama kenal dia 'kan?"

"Sejak kecil, dan dia gak berubah sampai sekarang," ucap Daniel. "Saya mengerti kalau kamu bilang kesulitan soal dia," lanjutnya.

Salma tersenyum tipis, "mungkin itu sifat aslinya," ucapnya. "Kalau begitu saya permisi," pamitnya.

Salma kemudian keluar dari ruangan pribadi milik Daniel itu dan berjalan menuju lift. Lift sedang digunakan jadi terpaksa ia harus menunggu selama beberapa saat. Lalu lift terbuka dan keluarlah seorang wanita berambut panjang terurai dengan rok sepan berwarna biru cerah dan kemeja putih.

Salma memeluk Rania dengan erat begitu wanita itu keluar dari lift. "Makasih banyak, Rania, makasih banyak!" ucapnya.

Rania dengan paksa menjauhkan dirinya dari Salma dan menatapnya ketus, ia mengalihkan tatapannya ke arah lain lalu menyilang kedua tangannya di depan dada.

"Ahh jangan gitu dong," rajuk Salma, "gue gak tahu kalau lo yang bakal jadi sekretaris," ucapnya.

Rania akhirnya tersenyum walaupun tipis, "traktir gue dendeng dong di depan!" ucapnya.

Tanpa ragu, Salma mengangkat tangannya memberikan kode setuju lalu merangkul Rania dan mereka pun berjalan bersama menuju lift kemudian menekan tombol turun.

"Ehh bukannya lo ke atas mau nemuin Pak Daniel?" tanya Salma yang baru saja teringat jika Rania tadi sampai di lantai dua.

Rania yang bersandar di lift hanya terkekeh, "nanti saja, si Daniel ehh Pak Daniel bisa ditemuin nanti," ucapnya dengan enteng.

Salma menatap selidik ke arab Rania, "kalau diingat-ingat, lo cukup dekat sama Pak Daniel! Mungkin karena sudah lama kerja atau memang kenal dari dulu? Atau lo... jangan-jangan, lo suka Pak Daniel?" tanyanya dengan hati-hati.

"Ehh enggak lah, mana ada," sanggah Rania.

"Dih emang kenapa? Gak apa-apa kok suka sama atasan sendiri, apalagi kalau sudah akrab," goda Salma.

"Enggak Salma! Enggak! Pak Daniel punya mantan yang gak bisa dia lupain seumur hidupnya," ucap Rania.

"Oh iya? Siapa?" tanya Salma penasaran.

"Ada lah, wanita yang lahirin Alden. Tapi wanita itu cukup jahat menurut gue!" ucap Rania dengan ketusnya.

Salma terdiam menyerap semua ucapan Rania dengan hati-hati. "Apa maksud lo Alisa?"

"Iya si Alisa! Kok lo bisa tahu?" kaget Rania.

"Pernah ketemu waktu di rumah sakit, dan... di acara keluarga Maulana?" gumam Salma penuh keraguan.

"Iya di pestanya keluarga Maulana, lo gak lihat berita? Cewek itu jadi calon istrinya Reza Mahendra!" ucap Rania.

"Soal itu masuk berita? Apa gue juga masuk berita?" kaget Salma.

Lift berhenti, Rania keluar lebih dulu dan berjalan menuju meja kerjanya. "Buat apa lo masuk berita?" herannya. "Ngomong-ngomong, kapan kita bertukar meja?" tanya pada Salma.

"Kapanpun," jawab Salma dengan santainya, "Jenny kemana?"

"Jam segini ya mereka pada keluar lah Sal," jawab Rania. Ia kemudian beralih menggandeng Salma dan pergi bersama keluar dari perusahaan, "ayo makan daging!" gumamnya sambil tertawa.

Salma ikut tertawa, ia berjalan sambil menyandarkan kepalanya pada Rania yang kini resmi bertukar posisi dengannya. Jujur saja ia merasa bersalah pada Daniel dan Rania, namun menguruskan kontrak juga sangat merumitkan dan setimpal dengan rasa bersalahnya pada mereka.