webnovel

Eternal Kindness - Princess Giania And The Witch From The Past

Giania merupakan Putri Raja yang kabur dari Istana karena menginginkan kebebasan sekaligus ingin memperdalam ilmu sihirnya. Dalam pelariannya, tanpa sengaja dia bertemu dengan seorang pria misterius yang memiliki kekuatan luar biasa. Pria yang tampan, dingin, kejam, namun menyimpan berjuta misteri yang membuat Giania penasaran. Awalnya, dia meminta pria itu untuk menjadi pengawalnya selama berpetualang, namun siapa sangka perasaan cinta perlahan mulai tumbuh di hatinya pada pria asing tersebut. Lalu bagaimanakah nasib percintaan Giania sedangkan sang pujaan hati selalu bersikap dingin padanya? Berhasilkah dia meluluhkan hati pria itu serta mengungkap misteri tentangnya? Ikuti terus petualangan Giania dan si pria tampan misterius yang penuh dengan misteri, kejadian horor yang membuat mereka harus berhadapan dengan banyak penyihir ilmu hitam yang jahat.

Ellakor · Fantasía
Sin suficientes valoraciones
329 Chs

KEPUTUSASAAN PART 1

Langit terlihat mendung belakangan ini, seakan-akan memahami betapa mendungnya hatiku. Jika Zero memang perduli padaku, dia pasti menyadari perubahan sikapku padanya. Sudah beberapa hari ini aku sama sekali tidak mengajaknya bicara. Bahkan aku mengabaikan perkataannya setiap kali dia mengatakan sesuatu padaku. Hingga saat ini rasa sakit di hati yang disebabkan oleh Zero sama sekali belum berkurang sedikit pun. Dadaku terasa sesak setiap kali mengingat kejadian di danau itu.

Kini aku sedang melangkahkan kaki tanpa tujuan. Entah ke mana kaki ini akan membawaku pergi? Aku hanya tidak ingin berhenti karena setiap kali aku berhenti melangkahkan kaki maka selalu berakhir dengan suasana yang sangat tidak nyaman. Aku harus duduk dalam diam dan Zero yang berada tidak jauh dariku akan terus menatapku tanpa mengatakan sepatah kata pun. Sejujurnya aku sangat membenci suasana seperti itu.

"Berhenti, Giania."

Detik itu juga aku menghentikan langkah ketika dengan jelas aku bisa mendengar suara Zero yang berjalan di belakangku. Aku pun berbalik dan menatap ke arahnya.

"Jangan memasuki desa itu. Aku merasakan sesuatu yang buruk."

Aku kembali berbalik badan dan kini aku menatap ke arah depan. Tepat di depan mataku terdapat sebuah gerbang besar dan tertulis kalimat "Selamat Datang Di Hill's Village", sungguh nama desa yang aneh. Itulah yang kupikirkan begitu membaca kalimat itu. Dilihat dari arah mana pun pintu gerbang itu memang sangat menyeramkan, terutama jika aku melihat dua buah patung pria memakai topeng yang berdiri di dua sisi pintu gerbang itu. Seakan-akan dua patung itu merupakan penjaga pintu gerbang. Sejak tadi aku terus melamun sehingga aku tidak menyadari kakiku hampir memasuki gerbang itu, jika saja Zero tidak menghentikanku.

"Lebih baik kita pergi ke arah yang lain."

Sekali lagi suara Zero yang melarangku memasuki gerbang itu terdengar dengan jelas. Jika saja saat ini aku tidak sedang kesal padanya, aku pasti akan menuruti perkataannya dan memilih jalan yang lain. Akan tetapi perasaanku kali ini bukanlah perasaan di mana aku akan menuruti perkataan Zero begitu saja. Karena itu, tanpa menghiraukan ucapannya aku kembali melangkahkan kaki memasuki gerbang itu.

"Jangan, Giania! Jangan masuk ke sana!!"

Aku yakin Zero berteriak, tapi tanpa keraguan aku terus melangkah hingga kakiku benar-benar memasuki gerbang itu.

***

Aroma bau yang menyengat tercium oleh indera penciumanku. Bau yang hampir membuatku ingin muntah. Aku menggulirkan mata untuk menatap sekeliling, banyak orang berlalu-lalang dan mereka menatapku dengan sinis. Mereka pastilah penduduk desa ini, namun entah kenapa mereka terus menatapku dengan sinis semenjak aku memasuki gerbang desa ini.

"Kau baik-baik saja, Giania?"

Sebuah tangan kurasakan menyentuh bahuku dan mencoba menahan langkahku. Aku menatap orang itu yang tidak lain adalah Zero.

"Lepaskan aku, jangan sentuh aku."

Seketika itu juga Zero menjauhkan tangannya yang mendarat di bahuku. Ekspresi wajahnya menunjukkan betapa terkejutnya dia dengan perkataanku ini karena aku mengatakannya dengan nada suara yang ketus serta sinis.

Aku kembali melanjutkan perjalananku semakin memasuki desa. Rupanya memang bukan perasaanku saja, semua penduduk desa ini menatapku dengan sinis, mata mereka memicing tajam padaku. Bahkan tidak ada satu pun dari mereka yang menyapaku.

Langit mulai menghitam dan hingga kini aku belum mendapatkan tempat untuk sekedar beristirahat. Rasa lelah sudah mulai kurasakan, aku bahkan sudah tidak sanggup lagi untuk melangkahkan kaki ini yang sudah terasa pegal dan nyaris mati rasa.

"Kau terlihat tidak sehat, Giania. Lebih baik kita keluar dari desa ini." Tentu Zero yang mengatakannya. Aku cukup terkejut karena terus mengikutiku meskipun tadi dengan tegas dan lantang melarangku memasuki desa ini.

"Aku baik-baik saja!"

Dengan nada yang ketus, aku menimpali perkataan Zero. Lalu aku melihat seorang wanita paruh baya berjalan berlawanan arah denganku. Dengan cepat aku menghampirinya, aku sangat berharap dia bersedia untuk membantuku setidaknya berbaik hati mau memberitahukan padaku letak penginapan di desa ini.

"Permisi, Bu. Boleh aku bertanya sesuatu?" tanyaku, berusaha seramah mungkin.

Wanita itu berhenti dan menatapku dengan penuh keheranan karena keningnya kini sedang mengernyit dalam. Aku mencoba mengajaknya tersenyum untuk mencairkan suasana yang terasa begitu tegang di sini.

"Mau bertanya apa?"

Aku kembali mengulas senyum, lega karena dia akhirnya memberikan respon. "Bisa beritahu kami, di mana penginapan di sini?"

Wanita itu terdiam, dia masih menatapku tanpa menjawab pertanyaan yang aku lontarkan padanya.

"Di sini tidak ada penginapan."

Tidak terkira keterkejutan yang aku rasakan. Jika melihat banyaknya rumah di desa ini, aku yakin desa ini cukup luas dan ramai. Karena itu aku merasa sangat heran ketika mendengar tidak ada penginapan di desa ini.

"Benarkah tidak ada penginapan di sini?"

Wanita itu mengangguk, aku merasa tidak mungkin wanita itu membohongiku. Yang bisa kulakukan sekarang hanyalah pasrah menerima ketidakberuntungan ini.

"Kalian pendatang bukan?"

Wanita itu kembali mengajakku berbicara, entah kenapa aku merasa masih memiliki harapan untuk mendapatkan tempat beristirahat di desa ini begitu mendengar pertanyaannya.

Kepalaku terangguk, mengiyakan, "Benar, kami pendatang. Kami sedang berkelana dan tanpa sengaja melewati desa ini."

"Seharusnya kalian tidak pernah memasuki desa ini."

Aku mengerjapkan mata, heran bukan main karena wanita itu tiba-tiba berkata demikian. "Memangnya kenapa?"

Wanita itu kembali terdiam, dia terlihat ragu untuk melanjutkan perkataannya.

"Memangnya di desa ini ada apa? Kenapa kami tidak boleh singgah di sini?" Aku bertanya sekali lagi karena wanita itu tak kunjung merespon.

"Tempat ini sangat berbahaya," katanya yang sukses membuatku terbelalak, kaget sekaligus heran. Namun di atas semuanya aku penasaran memangnya apa yang terjadi di desa ini.

"Tolong beritahu aku ada apa di desa ini? Mungkin aku bisa membantu kalian jika terkena masalah."

Wanita itu terlihat menggulirkan mata ke sekeliling, mungkin sedang memastikan tak ada seorang pun yang mendengarkan pembicaraan kami. Lalu tiba-tiba dia berkata, "Ikutlah denganku, kalian bisa beristirahat di rumahku."

Inilah saat-saat yang aku nantikan sejak tadi. Tanpa sedikit pun keraguan aku menerima tawaran dari wanita itu karena memang kami sedang membutuhkan waktu untuk singgah di saat langit sebentar lagi akan berubah menjadi hitam.

"Baiklah, terima kasih atas bantuannya."

Wanita itu tak merespon, dia melangkahkan kakinya dengan terburu-buru. Aku pun demikian, dengan cepat aku mengikutinya agar tak tertinggal. Dalam situasi ini aku teringat pada seseorang yang sejak tadi tak berkomentar apa pun ketika aku bicara degan wanita tadi. Aku seketika mengembuskan napas lega karena melalui ekor mata, aku melihat seseorang itu yang tidak lain merupakan Zero, ternyata mengikuti kami di belakang. Baguslah dia tidak melarangku mengikuti wanita itu ke rumahnya. Dan nanti sudah kuputuskan akan menanyakan keadaan desa ini serta alasan wanita itu mengatakan tempat ini berbahaya sehingga tidak seharusnya kami datangi.