webnovel

4

1 minggu sebelum keberangkatan ke Paris, aku dan dia sedang duduk di coffee shop. Weekend kita berdua memang seperti ini. Kalau bukan ngopi, makan atau cari buku, aku pasti ada dirumah dia atau sebaliknya. Yang kita berdua lakukan? Nonton DVD, nontonin dia main game, nontonin dia main piano, baca novels, ngobrol, tidur siang cantik, berenang, banyak lah. Kita bisa berjam-jam main berdua aja.

Dia tidak banyak bicara. Dia juga tidak banyak nuntut. Dia simple. Dia suka mainin jari-jari tangan ku saat aku baca novel. Dia bilang dia suka liat aku beresin tempat tidur dia dan seluruh kamar dia. Dia suka minum air putih saat dia baru bangun. Dia suka setiap kali aku mainin rambut dia. Dia suka nge-check lemari belajar ku. Dia suka tidur bareng moshi-moshi, boneka kelinci hijau kado ulang tahun ku dari papa, dia bilang aroma tubuh ku dan moshi-moshi sama. Dia suka baca catatan-catatan kecil di kaca meja rias ku. Kadang dia juga naruh gelang, jam tangan bahkan parfume dia bareng sama barang-barang ku.

Bramana Arsyah. 1 tahun bareng dia. Dia udah jadi bagian dari diri ku.

"Ssa, minggu depan ada acara gak?"

"Kenapa emang?" Sampai hari ini Ibam—panggilan special ku untuknya—belum tahu kalau aku bakal ke Paris. Aku bukannya tidak mau dia tahu atau berencana menghilang tanpa kabar. Aku cuma tidak tau gimana cara bilangnya.

"Ada atau enggak? Aku mau ajak kamu pergi cari sepatu. Buat kita nikah nanti." ucap Ibam asal bicara.

"Astaga! Jangan bercanda deh." siapa yang tidak akan panik mendengar pacarnya berkata seperti itu padahal baru 1 minggu yang lalu aku dan dia graduation. "Siapa juga yang mau nikah sama kamu." Ku jawab dengan asal yang hasilnya mendapat tawa bahagia dari Ibam. "Aku gak bisa Bam nemenin kamu maaf ya."

"Kenapa?" Jawabnya sambil melahap salad ku yang emang selalu dia curi. "Kamu ada acara? Kemana? Aku temenin deh, abis itu kita baru cari sepatu aku."

"Aku mau ke Paris." kata-kata ku terhenti karna melihat ekspresi wajah Ibam yang berubah namun masih tetap menatap salad.

Ibam kembali tersenyum "Ke Paris? Chanel, Dior, Prada atau Jimmy Choo? Yang mana kali ini? Kapan perginya? Yah, berarti aku harus cari sepatu sendiri." senyumnya merekah walaupun aku tau pasti itu palsu.

"Aku mau lanjut sekolah di sana Bam. Aku mau ambil Fashion. Kamu tau kan aku emang mau sekolah disana." jawab ku sesantai mungkin.

"Oh, kamu jadi kesana. Kapan daftarnya? Kamu gak pernah cerita." Ibam masih mencoba senyuman memaksanya. Aku tidak berani lagi natap dia, di saat kaya gini aku berubah jadi tersangka. Keheningan terjadi beberapa saat diantara kita berdua. "Gak bisa kamu cancel?"

"Sorry Bam, ini udah keputusan final aku." Jawab ku pasrah. Ku coba beraniin diri ku buat natap pria terindah di hadapan ku. Dia hampir menangis.

"Kenapa? Aku udah berusaha yang terbaik buat kamu Ssa, kita udah lewatin semuanya bareng-bareng hampir 1 tahun. Kamu nyerah gitu aja. Mau sampai kapan kamu terus berputar di dunia dia Ssa." kini aku yang mulai menangis, Ibam benar. Aku cuma lari, menghindar dari rasa sakit cinta pertama ku yang hancur. Cinta pertama yang tak terwujud. "Aku gak ngerti, kita berdua udah bahagia, dia juga udah bahagia. Kamu mau apa lagi? 1 tahun ini aku coba segalanya buat kamu. Aku ngertiin kamu, aku berusaha tahan semua emosi aku saat aku baca semua catatan-catatan di lemari belajar kamu. Aku gak ngerti sama jalan pikiran kamu Ssa, kamu jalan sama aku bukan Jullian. Berhenti mikirin dia."

"Ini bukan karna dia Bam, kamu salah paham." Air mata ku udah tidak bisa lagi ku bendung. "Aku.. aku.. cuma mau berhenti aja." Aku nangis sekenceng-kencengnya. Aku udah tidak peduli lagi apa kata semua orang disini.

"Sial," Ibam berkata setengah menjerit, dia frustasi. Wajahnya tertunduk dengan tangan yang meremas rambutnya sendiri. Jika sudah seperti ini, aku tidak tau lagi. Aku dan Ibam hampir tidak pernah bertengkar.

"Ssa, udah." suara Ibam mulai melemah. Tangannya menghapus air mata dari pipi ku. Dia tersenyum ramah, mencoba menenangkan ku. "Ayo, aku anter pulang.". Sebenarnya aku tak pernah mengerti dengan sikap nya yang kadang terlalu baik. Seharusnya dia marah padaku, seharusnya dia memutuskan hubungan ini.

Akhirnya kita berdua pergi meninggalkan coffee shop. Didalam mobil aku lebih memilih tidur sambil mendengarkan lagu. Hari itu berakhir begitu saja. Setelah hari itu, aku mengurus semua keperluan ku sendiri, Ibam tidak mengaktifkan ponselnya. Dia tidak bisa dihubungi, 3 hari sebelum kepergian ku. Aku mengirim detail kepergian ku, hari, nomer gate, jam terbang.

"Nes, Arsya mana? Lo bilang kan kalo kita bakal disini dari jam 9?" Rosa mulai protes karna menunggu Ibam.

"Sabar Sa, bentar lagi kali, Jakarta kan macet." sergah ku secepat mungkin dan sesantai mungkin untuk menutupi kegelisahan ku karna kejadian minggu lalu di coffee shop. "Jer, lo balik aja. Bentar lagi gua masuk ko."

"Santai aja, gua gak ada acara ko sampe nanti sore." jawab Jerryco –pacar pertama ku– dengan santai.

"Yaelah Nes, si Jerry lagi lo suruh balik ga bakal mau dia. Ya kan Jerr? Dia kan berharap lo ngajak balikan di detik-detik terakhir, kalau aja Arsya gak dateng." ucap Lista dengan santainya. Dia dan Jerry saling lirik dan ber-high five ria disusul tawa Rosa yang makin meramaikan.

"Tapi, masih ada kemungkinan kan?" Rayu Jerry dengan wajah overdosis miliknya.

"Sorry, lowongan udah di tutup." jawab ku asal yang membuat tawa Lista dan Rosa makin pecah.

"Nessa!" Teriak seorang pria yang berlari menuju aku dan yang lainnya.

"Ngapain lo disini? Tau dari mana gua ada disini?" Tanya ku dengan ragu.

"Si Arsya yang sms gua tadi, dia mana?"

"Ga dateng kali, liatkan Nes dia emang gak niat dateng. Ngapain juga sms Jullian segala. Bukannya dia yang kesini." Rosa yang sedari tadi duduk disamping Jerry melipat kedua tangannya didepan dada dan mendengus kesal karna Ibam bersikap aneh.

"Kalian berantem?" Tanya Jullian, sedikit berhati-hati saat mengucapkannya.

"Gua harap sih putus." celetuk Jerry begitu saja dengan begitu santainya.

"Hah, putus? Kenapa?" Sambung Jullian yang tak kalah kagetnya dengan Lista dan Rosa.

Kesalahan terbesar dalam hidup ku karna cerita ke Jerry soal kejadian minggu lalu. Ini hasilnya, asal bicara saja dia seenak jidatnya. "Nes, maksud si Jerry apa? Lo ada masalah sama Arsya? Ko bisa? Lo berdua bukannya endless love? Kenapa bisa berantem?" Lista dengan segera mengintrogasi aku yang kini mulai ada dalam posisi tersudut.

"Biasa, soal cinta pertamanya. Karna apa lagi coba." Kini mulut Jerry sudah diluar batasnya,

"Apaan sih Jerr. Udah gausah dibahas lagi, kita udah ribut waktu itu soal ini kan?" Emosi ku udah tidak tertahan lagi, hancur semuanya.

"Apanya yang gausah dibahas Nes, apasih yang lo coba sembunyiin dari gua? Dari kita?" Tuntut Lista kepadaku. "Lo ingetkan 'gak ada rahasia diantara kita'".

"Ga ada Ta, ini cuma masalah kecil ko, bukan sesuatu yang penting." sangkal ku dihapan mereka semua yang kini menatap ku dengan tatapan menuntut jawaban. "Serius deh gua."

Sunyi. tidak ada yang memulai pembicaraan. "Emang siapa cinta pertamanya si Nessa Ta?" Bisik Jullian.

"Elo goblok!" Jawab Jerry dengan emosi yang meluap. Jerry berdiri dan bersiap menghajar Jullian, aku tidak pernah ngerti sama jalan pikiran cowok. Rosa menahan Jerry dan Lista menahan Jullian.

"Woi man, santai dong. Jangan sok tau lo. Tau dari mana cinta pertamanya Nessa itu gua. Bangsat!" Jawab Jullian yang tak ingin kalah tarik urat dengan Jerry.

"Lo berdua diem deh. Gua masuk aja sekarang, Ibam ga mungkin dateng." aku menggeram. Habis sudah emosi ku, tanpa melirik mereka berempat aku mengambil koper Jeremy Scott-ku dan berjalan menjauh ninggalin mereka berempat.

"Nessa!" Jullian berlari ke arah ku dan memeluk ku. "Hati-hati ya, sori buat semuanya. Nessa tetep sahabat Jullian. Walaupun kita gak bisa sama kaya dulu lagi, posisi Nessa dari dulu sampai sekarang ga pernah berubah, bergeser atau ditempatin orang lain. Jullian emang ga tau kenapa Nessa bisa tiba-tiba pergi kaya gini. Jullian juga ga bisa nyalahin Nessa karna Jullian ga tau apa-apa, tapi Nessa perlu tau, kapanpun Nessa butuh, Jullian siap dengerin cerita-cerita Nessa, kaya dulu. Aku sayang sama kamu. Aku tunggu kamu pulang." air mata ku mengalir, kepergian ku karna dia. Tapi sekarang dia meluk ku, dan bilang akan nunggu aku balik.

Ya Tuhan.