webnovel

Djo, Sang Penari

Malam tanpa bintang saat kami mengunjungi di sebuah lokasi nongkrong anak muda yang sangat-sangat sederhana, bangunan beratap Rumbia, yang dibuat dalam bentuk lorong panjang lalu bersekat-sekat. Di setiap kubikelnya terdapat satu meja pendek di atas tikar lusuh. Banyak motor dan beberapa mobil terparkir di sana. Lokasi ini tersembunyi dari ramainya lalu lalang kendaraan, karena posisinya yang berada di sebuah lembah. Agak mistis dan sedkit menyeramkan. Jejeran batang bambu, semak dan beberapa tegakan menambah suram. Penyinaran di sini juga kurang. Lampu-lampu dipasang dalam suasana temaram, bagi mereka yang berpasangan mungkin suasana ini romantis, tetapi bagiku ... adrenalin sedikit terpicu.

"Pesan dulu deh, Mba." Anak muda yang kukenal lewat aplikasi Bertali, menyerahkan sebuah menu. Mataku menjadi tulisan-tulisan di sana dan terkejut saat melihat harganya, dimulai dari dua ribu rupiah. Amazing. Pantas saja dia membawaku kemari. Djose Abarua, katanya asli Ambon. Perawakannya tidak tinggi namun proporsional, kutaksir usianya baru 28 tahun. Tampilan fotonya saat memegang gitar menjadi alasanku untuk melakukan chat dengannya. Yah, setiap pria bergitar selalu berkharisma seperti Raja Dangdut Rhoma Irama, yang selalu mampu menjatuhkan hati wanita. Nyaris setiap pria bergitar memiliki kharisma memabukkan, berbeda dari pria kebanyakan pun Djose.

Percakapannya terkini dan romantis, dia berbeda dari Awan yang selalu mengeluhkan hari-harinya, berbeda dari Mas Djati yang serius atau Lintang yang kebelet kawin. Djose selalu tahu kapan harus menyapa atau kapan harus menjauh. Setelah chatting beberapa hari, akhirnya kami di sini. Bermalam minggu.

"Mba pesan apa?" tanyanya mengingatkanku.

"Ngikut aja ya, aku pemakan segala"

"Bisa makan aku juga dong" Kerling matanya menggoda.

"Eh, Djo, kamu sering ngeGym yak? sebagai penari dan guru seni di SMA tubuh yang bugar 'kan modal untuk mengajar, to?"

"Mba bener, tapi belakangan ini agak kurang. Paling aku berenang. Mba bisa berenang?"

Aku menggeleng tersipu, sepertinya aku satu-satunya anak Kalimantan yang tidak bisa berenang. Uma memilih tinggal jauh dari sungai sejak kejadian abah menikah lagi. Aku tidak akrab dengan air.

"Wah, kapan-kapan kita berenang bareng. Atau Mba mau kuajari berenang?"

Mataku membulat menatapnya, mendelik. Dia tersenyum lalu melanjutkan, "pikirannya jangan mesum deh, Mbak!"

Kupukul lengannya. Otakku tidak seburuk itu anak muda. Mungkin dia mampu membaca air mukaku.

Tanpa kusadari tangannya telah berada di telapak kakiku, memijit pelan terasa sangat nyaman walaupun dia melakukannya di atas kaus kaki yang kukenakan. Pada suatu titik tangannya berhenti, menekan agak keras, dan aku mengaduh.

"Lambungnya jelek! Reproduksi juga kurang bagus," ucapnya sembari menatapku. Aku meringis, tekanan jarinya masih terasa hingga ke perut.

"Kamu tukang pijat?" tanya yang terlontar begitu saja dari mulutku.

"Saya, gigolo ...."

Sontak kutarik kakiku lalu menyembunyikannya. Aku beringsut mundur lebih dalam dan dia meringsek maju.

'Ya, Allah apa yang harus kulakukan?' ucapku dalam hati. Jelas aku tidak ingin diperkosa di tempat ini, tidak ingin digerayangi atau dilecehkan olehnya. Kurapalkan beberapa ayat Qur'an, mencoba untuk tetap tenang. Kusandakan punggung di dinding. Wajah Djo mendekati wajahku, bibirnya mengincar bibirku, saat dekat, kutelengkan wajah. Nyaris. Dia mencium pipi kerudungku.

"Mba nggak asyik!" Kutatap wajahnya yang sudah menjauh. Temaram lampu tidak akan menggambarkan ketakutanku,

"Apa-apaan itu, Djo?"

Dia tertawa terkekeh, memegangi perutnya. Kedatangan pelayan yang mengantarkan makananlah yang menghentikan tawanya. Aku masih lemas, dan terdiam di sudut. Tidak bergerak. Namun, Djo mengulurkan segelas es teh lemon,

"Minum dulu, nggak usah shock. Mba masih perawan rupanya."

Tanpa menerima gelas yang diulurkanya kupukul lagi lengannya keras-keras.

"Kamu jahat!"

Dia kembali tertawa,

"Maaf, Mba. Ciuman tidak nyaman kalo dipaksakan. Dan kurasa Mbak belum pernah dicium. Iya?"

Aku tidak bisa melihat ekspresiku, tapi aku yakin rona wajahku bukan hanya meerah kuning biru tetapi juga hitam.

"Makan dulu deh, Mba, Geprek di sini, murah dan enak! Tenang saja ini bukan ayam mati!"

Astaga, komentarnya. Kalau yang dihidangkan bukan ayam mati, lalu bakal kabur pasti saat digoreng.

"Djo, kamu bukan gigolo kan?" tanyaku memecah kebisuan lima menit di antara kami.

"Iya, Mba. Saya melayani wanita-wanita yang memerlukan kasih sayang. Kadang melayani Pria juga."

Kunyahanku tertahan. Sesuatu mencekik tenggorokan. Ia tidak main-main. Santai sekali saat menjawab pertanyaanku, tidak ada beban dalam kalimatnya.

Itukah profesi sebenarnya? pantas saja ia tahu bagaimana menjaga keromantisan dan intensitas keintiman. Dia bisa menjaga rasa penasaran lawan chatnya. Strategi marketing. Akan tetapi, dia guru. Di mana letak moralnya?

Jutaan pertanyaan memenuhi benakku, membuat aku merasa sebelumnya hidup di negeri kolot nun jauh disana. Aku hanya berada salam kerangkeng yang mengenal istilah-istilah dari buku. Gigolo. Sosoknya ada di hadapanku, dan kami makan bersama.

"Kenapa, Mba?" tanyanya lagi, "Mba ingin bertanya sesuatu, silakan. Aku akan jawab. Tapi jangan tanya kenapa aku melakukannya ya ... terlalu panjang untuk diceritakan kecuali Mba mau ikut ke rumah kontrakanku dan menghabiskan malam bersama." Lagi-lagi dia mengeluarkan senyum serigala.

Aku menarik napas,

"Justru itu yang ingin aku tanyakan. Kenapa?"

"Setiap orang punya masalahnya sendiri, Mba. Biarlah itu menjadi rahasiaku. Dan ... Mba nggak mau juga 'kan menjadi teman tidurku. Icip-icip berhadiah."

Haish. Dia pikir bercinta hanya soal menyatukan dua raga berlainan jenis.