webnovel

Lambaian Tangan

Hembusan angin menerpa rambut pendek seorang gadis bertubuh mungil. Di sampingnya ditemani seorang lelaki berperawakan tubuh tinggi dan gagah, dapat dilihat dari otot lengannya. Mereka berdua adalah sepasang remaja yang sedang menikmati indahnya suasana di pedesaan.

"Akhirnya aku bisa menikmati suasana desa lagi," ucap Kliwon sambil merentangkan kedua tangannya.

Gadis di sebelahnya pun tersenyum lalu bertanya, "Jadi, lebih enak tinggal di kota atau tinggal di desa nih?"

Kliwon membuka kedua matanya untuk menatap gadis di sampingnya. Senyuman manis di bibirnya selalu menjadi candu bagi setiap orang yang melihatnya. Ketika sudah puas menatap gadis di sebelahnya, Kliwon kembali menatap indahnya pemandangan pedesaan yang masih dipenuhi oleh pohon-pohon besar nan rindang.

"Jelas lebih enak di desa lah. Kamu tahu? Di kota banyak polusi udara dan akses jalannya sering macet," jawab Kliwon.

Mereka berdua menyandang status sebagai sahabat semenjak menginjak masa taman kanak-kanak, tapi mereka berdua dipisahkan oleh jarak karena urusan pekerjaan orang tua. Sekarang ini, mereka dipertemukan kembali di sebuah desa, yaitu Desa Wuni. Banyak mitos yang beredar di Desa tersebut, terutama berkaitan dengan hal gaib.

"Ani, apakah kamu suka tinggal di desa ini?"

"Lumayan sih, meskipun tidak seindah desa yang kita tempati dulu," jawab Ani.

"Aku juga merasa seperti itu, tapi setidaknya aku bahagia banget karena bisa bertemu sama kamu. Oh iya, kita mau berangkat sekolah kapan? Aku sudah nggak sabar ingin pergi ke sekolah baru."

"Sekarang!" Sahut Ani sambil menunjukkan kepalan tangan kanan ke atas tanda dia sangat semangat.

Senyum manis milik Ani benar-benar candu bagi Kliwon. Dulu Kliwon hanya bisa melihatnya menggunakan foto maupun video di media sosial saja, sedangkan sekarang dirinya benar-benar sudah berada di depan mata. Ternyata memandang secara nyata lebih indah daripada memandang di dunia maya.

Brum… Brum… Brum…

Mereka berdua boncengan naik motor matic menuju ke sekolah. Awalnya mereka memang sengaja mampir di sebuah taman terlebih dahulu untuk mengingat kenangan bersama sebagai bentuk penyambutan kedatangan Kliwon di Desa Wuni. Setelah itu, akan dilanjut berangkat sekolah bersama.

"Dulu kita boncengan pakai sepeda, tapi sekarang kita boncengan pakai motor bareng!" Teriak Ani sambil memegang pinggang Kliwon agar tidak jatuh.

Kliwon terkekeh pelan. "Hehehe iya ya, benar juga apa kata kamu!"

Tak lama kemudian, mereka pun sampai di halaman sekolah. Seluruh siswa mengenakan seragam putih abu-abu. Dari berbagai gaya rambut, Ani hanya lebih senang dikuncir kuda daripada digerai lurus hanya akan membuatnya merasa gerah ketika di siang hari.

"Sekolahnya gede juga ya," kata Kliwon ketika melepas helm. Dia mengedarkan pandangan kedua matanya di sekeliling tempat parkir yang cukup luas.

Banyak beberapa siswa yang belum masuk kelas, mereka duduk berjajar di atas motornya masing-masing yang bisa dikatakan sekumpulan geng. Ada pula yang duduk di kantin sebelah parkiran. Rata-rata dari mereka adalah siswa laki-laki. Dari cara berpakaian pun sedikit kurang rapi. Beda dengan siswa yang langsung masuk ke kelas.

Ani menepuk pelan punggung kanan Kliwon. "Hai! Ngapain ngelamun?"

"Ah, aku nggak ngelamun kok, cuma melihat teman-teman kamu saja. Ternyata setiap sekolah nggak ada bedanya, pasti ada siswa modelan seperti mereka," jawab Kliwon dengan pandangan matanya menunjuk ke segerombolan siswa yang sedang nongkrong.

"Namanya juga dunia pendidikan. Ayo, lebih baik kita masuk ke kelas saja. Kata kepala sekolah, kelas kamu bareng sama aku."

"Ayo!"

Mereka berdua berjalan beriringan menuju ke kelas 11 IPS A, yaitu salah satu kelas IPS yang paling unggul karena hanya siswa pilihan dengan nilai terbaik yang bisa masuk kelas tersebut. Dari hal itulah banyak macam gaya penghuni kelas bisa diamati. Kalau kelas A sudah dapat dipastikan bahwa rata-rata dari mereka adalah anak pendiam dan kutu buku. Kelas yang paling akhir adalah kelas E, kebanyakan dari mereka memiliki ciri khas humoris dan sedikit tidak taat aturan.

"Selamat pagi, semua!" Teriak Ani ketika masuk ke dalam kelas.

Kebiasaannya itulah sudah menjadi ciri khasnya. Suaranya cempreng seperti toa masjid. Beberapa penghuni kelas pun ada yang menatap Ani tidak suka.

"Nggak usah teriak-teriak bisa nggak sih? Macam suaranya bagus aja!" Cibir penghuni kelas yang duduk di pojok belakang kanan. Dia memang selalu kesal jika ada suara keras karena mengganggu fokus membaca.

"Idih sewot banget jadi orang, terserah aku dong!"

"Ni, kamu belum pernah ditampar sama orang buntung kan?" Tanya Adit, si ketua kelas.

"Ya belumlah," jawab Ani sedikit menaikkan tinggi nada bicaranya.

"Nah, kalau kamu belum pernah, silahkan tampar Ani sekarang, Mel!" Suruh Adit menatap Amel yang sempat kesal karena suara teriakan Ani tadi.

Tepat pada saat itu, kedua mata Amel melotot ke arah Adit. "Gundulmu! Kamu pikir aku ini buntung apa?!"

"Aku kan nggak ngomong, malah diri kamu yang mengakui sendiri," kata Adit lalu nyengir tanpa dosa.

Emosi Amel cukup memuncak. Dia pun menghela napas sambil mengusap dada. "Jauhkanlah hamba dari orang terkutuk macam dia."

"Ngomong-ngomong yang di sebelah kamu siapa tuh?" Tanya Andini mendekati Ani. Dia memang sengaja karena kebiasaannya yang suka cari perhatian. Mendekati Ani sama dengan ingin mendekati Kliwon.

"Dia Kliwon, murid baru di kelas ini," jawab Ani.

Andini hanya tersenyum sambil menganggukan kepala berkali-kali. Kedua tangannya digunakan untuk menyangga dagu dengan tatapan mata genit ke arah Kliwon. Sudah bukan kejadian mengherankan lagi karena Andini sendiri sudah dikenal sebagai buaya betina.

"Jijik amat lihat muka kamu, lama-lama bikin enek!" Cibir Adit.

"Diam kamu! Jadi orang cuma bisa ngomel-ngomel."

"Selamat pagi anak-anak!" Sapa guru ketika masuk ke dalam kelas, dia bernama Pak Slamet. Dia merupakan salah satu guru penyabar.

Seluruh siswa langsung duduk di tempat duduknya masing-masing, kecuali Kliwon karena dia belum tahu bagian tempat duduknya. Pak Slamet duduk di kursi guru. Kedua matanya menatap salah satu siswa yang tidak duduk dan wajahnya terlihat asing.

"Murid baru ya?" Tanya Pak Slamet.

"I-iya, Pak," jawab Kliwon lalu tersenyum ramah.

"Silahkan perkenalkan diri kamu terlebih dahulu!"

"Baik, Pak."

Kliwon melangkahkan kaki menuju ke depan teman-temannya. Seluruh tatapan penghuni kelas mengikuti tiap langkah kakinya. Deretan gigi putih terpancar ketika Kliwon menunjukkan senyumannya.

"Mohon perhatiannya!"

"Tanpa kamu minta pun akan ku beri perhatianku buat kamu kok," cletuk salah satu penghuni kelas.

Seisi kelas pun langsung heboh. "Cie!"

Begitupun Kliwon terlihat tersipu malu. Dia pun senyum-senyum sendiri seperti salah tingkah. Bahkan pipinya muncul

semburat merah.

"Perkenalan nama saya Kliwon dan biasa dipanggil Kliwon," kata Kliwon.

Tepat pada saat itu, dia merasakan tubuhnya terasa aneh. Dia melihat ada seorang anak kecil di ambang pintu kelas yang melambaikan tangan kepadanya. Raganya tiba-tiba terasa seperti tertarik ke arah anak kecil tersebut, meskipun tubuhnya masih tetap berdiri di depan kelas. Pandangannya semakin kabur dan semuanya berubah menjadi gelap.

"Kliwon!" Teriak seisi kelas.