webnovel

Awan

Nama sesorang serupa gumpalan kapas berisi air yang melayang di angkasa bersama bentangan biru langit yang selalu bersamanya. Putih lembut yang siap terkoyak menumpahkan cairan kehidupan. Bergerak perlahan

Cuaca cerah dengan sinar matahari yang di antaranya berhasil menerobos fentilasi yang berada di atas jendela dengan kaca bening, tepat menyinari Awan yang seperti memperhatikan penjelasan guru padahal pikirannya melayang menjelajah tak tentu arah.

Awan mengakui dia selalu suka sinar matahari pagi yang menghangatkan tubuhnya, juga sedikit hatinya yang sudah lama membeku. Tapi sejak kapan Awan peduli pada dirinya sendiri.

Awan melipat tangannya di atas meja, lalu dia menaruh kepalanya di atas lipatan tangan. Ia mencoba memejamkan matanya dan bersiap menyambut mimpi, tapi Awan ingat dia tidak pernah bermimpi sepanjang hidupnya dan Awan tidak tahu bagaimana rasanya. Hanya kosong dan hampa.

Ketika mulai nyaman dan hampir tertidur, dia tiba-tiba merasa tidak nyaman seperti seseorang sedang melihat ke arahnya dari arah sebelah kiri. Awan bergidik, haruskah dia menoleh?

Awan menegakkan tubuh, matanya menjelajah ke sebelah kiri mencari siapa saja yang berani mengganggu tidurnya.

Oh!

"Langit!" Awan tanpa sadar berteriak dan melambai kuat pada Langit yang berdiri di luar kelas. Menatapnya. Awan memberikan senyum lebar.

Awan tidak tahu kenapa kembaran tak sekandungnya menyempatkan diri untuk berhenti dan melihatnya. Biasanya dia selalu melengos, atau berpura-pura tak melihat dan memandangnya seolah membenci. Dan lagi rasa-rasanya Awan selalu melihat Langit di mana-mana akhir ini entah kebetulan atau bukan. Dan mereka sesekali bertukar pandang dan selalu saja Langit menatapnya penuh rasa kebencian. Awan tak pernah tahu apa kesalahannya, hingga Langit membencinya sedemikian rupa.

Detik jam seolah melambat, dia bisa melihat mata Langit yang perlahan menajam. Mungkin seolah tersadar dari kebodohannya Langit pergi dengan langkah cepat. Membuat Awan mengendurkan senyumnya.

Lalu dia tersadar satu hal dan bergidik ketika merasa banyak pasang mata di kelas menatapnya. "Anak-anak fokus, jam pelajaran masih berlanjut." Gurunya berlalu menganggap kejadian barusan tidak pernah terjadi dan kembali menerangkan.

Awan diam, memandang kosong ke papan tulis putih yang sudah penuh coretan. "Kamu, baik?" tanya seseorang setengah berbisik di samping Awan. Ia menolehkan pandangannya pada gadis blasteran itu, dan memberikan senyum tipis sebagai jawaban.

"Iya deh," jawab Awan. Gadis itu mengangkat bahu acuh dan kembali memfokuskan dirinya ke depan.

"Lia, pinjem pulpen. Aku ilang." Awan berkata pelan, gadis itu menoleh mengangkat alisnya bingung. Lalu detik berikutnya dia mengambil pulpen di dalam tasnya dan memberikannya pada Awan.

"Nggak usah di balikin. Ambil aja Aku sedekah." Lia. Michelia Champeca nama gadis itu, kembali berkutat pada buku untuk menulis soal yang baru saja di berikan.

Awan ikut menulis apapun yang ada di papan tulis dia tuangkan ke dalam catatannya. Pikiran Awan tiba-tiba bercabang tanpa kendali, melayang-layang membentuk benang kusut, membuatnya hampir berteriak frustasi. Dia tidak ingin memikirkan apapun tapi pikiran itu datang sendiri kedalam kepalanya, berganti-gantian tanpa bisa ia kendalikan, tentang hal-hal acak yang tidak ia ketahui. Seperti televisi rusak yang berkedip-kedip.

"Kamu jangan nolak, ayo ke UKS." Michelia tiba-tiba menarik lengan Awan pelan untuk keluar dari bangkunya. Ia menurunkan tangannya yang tanpa sadar sudah mencengkeram rambutnya. Awan masih diam, kepalanya mendadak pening dan berputar. Hal ini sering terjadi. Susul menyusul tak tahu waktu.

Gadis itu mengangkat tangan kanannya. "Pak Saya izin ke UKS. Awan sedang tidak enak badan."

Guru berbadan subur itu mengangguk sebagai jawaban. Tanpa membuang waktu Michelia menarik tangan Awan hingga berdiri dan menuntunnya untuk pergi ke ruang kesehatan. Awan tampaknya hanya pasrah bahwa dirinya sekarang bahkan di tuntun oleh seorang gadis yang bahkan tingginya melebihi Awan, karena kepalanya pening dan mengacaukan keseimbangannya.

"Lia, seharusnya nggak perlu." Awan berkata lirih di sepanjang koridor. Lalu melanjutkan, "Malu."

"Dan membiarkan kamu kesakitan. Aku nggak bisa liat teman Aku kesulitan."

Ketika mereka telah sampai, Awan mendudukan dirinya pada salah satu ranjang ruang kesehatan. Mata Awan menjelajah menemukan bahwa tidak ada orang yang bertugas, dan Michelia sedang sibuk mencari obat di sudut ruangan. Awan sesekali mengurut pelipisnya, kali ini kepalanya terasa berdenyut nyeri seakan terpompa dan siap meledak.

Michelia yang mendekat ke arah Awan menyodorkan obat dan segelas air. Awan meminum obatnya dengan satu tegukan air. Lalu dia mulai berbaring telentang pada kasur, merilekskan diri.

Michelia duduk di kursi sebelah ranjang, memperhatikan Awan yang mulai memejamkan matanya.

"Astaga, Langit. Kepalamu." Mendengar teriakan Michelia, sontak Awan membuka matanya. Manik coklat cerahnya melebar mendapati Langit yang berjalan ke ranjang di belakangnya dengan kening menetes darah. Langit mengabaikan teriakan Michelia dan seperti tidak menyadari kehadiran Awan, lalu memilih membaringkan dirinya di kasur.

Awan turun mendekati Langit, memegang bahunya untuk membuatnya duduk. Langit tampak terkejut dan hendak menolak bantuan Awan. Namun dia hanya bisa diam setelah mendapatkan pelototan dari Awan dan dia tidak bisa melawan ketika kepalanya berdenyut sakit.

Michelia datang dengan wadah obat-obatan untuk luka juga plaster. Ia hendak mengobati Langit, namun Awan menahannya dan membiarkan Awan mengobati Langit. Michelia menggerutu dimana guru atau murid begitu ceroboh meninggalkan ruang kesehatan tanpa pengawasan, hingga tidak mampu mengobati seseorang yang tiba-tiba sakit untuk masuk ke sini. Michelia berpikir mungkin saja jika tidak ada ia dan Awan bisa di pastikan Langit akan membiarkan lukanya di obati asal-asalan.

Awan membersihkan darah dengan kapas yang di beri alkohol. Sesekali Langit meringis menahan perih.

"Kamu sengaja buat kepalaku tambah sakit?" Langit beberapa kali mendorong tangan Awan yang menyentuh lukanya lagi.

"Aku ingin obati. Nurut aja jangan banyak protes."

Michelia tidak tahan untuk bertanya, "Kenapa bisa kayak gini?"

Langit sekilas melirik Michelia, "Bukan urusanmu."

Michelia hanya menghela napas berat. Lalu dia melihat ke Awan dan memberikan kode.

"Luka ini karena apa, Langit?" Awan berkata lembut agar Langit dapat memberitahunya. Dia melihat mata Langit yang bergerak-gerak tak nyaman, seperti ingin menjawab tapi ragu. Awan tidak melihat kebencian pada mata Langit kali ini, membuatnya bertanya dalam hati.

"Oke. Aku nggak akan bertanya lagi." Setelah memberikan obat merah di sekitar luka, ia menutupnya dengan kain kasa dan menekannya.

"Aw, sakit kak. Kakak selalu aja nekennya kuat." Langit mengelus pelan lukanya, sambil menggerutu.

"Kakak?" Michelia terkejut ketika Langit secara spontan memanggil Awan kakak. Awan yang mendengarnya hanya menganggap sebagai angin lalu. Mungkin saja Langit berpikir bahwa yang mengobatinya adalah kakaknya. Namun Awan ingat bahwa Langit adalah anak tunggal atau karena wajah mereka yang mirip Langit menganggapnya kembarannya.

"Teman satu kelasku nggak sengaja menjatuhkan vas bunga di keningku." Terlihat sekali bagi Awan bahwa Langit sedang mengalihkan pembicaraan.

"Bagaimana bisa? Dimana?" Awan entah mengapa menjadi menjadi khawatir.

"Kamu banyak tanya. Kepalaku makin sakit, nih." Langit membaringkan kembali tubuhnya.

Awan menjadi sedikit kesal, maka tangannya terulur pada luka berbalut kasa lalu menepuknya cukup kencang. Suara kesakitan dan tawa langsung memenuhi ruang kesehatan.

Di sela tawanya, Michelia membuat kesimpulan bahwa Awan yang biasa dia kenal berbeda saat bertemu Langit dan dia merasa bahwa hubungan Awan dan Langit seperti saudara. Ya, merasa. Benar ataupun tidak.

Terima Kasih telah membaca :)

Siguiente capítulo