webnovel

Dekat Tak Tergenggam

"Kita kan lagi membahas tentang cinta sehidup semati kita, Kiya Sayang." "Iya. Gue hidup. LO MATI!!!" ~~~~~~ Raka Canda Winata. Si cowok tengil dengan hobby gombalin cewek-cewek di kampus. Namun, gombalannya tidak berlaku untuk Akhiya Nabila. Cewek si penyandang status gagal move on. Lelaki yang hendak mendekati bergidik ngeri dengan sorot tajam mata nya yang mematikan. Sifat Raka yang menjengkelkan di hampir setiap hari membuatnya di BLACKLIST dari daftar nama manusia di bumi versi Akhiya. Ratusan hari terlewati. Namun, cewek jutek itu enggan membuka hati. Apakah sesulit itu perjuangan Raka untuk mendapatkan secuil hati si Cewek galak se-antero Universitas? Masalah besar datang dari kisah masa lalu Akhiya. Akankah Raka putus asa dengan semua keadaan yang ada?

Aprilliaskm · Adolescente
Sin suficientes valoraciones
244 Chs

Gagal move on

Gadis blasteran Irlandia dan Indonesia, mempunyai rambut hitam pekat yang tergerai, dan mata indah kecoklat-coklatan itu sedang duduk sendiri ditaman kompleks seraya mengayun-ayunkan kaki membiarkannya bergesekan pada rerumputan hijau. Kepala nya menunduk memperhatikan rumput yang tidak sedetik pun berubah, meratapi percintaan nya yang telah lama dipertahankan namun dengan sekejap semua kandas karena orang ke-tiga.

"Kiyaaaa...."

Merasa namanya dipanggil, dengan cepat dia menoleh ke asal suara tersebut. "Riri, Ngapain lo kesini?" gadis yang bernama Kiya itu lantas berdiri dan mendekati Riri agar sahabatnya itu tidak lagi kelelahan berlari ke arahnya.

"Ya ampun lo tuh gue kira diculik atau tersesat gitu." Riri menggerutu kesal, sedangkan Kiya malah tertawa pelan menanggapi ocehan sahabatnya itu. "Lo dicariin mama sama papa lo, abis pulang ngampus kerumah dulu kek. Kebiasaan."

"Lo tuh bawel banget sih, kayak ibu tiri."

"Emang lo pernah diomelin sama ibu tiri? Wah wah" goda Riri seraya menggelengkan kepalanya pelan.

Kiya menjitak kepala sahabatnya dan membuat Riri meringis kesakitan. "Kalau ngomong tuh yaaa...." Kiya menatapnya tajam, "Suka bener." Riri melepas tawanya seketika, disusul oleh Kiya yang juga ikut tertawa.

"Yuk balik, kasihan orang tua lo khawatir nungguin dirumah." Kiya hanya mengangguk pasrah dan dengan cepat Riri menggandeng tangannya, mensejajarkan langkahnya dengan Riri meninggalkan taman didalam kompleks perumahan.

***

Di lantai tiga di gedung kampus. Kiya berjalan santai melewati mahasiswa lain yang sibuk pada kegiatannya masing-masing. Mata Kiya menangkap sosok sahabat masa kecilnya sedang melihat ke arah koridor kampus. Kiya maju mendekat ke arah Riri dengan rasa penasaran yang meliputi.

"Riri lo lagi liatin apa sih? Serius banget." Tanyanya. Kiya menepuk pelan bahu Riri dari belakang. "Ri!" panggilnya lagi, mencoba mengalihkan pandangan sahabatnya.

Riri melirik kearah Kiya lalu tersenyum lebar menampilkan deretan giginya. "Eh lo Ki, itu tuh lo liat gak?" Riri menunjuk pada segerombolan cewek yang tengah sibuk berfoto dengan cowok.....ganteng. "Ganteng ya? Liat yuk!" Riri menggandeng tangan Kiya mendekati kerumunan itu dengan sedikit berlari kecil.

Kiya berhenti, menahan langkah Riri. Padahal tidak ada satu meter mereka hampir sampai. "Udahlah, Ri, gak penting juga kali." Kiya membalikkan badannya meninggalkan Riri yang masih diam ditempatnya karena penasaran dengan cowok yang lagi ditengah-tengah kerumunan itu.

"SAYAAAANNGGG!"

Dengan cepat Kiya berbalik ke belakang. Riri membuka mulut tidak percaya.Riri menatap Kiya tajam, meminta penjelasan pada gadis itu. Semua cewek yang rata-rata kakak tingkat menatap Kiya dengan tatapan mengintimidasi.

"Sayang? Itu anak sastra kan?"

"Itu pacarnya Raka?"

"Yah, kak Raka udah punya pacar."

Dengan tampang sok kenal nya, cowok yang tadi lagi diperebutkan kaka tingkat, malah berlari kecil ke arah Kiya dan merangkul pundak gadis itu. "Aku mencarimu dari tadi." Kiya menaikan sebelah alis arti tidak mengerti.

BUGH.

"Aw!" Raka memekik kesakitan.

Kiya meninju perut cowok yang berani merangkulnya, sorot matanya menandakan dia tidak terima ada tangan cowok selain Putra, kakaknya dan papanya yang menyentuh. "Kalau punya mulut dijaga! tangan nya juga sekolahin!"

Dengan langkah cepat, Kiya meninggalkan cowok yang lagi memegangi perutnya karena bogeman mentah darinya. Sedangkan Riri mengejar langkah Kiya yang sudah tertinggal jauh. Riri berlari untuk menyejajarkan langkahnya dengan Kiya. "Kiya, lo hutang penjelasan, ya!" Kiya tidak menggubris perkataan Riri. Hanya saja kedua bahunya terangkat masih dengan berjalan cepat. "Lo kenal dia dimana?"

Kiya berhenti berjalan. "Gak kenal!" jawabnya kesal.

"Dia itu anak dari pemilik kampus ini, Kiya!Terus tadi dia panggil lo.... sayang? Iya, kan? Gila!" Riri menggelengkan kepala. Alisnya terangkat sebelah, "atau....  dia suka sama, lo?"

Kiya menghela napas panjang. "Suka?" Telunjuknya terangkat ke depan wajahnya sendiri. "Sama gue?"

Riri tersenyum lalu mengangguk, lagi.

"Kenal aja enggak! Setau gue nih kalau ada cowok yang kelakuannya kaya tadi itu berarti ada dua kemungkinan, kalau gak playboy yaaa....," Kiya menggantungkan kalimatnya, lalu tangannya terangkat dan membentuk garis miring di dahi dengan telunjuknya. "Gila!"

Riri menempeleng kepala Kiya, takut-takut ada orang lain yang mendengar lalu melaporkannya kepada pihak kampus dan akhirnya mengeluarkan mereka berdua dari kampus ini.

Riri tertawa melihat ekspresi baper sahabatnya, "Lagian ada-ada aja. Hati-hati loh nanti cinta." belum sempat Kiya memukul balik Riri, cewek itu sudah kabur duluan dan masih mentertawai nya.

***

Sedari tadi Kiya merasa risih karena harus berada di satu ruangan bersama cowok yang tadi ditonjoknya, seharusnya dia tidak berada disini, dan bukan hanya itu saja. Cowok itu pun seperti penguntit baginya, ia selalu mempergoki bahwa cowok itu tak lepas memandanginya. "Benar-benar gila kayanya," pikirnya mulai menebak.

Hingga Dosen pergi karena tugasnya selesai, cowok itu masih saja memandanginya dan tak lupa juga mengumbar senyum. Padahal senyum nya malah membuat Kiya makin ilfeel padanya.

"Hai,"

Kiya segera memasukan laptopnya ke tas. Dia takut jika saja cowok itu meminta pertanggung jawaban atas perbuatannya tadi pagi. "Ah nih cowok rese amat sih, sok manis lagi" gerutunya lagi dalam hati.

Cowok itu berdiri tepat didepan Kiya, mengulurkan tangan kanan nya ke depan gadis yang sedang menunduk itu. "Aku Raka," ucapnya dengan senyum mengembang.

"Masa?"

"Iyaa,"

"Bodo!"

"Galak banget sih!" ujar Raka ketus, "kayaaa....hewan penjaga aja." lanjutnya setengah berbisik.

Kiya mengangkat sebelah alisnya. "Apa?"

"Enggak! Kamu cantik."

Gombalan Raka mulai keluar, membuat Kiya harus benar-benar waspada. Dia langsung berjalan cepat meninggalkan Raka sendiri dikelas.

"Itu cowok sarapan apa sih? Sampe geser gitu otaknya."

Kiya mendumel sepanjang langkah kakinya, tidak habis fikir bahwa hari ini adalah hari paling sial yang pernah dia alami. Setelah sebelumnya pernah sial juga karena dikejar orang gila gara-gara jam tangan Riri yang terjatuh lalu diambil orang gila dan hingga akhirnya mereka dikejar karena meminta jam tangan itu. Kiya tertawa sendiri mengingat kejadian konyol itu, sudah jam tangan gak dapet, dikejar-kejar lagi.

"Tuh kan mulai gila nih, sayangku."

Kiya melebarkan matanya tidak percaya, tangan Raka dengan santai nya merengkuh leher Kiya, membuat kepala Raka berdekatan dengannya. Kiya langsung memasang kuda-kuda untuk meninju perut Raka lagi. Namun, dengan cepat tubuh Raka mundur menjauh untuk menghindari serangan dari gadis ganas disebelahnya.

"Sorry, aku gak sengaja. Tangan aku emang suka bandel kalo ketemu cewek cantik dijalan." Raka memukul tangan kanan nya sendiri yang tadi sehabis merangkul Kiya. Sebenarnya dia mencoba menggombal lagi untuk membuat hati Kiya luluh atau sekedar tersipu malu. Tapi bukannya mendapat senyum malu-malu Kiya, dia malah mendapat pitingan dari Kiya.

"Oh, pantes!"

"Tapi aku baru ketemu cewek cantik nya pas liat kamu doang sih,"

"Udah gila ya?"

"Gila karena kamu." Jawab Raka ambigu.

Kiya mencibir. "Salah minum obat lo!"

"Obatnya cuma senyum kamu."

Kiya mulai jengah meladeni cowok rese sekaligus tukang gombal seperti Raka, membuat Kiya makin ingin memuntahkan isi perutnya tepat diwajah cowok itu. Kiya menjelajahi seisi gedung, mencari sosok yang sudah kabur keluar kelas saat setelah Dosen keluar. Padahal tadi Riri melihat dia sedang didekati cowok yang tidak dikenal.

"RIANA DEWI!!"

Teriakan Kiya membuat seisi gedung bergema, Raka menutup kedua daun telinganya rapat-rapat. Riri yang takut dengan amukan sahabatnya, mengurungkan niatnya untuk kabur meninggalkan Kiya sendiri di kampus.

Riri melangkah malas menghampiri Kiya. "bisa gak sih biasa aja bu."

"Lo kalau gak digituin ya gak bakalan nyamperin!" maki Kiya, membuat Raka yang berada disebelahnya melamun memperhatikan wajah gadisnya ketika sedang marah. "Sebagai hukumannya, lo harus nginep dirumah gue!"

"Dengan senang hati." Raka yang memang mempunyai tingkat Kepercayadirian tinggi jadi tidak malu mengatakan sesuatu yang sebenarnya pernyataan itu bukan untuknya.

Kiya berdecak kesal. "Siapa yang ajak lo?"

"Kaaaamu,"

"Siapa bilang? Gue ajak Riri, bukan lo!"

"Tapi kamu gak sebut nama Riri."

"Yang jelas gue ngomong sama Ri—ri!" jawab Kiya kesal dengan nada penekanan disetiap katanya. jika didekat Raka, entah kenapa dia seperti mengidap penyakit darah tinggi. "Gak usah jawab apa-apa, gue gak butuh jawaban lo yang gak jelas itu. Karen—"

"Karena cinta." gumam Raka ambigu, lagi-lagi mendapat tatapan tajam dari Kiya yang siap untuk menerkamnya. Sebelum Raka dapat amukan dari Kiya lagi, lebih baik sekarang dia melarikan diri.

Kiya tidak peduli pada Raka yang berjalan menjauh, lalu dengan cepat dia menggandeng tangan Riri dan mengajaknya ke perkumpulan anak Mahasiswa Pecinta Alam.

"Gue pulang dulu ya, malam gue kerumah lo deh." ujar Riri, dibalas dengusan kesal oleh Kiya. "lagian kan lo mau diskusi tentang kegiatan ke puncak gunung slamet lusa kan." Kiya hanya mengangguk pasrah, Riri jadi merasa bersalah karena tidak ikut andil dalam kegiatan Mapala, padahal dia ingin sekali ikut kesana kalau saja ayahnya mengizinkan. Ia memutuskan keluar dari ruangan dan pergi meninggalkan Kiya bersama anggota Mapala lainnya.

***

Raka menjatuhkan pantatnya di bangku kantin. Tangannya terulur mengambil minuman di hadapannya, lalu ditengguk minum itu hingga habis. Si pemilik minuman yang adalah Alan, teman satu jurusannya sedang melotot kearah Raka, seakan tidak akan memberi ampun pada temannya kali ini.

Raka meletakkan kembali gelasnya di atas meja. "Gue haus. Pesan lagi deh sana. Gue yang bayar!"

Aji yang duduk disebelah Alan segera menepuk-nepuk pundak Alan dengan hati-hati. "Udah, enggak apa-apa. mau di bayarin ini, Lan," tangan Aji terangkat, memanggil bude Cinta –Pemilik tempat makan langganan Aji di kampus.– "Es teh manis satu, bu, terus es jeruk nya yang manis satu juga, sama—" Dia melirik ke Raka untuk menanyakan pesanan cowok itu. 

Raka yang mengerti lirikan dari Aji akhirnya membuka suara. "Udah itu aja bude, Raka gak pesan!"

Bude Citra segera membuatkan pesanan ke-tiga sahabat yang sedang asik dengan dunia remajanya.

"Lo kenal cewek yang namanya, Kiya, gak?"

Alan mengambil saus sambal dan dituangkan ke mangkok bakso nya. "Kenal. Anggota Mapala, kan?"

"Satu UKM sama lo dong?"

Aji mengunyah bakso di dalam mulutnya lalu di telan dengan cepat. "Kepo amat, lo!"

Alan terkekeh. "Biasa, Ji, Jiwa playboy nya muncul."

Raka tersenyum miring. "Masuk Mapala seru kayak nya." Terlintas di pikiran nya untuk mencari tau segala tentang Kiya. Raka benar-benar tertarik pada cewek yang berani membuat nya malu di hadapan banyak orang. Tidak sadar tawa kecil keluar dari bibirnya, membuat Aji dan Alan geleng-geleng kepala karena sudah terbiasa menghadapi sifat Raka yang mudah tertarik dengan lawan jenisnya.

"Ini pesanan nya." Bude Citra menyimpan dua gelas es di meja di hadapan Aji dan Alan. Setelah pekerjaan nya selesai, bude Citra langsung pamit untuk kembali lagi ke warungnya.

"Di waktu dekat ini ada kegiatan apa, nih?" Alan menatap Aji seolah tidak mengerti maksud dari ucapan Raka. "Mapala!"

Alan mengangguk-angguk. "Lusa mau ke puncak Gunung Slamet."

"Oke, mulai hari ini gue gabung di UKM Mapala!"

"Uhuk!" Alan tersedak saat meminum es teh manis miliknya. Matanya membelalak, bagaimana bisa Raka si pemilik Universitas tempat nya berkuliah ingin mengikuti kegiatan yang selalu di anggapnya "Melelahkan"

"Buset!" Aji menimpali. Raka hanya memandang kedua teman nya dengan senyum yang mengembang sempurna.

***

Kiya sibuk memasukan perlengkapan mendakinya ke dalam tas gunung miliknya. Dia kembali berjalan ke dalam kamar mandi, lalu keluar dengan peralatan mandi yang berada pada dekapannya.

"Sabun, shampo, sikat gigi, odol, sabun muka, lengkap. Eh tunggu-tunggu," Kiya sibuk mencari beda yang sepertinya tidak dia lihat dari tadi, dimana boneka kuda pemberian dari Putra dulu? Bukannya sebelum dia mandi tadi boneka itu masih tergeletak diatas kasurnya? "Ih rese banget," Kiya menggerutu kesal.

"KAK BIMA!! MANA BONEKA KIAA?" Kiya berteriak sambil mencari-cari sosok kakak lelakinya disetiap ruangan. Kiya berhenti berjalan, matanya menyipit saat melihat seorang cewek dengan rambut dicepol sedang duduk disofa ruang tamu. Tertawa bersama Mamanya saat melihat wajah panik Kiya. "Riri, jadi lo yang ambil boneka gue?" Kiya menghampiri Riri dan merebut boneka nya dari genggaman tangan cewek itu.

"Apa sih, Kiya! panggil-panggil nama orang ganteng." Bima berjalan dengan mulut yang masih mengunyah mie dan tangan kanannya memegang piring.

Mama menghela napas pendek. "Kakak, siapa suruh makan berdiri? Bangku banyak loh, Ka!" Amelia memberi tatapan tajam pada anak ke-duanya.

Kiya mempunyai dua kaka yang sangat berbeda sifat, Doni yang sangat dewasa dan mampu melindunginya dari serangan bullyan Bima. Sedangkan Bima, dia senang sekali jika melihat wajah adiknya yang kesal saat satu-satu barang baru seperti make up nya hilang, Bima mengambil dan memberikan pada kekasih tercintanya itu. Gak modal banget kan si Bima itu.

"Aduh ampun, Ma, itu gara – gara Kiya panggilin nama aku terus." Bima meringis kesakitan saat Amelia menjewer telinganya dan membawanya ke dapur untuk melanjutkan dan menyelesaikan makannya. Kiya dan Riri tidak bisa menahan tawanya saat melihat Bima kakaknya seperti anak kecil yang telah melakukan kenakalan.

"Lo kok ada disini? Gue mau pergi loh 15 menit lagi!" Kiya sebenarnya tidak enak mengatakan hal itu, apalagi sekarang wajah sahabatnya itu makin ditekuk. "Maaf, Ri,"

Riri menatap mata Kiya sendu, "Maafin gue juga karena ganggu waktu lo. Nih gue pulangin." Dia memberikan kertas persetujuan kegiatan dari Unit Kegiatan Mahasiswa yaitu, Mapala.

"Ih ngapain dibalikin lag— AAAAA! Riri akhirnya ayah lo sadar juga."

Kiya tidak dapat menggambarkan ekspresi senangnya kali ini, Aksa –Ayahnya Riri– tidak pernah menyetujui Riri ikut serta dalam Mahasiswa Pecinta Alam dengan alasan "Kamu itu perempuan, gak baik pergi jauh ninggalin rumah untuk kegiatan melelahkan seperti itu."

Namun sekarang? Entah karena apa Aksa bisa mengizinkan anak tunggalnya itu. Dan pastinya Kiya tidak akan bosan lagi saat pendakian nanti karena ada Riri yang menemaninya atau bahkan tidur bersamanya.

Riri menaik-turunkan kedua alisnya. "Kuy, gak?" tanyanya. Kiya membalas anggukan yang tak kalah antusiasnya dengan Riri. Riri segera membantu Kiya bersiap dikamarnya, dan sebelum berangkat ke tempat kegiatan, Kiya dan Riri berpamitan pada Amelia dan juga Bima.

"Jagain dia, Ri, soalnya kalau ditempat sunyi dia suka membayang-bayangi masa lalu," kata Bima sambil menyilangkan tangan didepan dada nya. Kiya langsung memukul lengan Bima dan di balas dengan candaan kecil. Kiya segera menarik lengan Riri agar segera keluar dari rumahnya.

~~~~