Selamat membaca
°•°•°
"Soto ayam dua ya Buk Tin, es tehnya satu." lenganku tiba-tiba disenggol Alin pakai siku kanannya. "Minum apa?"
"Es susu coklat. Eh, soto ayamnya nggak usah. Kamu aja." jawabku. Nafsu makanku enggak ada. Asal kamu tahu, ini bukan drama. Biasa ya kan, hati enggak akan bisa bohong.
"Makan lah..."
"Ngertiin dikit lah..." pintaku dengan wajah datar dan menghindari tatapan Alin. "Aku tunggu di kursi ya." lalu melemparkan senyum tipis pada Bu Tin yang tak sengaja tertangkap oleh mataku.
Sebelum menghela napas panjang Alin terpaksa membalas, "iya, aku ngerti Dea... Soto ayamnya jadinya pesen satu aja buk Tin."
"Mbak Dea pesen minum aja?"
"Iya Buk." aku langsung pergi setelah wanita berambut cepol itu mengangguk paham.
Sampai di bangku kantin, yang bisa kulakukan hanya meluruskan kedua kaki dan melipat tangan di atas meja, gunanya untuk mencari posisi terenak. Sesekali aku melirik kanan-kiri dan mendapati siswa-siswi yang tengah tertawa-tawa. Sepertinya, senang sekali mereka. Aku di sini malah was-was. Takut kalau ada guru yang melaksanakan razia : murid makan di kantin ketika di jam pelajaran. Bahaya kan? Tapi, rasa sakitku lebih besar saat ini.
Rasanya aku ingin menangis sekencang yang aku bisa sekarang. Ya, sekarang!!! Tapi aku takut kalau dicap cengeng oleh adik kelas yang kini duduknya tak jauh dari tempatku singgah.
Sedikit beruntung kalau aku saat ini masih bisa menahan rasa sakit, walaupun sangat susah. Tak bohong, suara Sean yang membentak, terdengar sengak, dan nyolot itu masih jelas di telinga, apalagi dadaku yang kini masih nyeri, itulah yang menyakitkan. Aku enggak habis pikir, syok, dan kaget sekali menerima intonasi ganas itu dari bibirnya langung dan tepat sekali. Di depan mukanya. Huuuh! Sekarang aku beneran enggak tahu lagi dianggap sebagai apa sama Sean.
Karena otakku yang terus-terusan mengingat perlakuan Sean tadi, cairan bening akhirnya keluar. Satu tetes yang melewati pipiku detik ini. Kepalaku otomatis menunduk dan berakhir tiduran di atas tanganku yang sudah terlipat sejak tadi di atas meja. Kutumpahkan air mata yang jatuh sedikit demi sedikit dari netraku. Tanpa ada suara yang muncul dari mulutku, meski bibirku kini bergetar. Aku tidak tahu kenapa perasaanku bisa sesakit ini. Kau tahu? Mendengar bentakan Sean lebih menyakitkan ketimbang mengetahui dia sudah jadian. Terlebih lagi, hati menerima teriakannya itu.
Beberapa detik aku membiarkan air mata ini mengalir sepuasnya. Tiba-tiba saja aku dibuat sedikit tersentak kala suara penuh penyesalan menggema di sekitaranku, "ini soto ayamnya." lembut dan menenangkan, penuh perhatian juga kalau diresapi.
Kepalaku tetap tertidur di atas dua tanganku yang nangkring di tempatnya tadi. Bibirku pun aku usahakan agar mau mengurangi getarannya. Kelopak mata kupaksa tertutup guna meminimalisir dan mungkin memberhentikan air yang terus keluar dari kedua netraku. Aku juga berusaha mengatur napas agar punggungku tidak turut berguncang. Lalu pertanyaanku, suara itu kenapa harus masuk lagi ke indera pendengaranku? Di mana Alin?! Kenapa malah dia yang ada di sekitarku sekarang?! Belum puaskah laki-laki bermata teduh itu membuatku sedih dan merasakan sakit? Kudengar samar-samar derap langkah kaki yang sepertinya ---kalau tidak salah--- kian menuju bangku kosong sebelahku. Semakin lama semakin jelas suaranya. Makin dekat dan semakin dekat. Aku yakin, rasa gugup mulai memenuhi diriku. Yap detik ini juga!
"Maaf, aku nggak sengaja tadi. Maaf ya..." tuturnya yang kupastikan, ia berbisik tak jauh dari telingaku. Karena hembusan napasnya masih bisa kudengar juga. "Dimakan sotonya..." bersamaan dengan usapan di pucuk kepalaku, aku menangis lagi. "...bentar lagi istirahat." usapan demi usapan darinya itulah yang membuat air mataku tak mau berhenti dan membuatku enggan untuk pindah posisi. "Maaf Dea... Aku nggak sengaja..." kuangguki saja untuk memberikan respon padanya. Kudengar helaan napas panjang sebelum ia meneruskan, "aku emang ada masalah..." kali ini tarikan dan hembusan napasnya lebih kencang. "...sama Elisa dan itu buat emosiku naik-turun. Maaf." Aku lagi-lagi tersentak, tapi aku masih pada posisiku semula. "Plis dimakan ya... Dimakan dong, biar perut kamu nggak kosong."
"Iya." singkatku, untuk mengetes apakah suaraku layak didengar. Dan ternyata, enggak terlalu buruk. Kurasa tubuh dan wajahku juga sudah baik-baik aja. Sebelum aku menegakan badan dan menoleh ke Sean, aku menerangkan dengan singkat, "kamu balik aja, status kamu kan pacarnya Elisa. Jadi, nggak bagus kalo kamu duduk sama aku, berdua aja."
"Siapa bilang berdua aja?" tanyanya yang berhasil membuatku bangun, tepatnya menghadap langsung ke kanan, di mana tempat Sean bersantai.
"Maksudnya?" Sean menunjuk ke bagian samping kiriku, di sana Alin dan Nino tengah jalan bersisian dengan senyum lebarnya. Nino membawa nampan berisi tiga mangkuk, sedangkan Alin membawa tiga gelas kaca, dan kutahu isinya ialah es teh semua. Refleks aku melihat di atas meja, tepatnya di depan tanganku yang masih menempel di sana. Ada satu mangkuk soto dan segelas es coklat pesananku tadi. "Makasih." sembari tersenyum pada lelaki di sampingku itu.
"Aku harap di grup kita, nggak ada yang namanya salah paham atau bertengkar kayak tadi lagi." Alin tiba-tiba bersuara sambil meletakan nampan berisi gelas-gelas di kedua tangannya, sebelum duduk di depanku.
"Emang anda siapa?"
Alin menoleh sekilas sambil mengangkat bahu. Gadis berjepit pita itu mengabaikan, menganggap perkataan Nino bagai angin lalu.
"Oke dan aku minta maaf, terutama Dea." balas siswa di sampingku. Kemudian tiba-tiba, pandangannya sudah ke aku.
"Aku berusaha ngerti, karna berpikir positif itu perlu. Cuma yah... Aku syok tadi, bener-bener kaget kalo itu kamu yang ngomong."
"Maaf."
"Iya Sean, udah aku maafin. Aku ngerti." tulus tanpa direkayasa begitu kalimat itu terlontarkan. Tapi mungkin, rasa sakitnya masih membekas. Kata demi kata dari kemarahan Sean juga mau tak mau sudah tercatat dan terlanjur direkam otakku. Tapi perasaanku untuknya lah yang mampu mengalahkan. Aku pun sangat berterimakasih untuk perasaan sayang yang kupunya di hati . Karena rasa itu, aku mudah memaafkan Sean dan membuang rasa sakit yang ada. Ya! Meskipun tidak bisa semuanya sekaligus.
"Parah sih si Sean... Jadi liat diriku dulu loh, hahahaha..." Nino mengatakan dengan tawa kencangnya, sampai-sampai sudut bibirku terangkat dan membentuk senyuman lebar. Aku jadi ingat dulu, Alinlah yang selalu jadi korban bentakan Nino. Sekarang aku jadi bisa merasakan itu. Tapi aku yakin seyakin-yakinnya kalau, lebih terasa sakit dibentak orang yang aku sayang daripada orang asing yang sama sekali modalnya omong doang. Hehe, bercanda!
"Udah nggak perlu dibahas lagi!" pekikku setelahnya.
Perempuan polos di hadapanku ini, kemudian memilih untuk kembali memberikan tatapan khawatirnya padaku. "Dimakan ya De..." diliriknya Sean lalu Nino. "...dan, selamat makan ya kawan...!" tanpa pikir panjang, Alin meraih salah satu mangkuk yang tadi dibawa Nino pakai nampan untuk ia nikmati.
Sean menyahutnya dengan suara setenang mungkin, "iya, selamat makan Lin." Nino pun merespon Alin menggunakan kepalanya yang mengangguk sebanyak dua kali gerakan.
Sebelum aku benar-benar makan soto Sean bertanya, "pulang sama siapa De?"
"Sama aku, kenapa?"
"Kali ini bareng aku, gimana?" tawar Sean dan Alin langsung terlihat seperti orang-orang yang berpikir keras. Ah, aku lupa! Kadang-kadang kepolosan dan kealayannya memang sering bersinggungan.
"Boleh deh."
"Bagus!"
"Ya udah, berarti aku balik sama si jepit nih?"
Dengan bibir yang tersenyum miring Sean menjawab, "iyalah! Masa bonceng tiga sama Dea."
TUK!
Sendok yang digenggaman Alin langsung jatuh di meja.
"HAHHH?!" teriakan gadis itu bersama matanya yang sudah membelalak. "Sangat tidak mau dan menolak mentah-mentah!"
Sean dan aku hanya bisa saling tatap. Namun aku tahu, di balik senyuman Sean tadi, ada sesuatu yang dia sembunyikan.
°•°•°
Terima kasih sudah menyimak... terima kasih banyak para pencerna kata yang selalu setia menemani Dea! Ada yang mau diutarakan?
Sehat-sehat ya!
See you
Gbu
Apakah kamu menyukainya? Tambahkan ke koleksi!
Adakah pemikiran tentang kisah saya? Tinggalkan komentar dan saya akan menmbaca dengan serius