"Silahkan duduk."
Bapak berkemeja batik itu mengisyaratkan tangan ke arah kursi besar yang mirip kursi dokter gigi. Kalau saja memang kursi dokter gigi, aku sudah kabur duluan. Kursi besar tersebut memiliki bantalan tebal dan juga diperlengkapi sandaran kaki. Langsung saja aku duduk agak kaku sembari bapak berpostur pendek gemuk tadi menaungi tubuhku menggunakan sehelai kain.
"Mau model apa, Bang?"
"Rambut mohawk seperti orang Indian."
Bapak itu hanya mengangguk pelan. Tangan cekatannya langsung menghidupkan alat cukur rambut sebelum mulai mencukuri berbagai bagian rambutku yang sudah mencuat ke mana-mana. Sebentar saja dia sudah menggunduli kedua sisi samping kepala dan merambat ke bagian depan poni rambutku. Otomatis mataku menutup rapat. Untung saja tidak banyak helaian rambut hitam menghinggapi wajahku pertanda kalau tukang pangkas baru ini cukup ahli.
"Sudah lama kerja sini, Pak?"
"Baru satu bulan, Bang."
"Oh," sahutku, soalnya bukan hal baru setiap kali aku datang pangkas tiga bulan sekali kalau tukang pangkasnya ganti baru. "Sebelumnya kerja apa, Pak?"
Bapak itu terdiam. Matanya sedikit sayu.
"Kepala gudang?"
"Pernah, Bang," jawabnya singkat. "Pas aku muda."
"Kalau begitu dari mana abang pandai pangkas?"
"Sebenarnya dari sejak kecil aku sudah memangkasi rambut teman-temanku. Lama-lama jadi bisa."
Sungguh jawaban singkat. Biasanya rata-rata tukang pangkas yang kuajak ngobrol selalu suka cerita, yang ini tak ingin bercerita. Ada rahasia nih. Meski haknya juga untuk tutup mulut.
"Mantaplah, Pak. Aku yakin bapak sudah sangat ahli, tinggal selanjutnya buka tempat pangkas sendiri saja."
"Rencana sih begitu. Pelan-pelan lah, Bang."
Selebihnya aku mendiamkan diri. Menyesuaikan dengan tukang pangkas yang fokus mengurusi rambut super bandelku. Perlahan-lahan tampaklah hasil karyanya. Rambut tebalku mulai menipis diselingi rambut-rambut tajam diatur rapi ke samping, poniku dipotong agak pendek, dan kedua sisi samping rambut kepala dicukur membentuk dua garis rambut. Keren. Aku dipangkas bagai seorang aktor.
"Sebenarnya aku bos tukang pangkas," Bapak tukang pangkas membuka pembicaraan saat dia mengambil silet untuk mencukuri cambangku. "Tidak lagi sekarang."
Aku menduga dia merasa kurang enak aku tidak mengajaknya bicara lagi sehingga dia memulai pembicaraan. Wajar. Ketika seseorang ramah kepada kita, namun kita bersikap dingin, maka terkesan kasar. Mungkin sikap ini biasa di luar sana, tidak di negara Indonesia.
"Bagaimana ceritanya kembali jadi tukang pangkas?"
Bapak itu menghela napas. "Judi, Bang."
"Bapak kecanduan judi?"
"Ya. Aku gila judi sehingga semuanya hilang," ujar bapak tukang pangkas penuh kesesakan di setiap kata-katanya. "Awalnya aku sudah diperingati istri lalu anak diikuti pegawai-pegawaiku, tapi ngak mempan. Masih puncak-puncaknya itu. Lima cabang tempat pangkasku ludes. Ketika tak ada lagi yang bisa dijual, baru aku tersadar."
"Tabungan juga?"
"Tak bersisa sepersen pun."
Aku menelan ludah. "Astaga."
"Janganlah sentuh judi itu, Bang," bapak tukang pangkas memperingatkan. "Cukuplah aku jadi korbannya saja."
"Lagi marak judi pula sekarang."
"Dari coba-coba terakhir aku ketagihan sampai semuanya terlambat."
Selebihnya aku mendengar cerita bapak tukang pangkas tentang dirinya yang dulu bergelimang harta lalu melarat. Untung dia bisa sadar dan memulai ulang masih ditemani istri beserta anak-anaknya. Korban-korban lain kurang beruntung. Selain habis harta, mereka masih candu dan pinjam sana-sini untuk balik main judi. Benar-benar deh. Judi amat berbahaya.
Jangan coba-coba main judi