webnovel

Penuh Ambisi

Aku memilih untuk melanjutkan pendidikanku ke jenjang yang lebih tinggi. Pada saat itu aku tidak lulus pada jalur SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) karena jurusan yang aku pilih terlalu tinggi menurut guruku yang pada saat itu ikut membantu aku untuk memilih jurusan yang tepat untukku.

Aku di sekolah tidak terlalu bodoh-bodoh banget. Di sekolah nilai raportku cukup baik. Aku tidak pernah absen mendapatkan juara kelas peringkat 2 atau 3. Paling parah peringkat 4. Aku yang pada saat itu memilih jurusan pilihan pertama pada kedokteran di UI (Universitas Indonesia), dan pilihan ke dua dengan jurusan kedokteran di UIN (Universitas Islam Negeri) Jakarta, membuat diriku tidak lulus pada jalur tersebut.

Guruku telah memberitahu aku jika aku pada saat itu seharusnya memilih jurusan biologi, atau jika tetap ingin berada di fakultas kesehatan, cobalah untuk mengambil jurusan kesehatan masyarakat. Namun aku yang tetap kekeh ingin menjadi dokter, karena itu adalah cinta-citaku sedari aku masih kecil, dan aku ingin membuktikan kepada Randi jika aku bisa lebih hebat daripada Caca. Jika Caca bisa menjadi perawat, aku bisa menjadi dokter. Jika Caca berkuliah di kampus swasta, aku bisa kuliah di kampus Negeri. Seperti itulah yang aku pikirkan pada saat itu.

Jalur SNMPTN memang aku gagal. Jangan khawatir, masih ada jalur SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Pada saat itu aku di perbolehkan untuk memilih dua pilihan kembali. Yang pertama aku tetap memilih jurusan kedokteran, namun sekarang di UPN (Universitas Pembangunan Negeri) Jakarta, bukan lagi di UI. Yang kedua aku memilih jurusan keperawatan di UIN Jakarta.

Kali ini aku bertekad supaya aku bisa masuk di salah satu dari jurusan yang telah aku pilih. Aku sudah berusaha belajar, berdoa, dan berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Di setiap harinya aku tidak pernah absen untuk belajar. Pagi, siang, sore, malam. Walaupun memang aku tidak ikut les SBMPTN seperti teman-temanku yang lainnya. Aku hanya belajar mandiri di rumah semaksimal mungkin. Namun kenyataannya lagi-lagi membuat aku kecewa. Aku tidak lolos lagi dengan jalur SBMPTN kali ini.

"Ga apa-apa nak, masih ada jalur mandiri, di coba lagi ya, pasti bisa. Kan anak Ibu pintar," ucap Ibuku yang berniat untuk menyemangati aku yang kini mulai merasa pesimis.

Aku menerima saran dari Ibuku. Aku mengikuti ujian mandiri di UIN Jakarta, UIN Bandung, UI, UPN Jakarta, dan Universitas Negeri lainnya yang terdapat jurusan kedokteran dan keperawatan. Aku berharap kali ini Universitas yang telah aku pilih bisa menerima aku sebagai mahasiswi kedokteran.

Entah sudah yang ke berapa kalinya aku di tolak di Universitas Negeri. Untuk yang ke sekian kalinya aku kembali di tolak. Sejak saat itu juga aku sangat merasa pesimis. Aku tidak mau melanjutkan pendidikanku lagi. Kecuali di jurusan yang aku inginkan. Aku tetap kekeh dengan keinginanku yang berkuliah di Universitas Negeri dengan fakultas kedokteran. Jika aku tidak bisa di tahun ini, aku akan kembali mencobanya di tahun berikutnya.

Namun Ibuku tidak mengizinkan aku untuk gap year (menunda kuliah). Karena menurut Ibuku, selagi Ibu dan Ayahku sekarang masih bisa membiayai aku kuliah, kenapa harus di tunda-tunda. Ibuku juga ingin melihatku memakai toga secepat mungkin. Karena kini umur Ibu dan Ayahku sudah tidak muda lagi. Wajar saja, karena aku adalah anak bungsu. Kakak-kakakku semua sudah berkeluarga. Hanya aku yang masih merepotkan mereka berdua.

Akhirnya aku memutuskan untuk berkuliah di STIKES (Sekolah Tinggi Ilmu KESehatan) swasta ternama di sekitar daerah tempat tinggalku dengan jurusan keperawatan. Aku memilih jurusan keperawatan karena jika aku memilih jurusan kedokteran di swasta pasti biayanya sangat mahal. Walaupun aku sudah mendapatkan beasiswa potongan biaya 50% tetap saja, biaya yang harus di keluarkan sebesar 25 juta per semester. Walaupun Ayah dan Ibuku bilang tidak apa-apa dan mereka bilang kalau masih sanggup untuk membiayaiku, tetap saja aku tidak tega terhadap mereka. Umur mereka sudah tidak muda lagi, aku kasian jika mereka masih memikirkan biaya pendidikanku di usianya yang seharusnya sudah tinggal menikmati masa tuanya bersama keluarga.

Ternyata bukan aku saja yang mengalami kegagalan dalam masuk ke perguruan tinggi negeri berkali-kali seperti ini. Ternyata hal yang sama di rasakan oleh Elina. Namun berbeda dengan aku, jika aku akan memutuskan untuk melanjutkan berkuliah di swasta, Elina justru memilih untuk gap year dan mencobanya kembali di tahun berikutnya.

Kabar tentang Randi, dia sekarang berkuliah di perguruan tinggi swasta kelas karyawan. Karena setelah lulus dari SMK yang memang notabennya setelah lulus langsung bekerja pun di lakukan oleh Randi. Dia bekerja di hari Senin sampai Jumat, dan berkuliah di hari Sabtu. Hebat, dia bisa berkuliah dengan uangnya sendiri tanpa harus merepotkan kedua orangtuanya. Aku pun semakin kagum terhadapnya. Walaupun dalam pelajaran yang lain dia tidak begitu menguasainya, tetapi dia sangat menguasai ilmu komputer. Sehingga dia dengan mudahnya mendapatkan pekerjaan dengan gajih yang cukup besar juga. Namun bukan gajih dia yang aku lihat, karena aku sudah menyukainya semenjak dia belum bekerja dan memiliki penghasilan sendiri.

*****

Kini aku berkuliah di perguruan tinggi swasta dengan jurusan keperawatan. Dengan seragam khasnya yang serba putih dari ujung kepala hingga sepatu pantofelnya. Serta tidak lupa juga pin nama kebanggaan yang selalu di gunakan oleh mahasiswa keperawatan di tengah-tengah jilbab bagi yang berhijab, atau di dada bagian kiri bagi yang tidak berhijab dan untuk mahasiswa laki-laki. Walaupun laki-laki yang berkuliah di fakultas kesehatan sangat sedikit. Di kelasku saja hanya terdapat 5 orang laki-laki.

Aku yang bersekolah di SMA jurusan IPA tidak terlalu merasa kesulitan untuk mempelajari semua pelajaran yang ada di jurusan keperawatan kali ini. Walaupun memang lebih jago yang dahulunya bersekolah di SMK kesehatan, seperti Caca.

Aku yang berpikir bahwa Randi akan melirikku karena sekarang aku adalah mahsiswi keperawatan, ternyata aku salah besar. Dia tetap tidak melirikku sama sekali. Padahal dia tahu bahagaimana perjuanganku untuk mendapatkan jurusan keperawatan ini. Berbagai jalur aku sudah merasakan di tolak. Tetap saja, baginya, Caca lah yang hebat, yang selalu ada di hatinya, bukan aku.

Kini aku merasa sedikit menyesal karena terlalu berambisi untuk menjadi apa yang Randi suka menurutku, tapi ternyata dia tetap tidak menyukaiku, dan aku menyesalinya karena tidak mendengarkan perkataan guruku untuk mengambil jurusan biologi saja. Karena guruku yakin, jika aku akan lolos di jurusan itu.

Guruku yakin bukan tanpa alasan. Guruku yakin karena melihat nilai-nilai raport dan ujian-ujianku yang lainnya aku selalu memiliki nilai biologi di atas angka 9. Jika saja aku mendengarkan perkataan guruku, mungkin saja sekarang aku sedang duduk di bangku Universitas Negeri idamanku. Entah itu UI, UPN, ataupun UIN.

Sekarang aku hanya bisa menyesalinya. Namun mau bagaimana lagi. Nasi telah berubah menjadi bubur, dan aku tidak bisa mengubah bubur tersebut menjadi nasi kembali.

-TBC-